basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Sejarah Orang Siak dan Kehidupan Sosial Surau di Minangkabau Suku bangsa Minangkabau memiliki sistem yang unik untuk menghasilka...

Sejarah Orang Siak dan Kehidupan Sosial Surau di Minangkabau



Suku bangsa Minangkabau memiliki sistem yang unik untuk menghasilkan kearifan lokal. Salah satu kearifan lokal adalah sistem pendidikan. Sistem pendidikan ini dilahirkan dari salah satu entitas yaitu surau. Surau adalah bagian dari sistem adat dan sampai sekarang identik dengan sarana pendidikan terutama pada bidang agama. Sejarawan Azyumardi Azra menyebutkan bahwa Surau menjadi semacam asrama anak-anak muda, menjadi tempat belajar mengaji Al Qur’an, belajar agama, tempat upacara-upacara yang berkaitan dengan agama, tempat suluk, tempat berkumpul dan rapat, tempat penginapan musafir, berkasidah/ bergambus, dan lainnya. Kalau dilihat secara umum, sistem Surau memiliki kesamaan dengan pondok pesantren pada masyarakat di Jawa, yaitu sebagai wadah pendidikan Islam dan tidak meninggalkan unsur kebudayaan. Namun juga terdapat perbedaan yang menjadikan surau sebagai bentuk kearifan lokal Minangkabau.

Salah satu bentuk kearifan lokal dari Surau adalah Orang Siak. Kalau peserta didik pesantren di Jawa disebut dengan santri, maka di ranah Minang disebut dengan Orang Siak. Pemahaman orang siak terbagi kepada dua makna, yaitu orang yang berasal dari Siak, Riau dan orang siak yang aktivitasnya berada di lingkungan Surau dan mendalami ajaran Islam. Pada pengertian pertama kita juga akan mendapat pandangan sejarah, bahwa nama Siak di Riau juga berkaitan dengan jalur perkembangan Islam di tanah Melayu dan Minangkabau. Namun pada pembahasan kali ini berfokus kepada orang siak pada pemahaman kedua, sejarah orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk mendalami ajaran Islam dalam naungan institusi Surau.

Orang Siak Dalam Rentang Sejarah Surau
Dalam perkembangan masyarakat Minang di era disrupsi ini, mungkin kita sudah jarang menemui sosok orang siak. Kalaupun ada, orang siak hanya akan terlihat eksistensinya dalam acara-acara tertentu bidang keagamaan. Keberadaan orang siak memang sudah tidak lagi menjadi corak masyarakat Minang. Majunya zaman dan berkembangnya pendidikan modern, keberadaan orang siak menjadi jarang ditemui.

Buya Hamka menyebutkan beberapa pengertian orang yang berkelindan dalam tradisi surau di Minangkabau. Pertama, orang siak adalah orang yang dianggap ahli dalam agama Islam, bisa juga diartikan sebagai lebai-lebai atau marbot masjid. Kedua, orang siak di tanah Melayu disebut sebagai pengurus-pengurus harian masjid, orang yang ditugaskan mengurus, memandikan, dan menyembahyangkan jenazah.

Lebih mendetail dari profil orang Siak bisa kita temui dalam buku Prof. Azyumardi Azra "Surau; Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi Modernisasi. Kedatangan ajaran Islam di ranah Minang, membentuk institusi surau yang sudah ada sebelumnya pada periode Hindu-Budha. Surau yang menjadi sentral pengajaran Islam dan orang siak adalah peserta didiknya. Dalam adat Minang, pemuda yang sudah akil baligh mengharuskan mereka untuk mendalami Islam dan inilah yang menjadi landasan berkembangnya orang siak. Tidak ada pembatasan umur untuk orang siak belajar di surau, lamanya belajar di surau tergantung kemampuan dan penguasaan masing-masing.

Untuk melihat model pemenuhan kebutuhan pokok orang siak ini, kita bisa menilik ke surau gadang (besar) yang didirikan oleh kakek Bung Hatta, Syaikh Abdurrahman di Batu Hampar, Payakumbuh. Selama mendalami Islam di Surau, orang siak tidak dipungut biaya, kalaupun ada merupakan inisiatif dan kerelaan dari pihak keluarga kepada pengurus surau. Penopang biaya hidup orang siak berasal dari masyarakat dengan dekat dengan surau. Prof. Azyumardi Azra memaparkan bahwa di Payakumbuh masyarakat menyuplai bahan makanan kebutuhan pokok untuk orang siak yang ada di Surau Syekh Abdurrahman. Bagi masyarakat, gotong royong ini sebagai bentuk sedekah di mana mereka akan mendapatkan timbal balik berupa pengajaran Islam serta proses peribadatan yang dilakoni oleh orang siak atau pengurus surau. Selain mendapatkan suplai makanan dari masyarakat sekitar surau, orang siak juga punya aktivitas keluar surau untuk mengumpulkan bahan pokok dengan membawa buntil (semacam kantong terigu yang diisi beras).

Sejarah Orang Siak dan Kehidupan Sosial Surau di Minangkabau (1)
Surau Gadang Syaikh Abdurrahman di Batu Hampar, Lima Puluh Kota Salsah Satu Surau Tempat Belajar Orang Siak di Minangkabau.

Pada perkembangannya, orang siak tidak hanya berasal dari pemuda dari suatu kaum. Tradisi merantau juga menyebabkan orang siak datang dari berbagai daerah lain. Melalui orang siak, ranah Minang mengalami periode islamisasi. Keberadaan orang siak juga menjadi petunjuk bagi kita yang ada di era modern ini terkait dengan sistem pendidikan dan arus islamisasi di ranah Minang. Untuk mendalami ajaran Islam dengan pendekatan tasawuf, orang siak menjalankan metode belajar yang relatif lebih sederhana berupa: ceramah dan resitasi melingkar (halaqah). Materi belajar ditentukan syaikh yang menyesuaikan dengan umur dan kemampuan masing-masing orang siak. Pelajaran tingkat dasar: membaca Al-Qur’an dengan qira’at, ibadah, dasar ilmu tauhid. Untuk orang siak dewasa, materi belajar: tasawuf dan tarekat (Azyumardi Azra: 2003).

Pada mulanya metode belajar di surau hanya diampu oleh seorang syaikh. Tetapi dengan bertambah banyaknya orang siak, syaikh kemudian mengangkat beberapa guru tuo (guru senior). Tugasnya: memberikan penjelasan lebih rinci dari materi dan bertugas mengawasi orang siak dalam menghafal pelajaran. Dengan banyaknya peminat dan orang siak yang lebih senior ditunjuk menjadi guru senior maka kondisi ini turut memperbesar organisasi surau. Semakin besarnya organisasi ini berdampak kepada terciptanya lingkungan seperti kawasan pendidikan dalam sebuah kampung atau nagari. Christine Dobbin menyebutkan surau besar umumnya memiliki paling sedikit 20 bangunan dan dibagi berdasarkan daerah asal mereka. Hal ini tercermin di komplek Surau Besar Syaikh Abdurrahman di Batu Hampar, Payakumbuh (Azyumardi Azra: 2003).

Surau dan Orang Siak Hari Ini

Sistem pendidikan surau yang relatif lebih sederhana berhasil mengislamisasi Minangkabau dengan pendekatan tasawuf dan orang siak hadir sebagai motor islamisasi ini. Namun sistem ini mengalami transformasi karena dinamika yang terjadi di ranah Minang. Masuknya kolonialisme yang membawa pendidikan barat, terbukanya akses dengan Arab di mana sedang bangkit gelombang pemurnian Islam membawa dampak terhadap eksistensi surau.

Secara perlahan, pengaruh dari luar ini menimbulkan perbenturan seperti konflik kaum adat dan kaum paderi atau munculnya sekolah dengan sistem Eropa. Dalam dinamika ini, kemudian juga muncul sekolah Islam dengan mengadaptasi konsep sekolah Eropa seperti adanya kurikulum dan ditambahkannya mata pelajaran sains yang memang menjadi semangat pendidikan di Eropa. Perubahan ini berdampak juga kepada eksistensi dan peran orang siak yang tidak lagi memiliki peran sentral seperti sebelumnya.

Hingga hari ini, secara riil di ranah Minang orang siak bukan lagi menjadi pemandangan umum. Keberadaannya bisa dikatakan masih ada, tetapi tergerus oleh kemajuan zaman. Dalam lingkungan masyarakat Minang juga terjadi perubahan orientasi, lembaga pendidikan modern lebih mendapatkan tempat untuk membentuk manusia Minang sebagai upaya menjawab tantangan zaman. Walaupun demikian, secara etis surau tidak bisa dihilangkan begitu saja, pun dengan keberadaan orang siak. Ranah Minang harus merawat nilai-nilai surau dan menyelaraskannya dengan gerak maju zaman.

Melacak Asal-Usul Habib di Indonesia (4): Habaib dalam Pusaran Kerajaan di Indonesia (2) “Nenek moyang dari Wali Songo masih mer...

Melacak Asal-Usul Habib di Indonesia (4): Habaib dalam Pusaran Kerajaan di Indonesia (2)


“Nenek moyang dari Wali Songo masih merupakan keturunan dari ‘Alawiyin”

–O–


Berbicara mengenai Habaib atau keturunan Alawiyin yang mengambil peran penting dalam struktur kerajaan di Nusantara, kita tidak bisa melepaskannya dari sosok Al-Imam Jamaluddin Husain atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Syekh Jumadil Kubro”. Beliau adalah putra Maulana Ahmad Jalaluddin bin Abdullah Azmathkhan bin Abdul Malik bin Awali bin Muhammad Shahib Mirbath (leluhur semua keturunan Alawi sekarang). Beliau lahir pada pertengahan abad ke-13 dan wafat pada awal abad ke-14. Jumadil Kubro bukan berdarah murni Yaman, melainkan mempunyai darah dari garis ibu yang merupakan bangsawan India dan Cina.[1]

Berdasarkan cita-cita dan arahan leluhur beliau hingga Al-Imam Abdul Malik untuk Nusantara (Asia Tenggara), beliau membuat konsep dakwah di Nusantara yang kemudian konsep itu digunakan secara berkesinambungan oleh beliau dan anak cucu beliau. Konsep itu terus dikembangkan hingga pada puncaknya, cucu beliau yang bergelar Sunan Ampel (Maulana Ahmad Rahmatullah bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Syekh Jumadil Kubro) berhasil mengubah budaya Jawa dengan konsep Wali Songo-nya sehingga peneliti barat ada yang menyebut keberhasilan Sunan Ampel adalah yang kedua setelah Rasulullah karena beliau berhasil mengubah budaya sebuah bangsa dengan tim Wali Songo yang beliau buat.[2]

Maka keberhasilan Sunan Ampel sebenarnya bukan keberhasilan beliau sendiri, melainkan keberhasilan bersama mulai Al-Imam Abdul Malik. Konsep Wali Songo adalah intisari dari master plan yang dibuat oleh Syekh Jumadil Kubro, sedangkan Syekh Jumadil Kubro mengembangakan “cetak biru” yang dibuat oleh Al-Imam Abdul Malik dan dikembangkan oleh Maulana Abdullah Azmatkhan dan Maulana Ahmad Jalaluddin.[3]

Keturunan Syekh Jumadil Kubro diketahui selalu memerankan diri seperti pribumi di tempat mana pun. Misalnya, yang tinggal di tanah Jawa berasimilasi dengan penduduk lokal sehingga kemudian mereka tidak bisa lagi dibedakan dengan suku “Jawa asli”. Hal yang serupa terjadi pula di Madura, tanah Sunda, dan sebagainya.[4]

Di kemudian hari keturunan Syekh Jumadil Kubro tidak hanya mewarnai struktur kekuasaan di pulau Jawa saja, tapi juga daerah-daerah lainnya, bahkan sampai Asia Tenggara, sebut saja penguasa Kesultanan Campa (Vietnam), Kesultanan Patani (Thailand), Kesultanan Mindanau (Filipina), Kesultanan Kelantan (Malaysia), Kesultanan Cirebon, dan Kesultanan Palembang.[5]

 

Bukan Habib

Ismail Fajrie Alatas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Habib adalah seluruh keturunan Alawiyin dari Hadhramaut, Yaman, yang tersebar di Hadhramaut itu sendiri, Asia Tenggara, dan Pesisir Swahili di Afrika Timur.[6] Maka bila merujuk ke definisi tersebut, mestinya Syekh Jumadil Kubro masih termasuk dalam kategori seorang Habib.

Akan tetapi, keturunan Syekh Jumadil Kubro sendiri, yang diwakili oleh K.H. Ali Badri, bertindak sebagai Ketua Dewan Pembina “Naqabat Ali Azmatkhan Al-Husaini” dan di Indonesia lebih populer dengan nama “Majelis Dzuriyat Wali Songo”, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Habib adalah keturunan Alawiyin dari garis  Al-Faqih Al-Muqaddam. Menurutnya, walaupun sama-sama berasal dari sumber yang sama, yaitu Al-Imam Ahmad bin Isa atau al-Imam al-Muhajir—generasi ke-8 dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra—namun dalam perkembangannya antara keluarga Azmatkhan Al-Husaini dan Al-Faqih Al-Muqaddam berasal dari keluarga yang berbeda. Keturunan Al-Faqih Al-Muqaddam yang datang belakangan ke Indonesialah yang memperkenalkan istilah Habib untuk keturunan Alawiyin.[7]

Walaupun demikian, dalam perkembangan kekinian, sebagaimana yang dikatakan oleh Ismail Fajrie Alatas di atas, umumnya penduduk di Indonesia beranggapan bahwa seluruh keturunan Alawiyin bergelar Habib (Jamak: Habaib).

 

Wali Songo

Wali Songo atau yang secara harfiah berarti wali sembilan merupakan tokoh-tokoh penyebar Islam di nusantara. Mereka adalah Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim), Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Bonang (Maulana Makhdam Ibrahim), Sunan Giri (Muhammad ‘Ain Al-Yaqin/ Sultan ‘Abd Al-Faqih), Sunan Drajat (Maulana Syarifuddin), Sunan Kalijaga (Maulana Muhammad Syahid), Sunan Kudus (Maulana Ja‘far Al-Shadiq ibn Sunan ‘Utsman), Sunan Muria (Raden Umar Said bin Maulana Ja‘far Al-Shadiq), dan Sunan Gunung Jati (Maulana Al-Syarif Hidayatullah).

Berdasarkan pohon silsilah hasil penelitian Sayid Zain bin Abdullah Alkaf dalam Khidmah al-‘Asyirah, sebagaimana dikutip oleh Musa Kazhim,[8] kecuali Sunan Kalijaga, delapan Wali Songo lainnya adalah keturunan Abdullah Azmathkhan (Keturunan Alawiyin yang bermukim di India) dari jalur Syekh Jumadil Kubro, atau dengan kata lain mereka adalah masih keturunan Alawiyin dari Yaman. Lebih jelas silakan lihat pohon silsilah di bawah ini:

Mengenai Sunan Kalijaga, Professor Sumanto Al Qurtuby mengatakan bahwa beliau adalah putra dari Raja Majapahit Brawijaya V, yang menikahi seorang perempuan China Muslim yang bernama Retna Subanci. Retna Subanci merupakan anak dari Babah Ba Tong atau Tan Go Hwat. Babah Ba Tong atau Babah Bentong pada waktu itu merupakan seorang China Muslim yang mempunyai pengaruh luas di Jawa Tengah, Cirebon, dan Pesisir pantai Utara Pulau Jawa. Versi lain megatakan bahwa Sunan Kalijaga merupakan anak dari raja Tuban yang bernama Oei Tik To, nama lain dari Sunan Kalijaga adalah Oei Sam Ik.[9]

Tidak hanya Sunan Kalijaga, Sunan Bonang pun dikatakan memiliki nama China, yaitu Bo Bing Nang. Beberapa penyebar Islam lainnya yang bukan Wali Songo juga diidentifikasikan sebagai China Muslim, misalnya Ki Ageng Gribig (Siauw Dji Bik), Ki Ageng Pengging (Heng Pa Hing), dan Sunan Pajang (Na Pao Tjing).[10]

Nama-nama China yang melekat pada sebagian Wali Songo dan penyebar Islam lainnya sesungguhnya memungkinkan, mengingat Jumadil Kubro sendiri selain dari Yaman nyatanya masih ada keturunan China. Selain itu proses kawin mawin antara keturunan Alawiyin dan orang-orang China di Indonesia juga memungkinkan karena jumlah China pada waktu itu sudah banyak dan mereka juga memainkan peran sentral dalam situasi politik dan kultural di Indonesia. Mengenai Nasab dari para penyebar Islam di Indonesia yang masih keturunan China akan kita bahas dalam artikel lain.

Singkat kata, berdasarkan pohon silsilah di atas, maka dapat dikatakan bahwa mayoritas Wali Songo merupakan keturunan Alawiyin dari Yaman. Dalam perkembangannya keluarga mereka akan memainkan peran penting dalam dakwah Islam di Indonesia, dan bahkan beberapa di antaranya ada yang sampai naik ke tampuk kekuasaan tertinggi kerajaan-kerajaan di Indonesia. Pembahasan mengenai hal itu akan dibahas dalam artikel selanjutnya. (PH)

Catatan Kaki:

[1] Muhammad Subarkah, Jalur Dakwah Diaspora Hadhramaut, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hlm 243.

[2] K.H. Ali Badri, Sikap Mempribumi Kunci Sukses Dakwah Ulama ‘Alawiyin Di Nusantara, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, Ibid., hlm 162.

[3] Ibid., hlm 162-163.

[4] Muhammad Subarkah, Ibid., hlm 244.

[5] .H. Ali Badri, Ibid., hlm 163.

[6] Ismail Fajrie Alatas, Habaib in Southeast Asia, The Encyclopaedia Of Islam Three (Leiden: Brill, 2018), hlm 56.

[7] K.H. Ali Badri, Ibid., hlm 157-164

[8] Musa Kazhim, “Sekapur Sirih Sejarah ‘Alawiyin dan Perannya Dalam Dakwah Damai Di Nusantara: Sebuah Kompilasi Bahan”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, Ibid., hlm 19-20.

[9] Sumanto Al Qurtuby, The Tao of Islam: Cheng Ho and the Legacy of Chinese Muslims in Pre-Modern Java, (Studia Islamika, Vol. 16, No. 1, 2009), hlm 60-61.


Baca selanjutnya: https://ganaislamika.com/melacak-asal-usul-habib-di-indonesia-4-habaib-dalam-pusaran-kerajaan-di-indonesia-2/

Melacak Asal-Usul Habib di Indonesia (3): Habaib dalam Pusaran Kerajaan di Indonesia (1) “Tidak sedikit dari kaum ‘Alawiyin awal...

Melacak Asal-Usul Habib di Indonesia (3): Habaib dalam Pusaran Kerajaan di Indonesia (1)



“Tidak sedikit dari kaum ‘Alawiyin awal yang datang ke Indonesia masuk ke dalam keluarga berbagai kerajaan lokal melalui perkawinan, kemudian tidak sedikit pula tampuk kepemimpinan kesultanan di Asia Tenggara sampai saat ini berada dalam jalur keturunan tokoh-tokoh ini, antara lain, kesultanan di Pontianak dan tempat-tempat lain.”

–O–


Pada artikel sebelumnya kita telah membahas bahwasanya Habaib (jamak dari Habib) baik secara filosofis maupun pergerakkan datang ke Indonesia dengan jalan damai. Tidak terkecuali pada saat masa-masa kerajaan di Indonesia, metode dakwah Islam dan ajaran yang mereka bawa dikemas dengan sedemikian harmonis dengan budaya di masyarakat lokal sehingga dalam waktu yang relatif singkat, para tokoh di kalangan ini mendapat tempat di hati elit dan akar rumput pada bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Karena pendekatan persuasif dan damai, kerajaan-kerajaan lokal dengan leluasa dan sukarela membuka diri terhadap agama Islam yang relatif baru sehingga peluang dakwah semakin luas.[1]

Tidak sedikit dari kaum ‘Alawiyin awal yang datang ke Indonesia masuk ke dalam keluarga berbagai kerajaan lokal melalui perkawinan, kemudian tidak sedikit pula tampuk kepemimpinan kesultanan di Asia Tenggara sampai saat ini berada dalam jalur keturunan tokoh-tokoh ini, antara lain, kesultanan di Pontianak dan tempat-tempat lain. Tidak hanya itu, yang lebih mencengangkan bukanlah betapa cepatnya Islam menyebar di Nusantara pada khususnya dan Asia Tenggara pada umumnya, melainkan fakta bahwa Islam menyebar dengan cepat dan dengan cara damai.[2]



Berkat cara damai ini pula, Islam sebagai agama baru, dibanding Hindu dan Budha yang lebih dulu ada di Indonesia, dengan mudah dapat menggugah kesadaran masyarakat dan segera menjadi agama mayoritas. Sebagai ilustrasi, orang Jawa yang semula begitu menghayati ajaran-ajaran Hindu, segera menyerap dan menghayati aspek-aspek spritualitas dan tasawuf Islam.[3]

Selain dengan cara damai, memang struktur masyarakat nusantara sendiri, khususnya orang-orang Melayu, dalam mendalami agama Hindu-Budha, tidak terlalu dalam secara teologis. Sebagaimana diungkapkan oleh Haji Muzaffar Dato’ Hj Muhammad dan (Tun) Suzana (Tun) Hj Othman, Habaib datang pertama kali di sini sebagai juru dakwah, mereka menemukan penduduk lokal secara umum memeluk ajaran Hindu-Budha dan beberapa lainnya masih menganut agama Pagan. Untungnya, kepercayaan penduduk ini kebanyakaan tidak terlalu dalam.[4]

Ketika mereka menyelenggarakan upacara untuk menyembah dewa atau semacamnya, hal ini sebenarnya hanyalah apresiasi fisik tanpa terlalu jauh mendalami filosofi sebenarnya dari ibadah tersebut. Dengan kata lain, filosofi Hindu-Budha tidak secara total menguasai aspek psikologis orang-orang Melayu. Mereka cenderung hanya mengikuti itu untuk memenuhi kebutuhan sosial dan rekreasi, hiburan dan dalam rangka menjadi kreatif, sehingga Prof. Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas, mengungkapkan, “pengaruh Hindu tidak pernah sampai pada tahapan mengubah pandangan dunia orang Melayu, yang mana (ajarannya) berbasis pada seni, bukan filosofi”.[5]

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa praktik ibadah orang-orang Melayu lebih bersifat ritualistik, bukan teologis. Kondisi tersebut memberikan ruang yang luas bagi juru dakwah Islam untuk menanam benih-benih Islam di dalam pikiran mereka, sebuah benih yang sedikit demi sedikit akan tumbuh untuk menjadi kepribadian Islam Melayu yang solid.[6]

Dalam tataran yang lebih jauh, Habaib dapat masuk ke dalam lingkaran elit kerajaan di nusantara dan bahkan sampai menjadi bagian dari keluarga kerajaan. Pada awalnya, sebagaimana dikisahkan oleh Musa Kazhim, sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, seperti Portugis dan Belanda. Kebanyakan Habaib diberi kepercayaan oleh raja-raja setempat sebagai syahbandar, seorang diplomat ekonomi yang bertugas mengatur gerak perdagangan antara kerajaan setempat dengan para importir. Pada masa pemerintah kolonial Portugis dan Belanda, jabatan syahbandar diubah menjadi kapiten atau letnan, yang tidak sekedar menjadi makelar ekonomi, tetapi juga makelar budaya, penghubung antara masyarakat lokal dengan pemerintah kolonial. Bukan hanya para Habib, jabatan kapiten atau letnan juga dipercayakan kepada elite Tionghoa dan Melayu.[7]

Jika bangsa-bangsa kolonial Eropa mengeruk kekayaan alam daerah jajahan, maka para Habib membuat simpul-simpul jaringan intelektual di daerah-daerah tempat mereka berdiaspora. Azyumardi Azra, Ulrike Freitag, dan Michael R. Feener telah memetakan jaringan-jaringan itu secara rinci. Sebagaimana dikutip oleh Musa Kazhim, paling tidak, ada tiga pola simpul jaringan intelektual para Habib. Pertama, jaringan intelektual antara Mekkah dan Nusantara, yang sekarang dikenal sebagai Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Kedua, jaringan intelektual antara Hadhramaut dan Asia Tenggara. Ketiga, pusat-pusat studi Islam di kerajaan-kerajaan lokal di daerah-daerah Asia Tenggara, seperti Riau dan Sumenep.[8]



Dalam perkembangannya, Habaib juga melakukan perkawinan dengan perempuan-perempuan setempat yang merupakan keluarga bangsawan lokal sehingga memungkinkan mereka atau keturunan mereka pada akhirnya mencapai kekuasaan politik yang dapat digunakan untuk penyebaran Islam.[9] K.H. Ali Badri Ketua Dewan Pembina Majelis Dzurriyat Wali Songo, mengatakan tak sedikit dari tokoh ‘Alawiyin awal itu kemudian masuk ke dalam keluarga berbagai kerajaan lokal melalui jalinan perkawinan. Maka, kenyataannya, kemudian tak sedikit tampuk kekuasaan kesultanan di Asia Tenggara sampai saat ini berada di jalur keturunan tokoh-tokoh tersebut. Misalnya, Kesultanan Pontianak.[10] (PH)


Catatan Kaki:

[1] Prolog Abdillah Toha dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hlm xix.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Haji Muzaffar Dato’ Hj Muhammad dan (Tun) Suzana (Tun) Hj Othman, Ahlulbait (Keluarga) Rasulullah SAW. dan Kesultanan Melayu, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hlm 90

[5] Pehin Jawatan Luar Pekerma Raja Dato Seri Utama Dr. Ustaz Hj Md Zain Hj Serudin, Melayu Islam Beraja; Suatu Pendekatan, 1998, hlm. 105, dalam Haji Muzaffar Dato’ Hj Muhammad dan (Tun) Suzana (Tun) Hj Othman, Ibid.

[6] Haji Muzaffar Dato’ Hj Muhammad dan (Tun) Suzana (Tun) Hj Othman, Ibid.

[7] Musa Kazhim, “Sekapur Sirih Sejarah ‘Alawiyin dan Perannya Dalam Dakwah Damai Di Nusantara: Sebuah Kompilasi Bahan”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, Ibid., hlm 13

[8] Ibid., hlm 13-13.

[9] Azyumardi Azra, “Islamisasi Nusantara; Dakwah Damai”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, Ibid., hlm 111-112.

[10] Muhammad Subarkah, Jalur Dakwah Diaspora Hadhramaut, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, Ibid., hlm 242.


Baca selanjutnya: https://ganaislamika.com/melacak-asal-usul-habib-di-indonesia-3-habaib-dalam-pusaran-kerajaan-di-indonesia-1/

 Asal-Usul Habib di Indonesia (2): Dakwah Damai Alawiyin “Islam disebarkan para penyiarnya dalam dakwah damai dengan pendekatan ...


 Asal-Usul Habib di Indonesia (2): Dakwah Damai Alawiyin



“Islam disebarkan para penyiarnya dalam dakwah damai dengan pendekatan inklusif dan akomodatif terhadap kepercayaan dan budaya lokal”

–O–


Pada tahun 2017, di Indonesia diperkirakan terdapat sebanyak 500 ribu – 1,5 juta jiwa keturunan Alawiyin asal Hadhramaut. Pendataan terhadap kaum Alawiyin tersebut pertama kali dilakukan pada tahun 1932-1940. Dari hasil pendataan tersebut, tercatat terdapat 68 marga atau kabilah (kaum dari satu ayah) kaum Alawiyin. Sementara, di luar itu terdapat 239 marga Arab di Indonesia yang tidak termasuk keturunan Alawiyin. Artinya, jumlah marga keturunan Nabi lebih kecil dibanding marga Arab lainnya.[1]

Pada artikel sebelumnya kita telah membahas bahwa para Habib tersebut sudah ada sejak lama di Indonesia, bahkan mereka sudah ada jauh hari dari sejak sebelum masa kemerdekaan. Namun, kapankah tepatnya para habib tersebut masuk ke Indonesia?

Ada beberapa teori yang menjelaskan mengenai masuknya Islam ke Indonesia. Azyumardi Azra merangkumnya ke dalam empat teori, yaitu Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia, yakni pada masa-masa awal tahun Hijriah; kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyair “profesional”—yakni mereka yang memang khusus bermaksud menyebarkan Islam; ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa; dan keempat, kebanyakan para penyebar Islam “profesional” ini datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Mungkin benar bahwa Islam sudah diperkenalkan ke dan ada di Nusantara pada abad-abad pertama Hijriah, tetapi hanyalah setelah abad ke-12 pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Oleh karena itu, proses Islamisasi tampaknya mengalami akselarasi antara abad ke-12 dan ke-16.[2]

Dari empat teori tersebut, pada bagian manakah para Habib masuk ke Indonesia? Tahap pertama kedatangan para Habib dijelaskan oleh dua habib terkemuka, yaitu Sayid Alwi bin Thahir Al-Haddad (1957) dan Sayid Muhammad Naquib Al-Attas (1972 dan 2011), dan diamini oleh H. Aboebakar Atjeh, mereka mengemukakan bahwa para pembawa Islam kali pertama adalah para Habib pedagang dari Hadhramaut. Aceh merupakan daerah pertama berlabuhnya para Habib tersebut. Bukti dari kehadiran para Habib tersebut dapat dilacak dari keberadaan kuburan kaum Hadhrami di Aceh.[3]

Tahap pertama proses Islamisasi Nusantara oleh para Habib terjadi pada abad-abad pertama Hijriah. Mengingat jauhnya jarak dari tempat turunnya wahyu dan keterbatasan teknologi transportasi, keberhasilannya masih terbatas pada wilayah-wilayah tertentu yang amat terbatas dan belum lagi mampu mencapai wilayah-wilayah lain di seluruh penjuru negeri.[4]

Pada tahapan kedua, Musa Kazhim menjelaskan bahwa para Habib Alawiyin keturunan ‘Ali dan Fâthimah binti Rasulullah SAW tersebut datang pada abad ke-14 M. Pada periode ini, dakwah Islam berkembang sedemikian rupa sehingga dapat tersebar di seluruh penjuru Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Perkembangan tersebut mencapai puncaknya pada abad ke-15 hingga abad ke-17 M.[5]

 

Dakwah Damai Alawiyin

Namun terlepas dari teori mana yang benar, Azyumardi Azra mengatakan, hanya satu hal yang pasti, yaitu Islam disebarkan para penyiarnya dalam dakwah damai dengan pendekatan inklusif dan akomodatif terhadap kepercayaan dan budaya lokal.[6] Pengarang Al-Madkhal ilâ Târîkh Al-Islâm bi Al-Syarq Al-Aqshâ sebagaimana dikutip oleh Musa Kazhim mengatakan:

“Islam datang ke pulau-pulau yang jauh ini dibawa oleh orang-orang berakhlak mulia, bermoral tinggi, cerdik pandai, dan semangat kerja keras. Sementara itu, bangsa-bangsa yang menerima kedatangan mereka memiliki hati yang jernih sehingga dengan suka cita menerima ajakan mereka dan menyatakan beriman. Mereka adalah keturunan ‘Ali dan Fâthimah binti Rasulullah Saw. yang menginjakkan kaki di wilayah- wilayah yang belum pernah terjamah oleh tangan Barat. Mereka melakukan itu bukan dengan membawa bala tentara, melainkan semangat iman; bukan pula kekuatan, melainkan sikap percaya diri dan keimanan. Tiada mereka berbekal, kecuali tawakal; tiada perahu motor, tiada pula angkatan perang, yang mereka bawa hanya iman dan Alquran. Mereka berhasil mencapai tujuan yang tak dapat dicapai beribu pasukan dengan segala perbekalan dan fasilitas lengkap sekalipun, padahal mereka hanya beberapa orang.”[7]

Bila ditarik lebih ke belakang lagi, tokoh besar Alawiyin, Muhammad bin ‘Ali (574-653 H), atau juga dikenal dengan sebutan Al-Faqih Al-Muqaddam, tokoh yang menjadi peletak dasar-dasar tasawuf kaum ‘Alawiyin secara demonstratif pernah melakukan “upacara” pematahan pedang. Al-Faqih Al-Muqaddam mematahkan pedangnya sebagai simbol politik dan sosial-religius. Ahli sejarah ‘Alawiyin, Sayid Muhammad bin Ahmad Al-Syathiry mengupasnya, dalam kitab Adwar Al-Tarikh al-Hadhramy, sebagaimana dikutip oleh Musa Kazhim, mengatakan:

“Di masa Al- Faqih Al-Muqaddam dan sebelumya, para penguasa di Hadhramaut menyoroti gerak-gerak ‘Alawiyin karena mereka selalu mendapatkan tempat di hati rakyat (mengingat klaim kuat keimaman sebagaimana dinyatakan dalam berbagai hadis dan dipercayai banyak orang). Mereka khawatir, tokoh-tokoh di kalangan kaum ‘Alawiyin dapat menjadi sumber berkumpulnya kekuatan politik dan ditakutkan dapat menggerogoti kekuasaan mereka. Bukan hanya selalu mengawasi gerak gerik ‘Alawiyin, para penguasa ini juga terus menyudutkan kelompok ini, seperti perlakuan para penguasa sebelumnya, yang bermula sejak Bani Umayyah, Bani Abbas, dan lainnya (inilah juga yang mengakibatkan Ahmad bin ‘Isa hijrah ke Hadhramaut untuk pertama kalinya). Alasan yang sama telah membuat kakeknya, Shahib Mirbath (Muhammad bin Ali) hijrah dari daerahnya; juga kematian pamannya Alwi yang dipercayai diracun oleh Al Qahthany, penguasa Tarim saat itu. Maka, pematahan pedang harus dilihat sebagai simbol peletakan senjata, yang berarti kesediaan untuk menempuh cara-cara damai dalam dakwah dan kemasyarakatan. Penekanan pada tasawuf dan metode dakwah secara damai inilah yang kemudian secara umum mewarnai secara turun temurun “mazhab” kaum ‘Alawiyin di mana pun mereka berada, sampai pada masa sekarang ini.”[8]

Rupanya, metode dakwah damai ini diturunkan dari generasi ke generasi Alawiyin berikutnya, termasuk kaum Alawiyin di Indonesia. Memang sejarah mencatat, terlepas kaum Alawiyin ataupun bukan, sebab ternyata ditemukan juga tokoh dakwah Islam di Indonesia yang berasal dari China,[9] bahwa tidak pernah ditemukan adanya unsur peperangan apapun sepanjang sejarah dakwah penyebaran Islam di bumi Indonesia. (PH)


Catatan Kaki:

[1] Reja Hidayat, “Dinamika Menelusuri Silsilah Para Habib”, dari laman https://tirto.id/dinamika-menelusuri-silsilah-para-habib-chda, diakses 25 Desember 2017.

[2] Azyumardi Azra, “Islamisasi Nusantara; Dakwah Damai”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hlm 111.

[3] Musa Kazhim, “Sekapur Sirih Sejarah ‘Alawiyin dan Perannya Dalam Dakwah Damai Di Nusantara: Sebuah Kompilasi Bahan”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hlm 14.

[4] Ibid.

[5] Ibid., hlm 15.

[6] Azyumardi Azra, Ibid., hlm 101.

[7] Musa Kazhim, Ibid., hlm 15.

[8] Ibid., hlm 6-7.

[9] Tentang pendakwah dari China, lihat “Masjid Muhammad Cheng Ho Palembang (2): Siapakah Cheng Ho?”, dari laman https://ganaislamika.com/masjid-muhammad-cheng-ho-palembang-2/, diakses 26 Desember 2017.

Baca selanjutnya: https://ganaislamika.com/melacak-asal-usul-habib-di-indonesia-2-dakwah-damai-alawiyin/

Melacak Asal-Usul Habib di Indonesia (1): Siapakah Habib? Habib, siapakah dia? Gambaran Habib bagi masyarakat Indonesia barangka...

Melacak Asal-Usul Habib di Indonesia (1): Siapakah Habib?


Habib, siapakah dia? Gambaran Habib bagi masyarakat Indonesia barangkali adalah seorang laki-laki berwajah Arab, berjanggut, bersorban, dan mengenakan gamis. Namun, di luar soal tampilan, biasanya seorang Habib memiliki banyak sekali jamaah yang rutin menghadiri kegiatan keagamaan yang dilakukan olehnya. Namun siapakah sebenarnya Habib itu? Sejarah mencatat, keberadaan para Habib di Indonesia sudah berlangsung lama sejak sebelum kemerdekaan.

Di antara nama Habib-habib di Indonesia yang mempunyai nama dalam lingkup nasional adalah Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi atau lebih populer dengan nama Habib Ali Kwitang, Pendiri Majelis Ta’lim Kwitang, Jakarta; Habib Ali Alatas, mantan Menteri Luar Negeri; dan yang belakangan banyak menghiasi berita media nasional, Habib Rizieq Shihab, pendiri dan ketua FPI (Front Pembela Islam). Selain nama-nama tersebut masih banyak Habib-habib lainnya yang mempunyai pengaruh besar.


“Habib” yang yang secara tekstual berarti “kekasih” adalah gelar kehormatan yang ditujukan kepada para keturunan Nabi Muhammad SAW yang tinggal di daerah Lembah Hadhramaut, Yaman; Asia Tenggara; dan Pesisir Swahili, Afrika Timur.[1] Lebih spesifik lagi, definisi “keturunan” ini mesti dari keturunan Husein, yakni putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra (putri Nabi Muhammad SAW).[2]


Secara pemaknaan, Quraish Shihab memberikan penjelasan yang lebih detail mengenai Habib, “Habib itu orang yang mengasihi dan dikasihi. Jadi kalau ‘mengasihi’ dalam bahasa Arab itu artinya ‘muhib’. Kalau ‘yang dikasihi’ itu ‘mahbub’. Kalau ‘habib’, bisa berarti subjek bisa berarti objek. Jadi, ‘habib’ tidak boleh bertepuk sebelah tangan, hanya mau dicintai tapi tidak mencintai orang,” ujar Quraish Shihab dalam sebuah wawancara.[3]

Asal muasal keberadaan para Habib dapat dilacak dari pendirinya, yaitu Ahmad bin Isa (wafat tahun 345 H). Pria yang lebih dikenal dengan nama Al-Imam Ahmad bin Isa atau al-Imam al-Muhajir ini adalah generasi ke-8 dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra.[4] Secara berturut-turut garis keturunannya dapat dilihat dari diagram berikut ini:

SILSILAH ALAWIYIN
Ahmad bin Isa diketahui melakukan hijrah dari Basra ke Hadhramaut (Yaman) bersama keluarganya pada tahun 317 H untuk menghindari Dinasti Abbasiyah yang sedang berkuasa pada saat itu. Sebelum ke Yaman, Ahmad bin Isa diketahui pernah melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah, dia kemudian tinggal di dekat kuburan buyutnya. Di Madinah, beredar isu bahwa para keturunan Rasul akan mengambil alih kekuasaan. Isu tersebut membuat pemerintah yang berkuasa saat itu cemas sehingga banyak keturunan Nabi yang diburu dan bahkan dibunuh. Karena hal itu lah, akhirnya Ahmad bin Isa dan keluarganya memutuskan untuk berhijrah.[5]

Sementara, versi lain mengatakan bahwa Ahmad bin Isa adalah seorang yang ‘alim, ‘amil (mengamalkan ilmunya), hidupnya bersih dan wara’ (pantang bergelimang dalam soal keduniaan). Di Irak beliau hidup terhormat dan disegani, mempunyai kedudukan terpandang, dan mempunyai kekayaan cukup banyak. Mereka hijrah ke Hadhramaut bukan karena dimusuhi atau dikejar-kejar oleh penguasa, melainkan karena lebih mementingkan keselamatan akidah keluarga dan pengikutnya. Mereka hijrah dari Basrah ke Hadhramaut mengikuti contoh kakek buyutnya, yaitu Muhammad Rasulullah SAW yang hijrah dari Mekah ke Madinah.[6]

Ahmad bin Isa wafat di Husaisah, salah satu desa di Hadhramaut, pada tahun 345 Hijriah. Beliau mempunyai dua orang putera yaitu Ubaidillah dan Muhammad. Ubaidillah hijrah bersama ayahnya ke Hadramaut dan mendapat tiga orang putera yaitu Alwi (Alawi), Jadid, dan Ismail. Pada akhir abad ke-6 H keturunan Ismail dan Jadid dikatakan tidak mempunyai kelanjutan, sehingga mereka punah dalam sejarah, sedangkan keturunan Alwi tetap berlanjut. Keturunan dari Alwi inilah yang kemudian dikenal dengan kaum Alawiyin. Maka, secara khusus, istilah “Habib” mengacu kepada keturunan Alwi bin Ubaidillah (wafat awal abad ke-5 H).[7]

Ahmad bin Isa semasa hidupya dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi dan berbudi tinggi, selain itu, beliau adalah keturunan Nabi Muhammad SAW, sehingga banyak orang yang beranggapan bahwa beliaulah pewaris agama Islam serta Ahlul Bait yang sah.[8] Berdasarkan fakta tersebut, maka dalam perkembangannya, wilayah Hadhramaut menjadi semacam “sekolah” bagi orang-orang yang ingin menimba ilmu agama Islam, walaupun sebenarnya di sana tidak ada institusi formal. Hubungan antara murid dan guru di sana lebih diikat dalam bentuk ikatan spiritual. Di kemudian hari sekolah Hadhramaut dikenal memiliki aliran tersendiri yang disebut al-tariqa al-Alawiyya (Tarikat Alawiyin).[9]

Dengan keberadaan Tarikat Alawiyin, maka istilah Habib di Hadhramaut menjadi lebih luas, tidak lagi dibatasi sebatas garis keturunan. Lulusan sekolah Tarikat Alawiyin yang ternama pun dapat dipanggil sebagai Habib. Namun, bagi kalangan Alawiyin di Asia Tenggara, istilah Habib masih dibatasi berdasarkan garis keturunan, oleh karena itu lah muncul varian-varian lain dari gelar yang disematkan kepada para keturunan Nabi, yaitu Sayyid dan Sharif.[10] Sayyid berarti keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis Husein, sementara Sharif adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis Hasan.[11] (PH)


 Catatan Kaki:

[1] Ismail Fajrie Alatas, Habaib in Southeast Asia, The Encyclopaedia Of Islam Three (Leiden: Brill, 2018), hlm 56.

[2] Arbi Sumandoyo, “Kita Harus Bisa Memilah antara Sayid dan Habib”, dari laman https://tirto.id/kita-harus-bisa-memilah-antara-sayid-dan-habib-chc8, diakses 3 November 2017.

[3] Zen RS dan Ahmad Khadafi, “Banyak Habib yang Tidak Mencerminkan Akhlak yang Baik”, dari laman https://tirto.id/banyak-habib-yang-tidak-mencerminkan-akhlak-yang-baik-chxg, diakses 4 November 2017.

[4] Arbi Sumandoyo, Ibid.

[5] Ibid.

[6] Benmashoor, “Asal Usul Para Habaib di Nusantara”, dari laman http://www.sarkub.com/asal-usul-para-habaib-di-nusantara/, diakses 4 November 2017.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Ismail Fajrie Alatas, Loc. Cit.

[10] Ibid.

[11] Arbi Sumandoyo, Loc. Cit.

 
Sumber:
https://ganaislamika.com/melacak-asal-usul-habib-di-indonesia-1-siapakah-habib/

Syeik Abdurrauf dan Tafsir Al Quran Pertama Di Nusantara Prof. Hamka dalam salah satu prasarannya di Seminar Sejarah Masuk dan B...

Syeik Abdurrauf dan Tafsir Al Quran Pertama Di Nusantara


Prof. Hamka dalam salah satu prasarannya di Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia tahun 1980, menyatakan bahwa tafsir Al Quran tertua yang memuat lengkap 30 Juz, dengan ditulis dalam bahasa Melayu adalah Kitab tafsir Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh ‘Abd ar-Ra’uf bin ‘Ali al-Jawiyy al-Fansuriyy as-Sinkiliyy, atau dikenal dengan Syeik Abdurrauf al-Sinkily yang diperkirakan hidup antara tahun 1615-1693 M.[1]

Dr. Rinkes seorang sarjana Belanda dan turut aktif membangun Serikat Islam (SI) sekitar 1915, dalam disertasinya yang berjudul “Abdurrauf Van Singkel”, menyebut nama lengkap beliau, yaitu Syaikh Aminuddin Abdurrauf bin ‘Ali Al Jawy, Tsummal Fanshuri As Sinkily.[2]

Terkait adanya nama Jawy pada nama Syeik Abdurrauf, menurut Hamka, sejak dulu Ibn Batutah kerap menyebut penduduk Nusantara sebagai orang Jawi. Meskipun Ibn Batutah tercatat pernah berkunjung ke Aceh, namun dalam catatatnya beliau menamakan penduduk Siam (Thailand), pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, hingga Sulawesi dan Mindano (Filipina Sekarang), dengan sebutan Jawy. Catatan ini kemudian terkenal dan menjadi lingua franca internasional tentang Nusantara. Maka tidak mengherankan bila Syeik Abdurrauf memperkenalkan dirinya dengan nama Jawy.[3]

Adapun asal usul Syeik Abdurrauf sendiri berasal dari daerah Barus. Ini sebabnya ia menggunakan nama Al Fanshury, sebab pada masa lalu, masyarakat lebih banyak menyebut Barus dengan Pancur atau Fansur. Sedang As Sinkily menunjukkan daerah Singkel yang letaknya berada di Pesisir sebelah barat Pulau Sumatera. Jarak antara Barus dengan Sinkel ini menurut Hamka hanya 60 Km saja.[4]

Syeik Abdurrauf menjabat sebagai mufti Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelaran “Qadi Malik al-Adil” pada tahun 1665 M, atau pada masa pemerintahan Iskandar Muda Mahkota Alam. Kedudukan yang begitu tinggi ini tidak sekonyong-konyong ia dapatkan. Dikabarkan selama puluhan tahun beliau sudah merantau menuntut ilmu hingga ka tanah Arab, sampai akhirnya menguasai begitu banyak ilmu agama baik di bidang Tafsir al-Qur’an, hadis, aqidah, fiqih, dll. Banyaknya karya yang dibuat oleh beliau semasa hidupnya menunjukkan bukti kedalaman ilmunya. Beberapa diantaranya, di bidang Fiqih, beliau menulis kitab Majmu’ul Masaa-il (Kumpulan masalah-masalah), ataupun dalam hal akhlaq beliau menulis kitab yang berjudul Al Mawaa’zh Al Badii’ah.[5] Dan dalam bidang Tafsir Al Quran, beliau menulis Tafsir Tarjuman al-Mustafid, yang merupakan magnum opus-nya.

Salah satu kelebihan kitab-kitab karangan Syeik Abdurrauf adalah kontekstualitasnya. Menurut Hamka, Kitab-kitab yang ditulisnya selalu menyesuaikan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat Islam di Nusantara pada waktu itu, khususnya di wilayah Aceh Darussalam. Ia mengadaptasikan ilmu-ilmu agama yang dibawanya ke dalam bahasa-bahasa yang ringan, mudah dimengerti oleh masyarakat, dan langsung menjawab ke pokok persoalan. Hal yang sama juga terjadi pada Tafsir Tarjuman al-Mustafid, dimana beliau menulis ini dengan Bahasa Melayu lengkap 30 Juz, dengan penjelasan yang singkat, dan tidak panjang lebar. Sehingga mudah dibaca dan dipahami oleh para pembaca yang awam sekalipun.

Terdapat cukup banyak komentar terkait Tafsir Al Quran pertama di Nusantara ini, diantaranya yang menyatakan bahwa Tarjuman al-Mustafid tidak lain merupakan terjemah dari Tafsir al-Baydlawi. Pendapat ini muncul dari Christian Snouck Hurgronje. Serta Peter Riddle yang berpendapat Tarjuman al-Mustafid sebagai terjemahan dari Tafsir Jalalayn, karya Jalaludin Al Suyuthi. Sedangkan menurut Prof. Azrumardi Azra, Tafsir Jalalayn memberikan pengaruh yang kuat pada Tafsir Tarjuman al-Mustafid.[6]



Namun bila melihat dari teks halaman pertama Tafsir “Turjuman al-Mustafid” pada gambar di atas, bisa dipastikan bahwa Turjuman al-Mustafid sebenarnya lebih merupakan terjemahan, atau adaptasi dari kitab “Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil” atau yang dikenal dengan “Tafsir al-Baidhawi” karangan al-Qadhi al-Baidhawi (w. 685 H/ 1286 M), sebuah kitab tafsir legendaris yang banyak tersebar dan dijadikan rujukan utama di dunia Sunni. Kenyataan ini terlihat pada kalimat pembuka “basmalah” pada halaman naskah di atas, yaitu: إنيله تفسير البيضاوي “inilah tafsir al-baidhawi”. Sementara itu, di sampul naskah kitab edisi tersebut, juga terdapat tulisan sebagai berikut:

“ترجمان المستفيد في تفسير القرآن المجيد يغ دترجمهكن دغن بهاس ملايو يغ دأمبيل ستنه معنان درفد تفسير البيضاوي”

(Turjuman al-Mustafid fi Tafsir al-Quran al-Majid yang diterjemahkan dengan bahasa Melayu yang diambil setengah ma’nanya daripada Tafsir al-Baidhawi).[7]

Dalam Jurnal Substansia disebutkan beberapa kelebihan dan kekuarangan Tafsir Tarjuman al-Mustafid adalah sebagai berikut: 1) Selalu memulai dengan kata Basmalah; 2) Menjelaskan ayat-ayat secara berurutan dimulai dari surat al-Fatihah ditutup dengan Surat al-Nas; 3) Menjelaskan ayat-ayatnya dengan singkat padat dan mudah untuk dipahami, serta cocok bagi semua usia; 4) Sebelum menjelaskan ayat-ayatnya terlebih dahulu memperkenalkan surat yang akan dijelaskan. Seperti Nama surat, tempat turun, dan juga fadilah membaca surat tersebut serta jumlah ayat dalam surat tersebut; 5) Penjelasan ayat terletak berdampingan dengan ayat, artinya penjelasan ayat dan ayat terletak dalam satu halaman, sehingga mempermudahkan bagi pembaca; 6) Setiap penjelasan diberi kode tersendiri sesuai dengan penjelasan yang akan dijelaskan, seperti menjelaskan tentang bacaan para imam qiraat kode yang diberikan adalah kata ikhtilaf yang terletak didalam kurung dan kata “wallahu’alam” pada penutup penjelasan bacaan para imam qiraat tersebut. Penjelasan mengenai sebab turun ayat biasanya diberi kode atau tanda dengan kata qisah dalam kurung, dan lain sebagainya; 7) Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawi.[8]

Adapun kekurangannya antara lain: 1) Penjelasannya terlalu singkat sehingga tidak menambah wawasan bagi pembaca; 2) Tidak menjelaskan tentang sanad dan matan hadits ketika menjelaskan suatu ayat; 3) Tidak menjelaskan tentang sanad dan matan hadits pada penjelasan asbabun nuzul atau menjelaskan tentang yang lainnya.[9]

Syeik Abdurrauf meninggalkan pada tahun 1693 M dan ada juga yang berpendapat beliau meninggal pada tahun 1693 hingga 1695 M. Kemudian beliau dimakamkan di muara Sungai Aceh atau Kuala Krueng Aceh, Banda Aceh, bersebelahan dengan makam Tengku Anjung yang dianggap di Aceh. Oleh itu, masyarakat Aceh menggelar beliau sebagai “Tengku di Kuala” atau “Syiah Kuala”. (AL)

Catatan Kaki:

[1] Lihat, Prof. DR. Hamka, “Aceh Serambi Mekah”, dalam Prof. A. Hasjmy, “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia”, Medan, PT. Al Ma’arif, 1993, Hal. 221

[2] Ibid, Hal. 222

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Ibid, Hal. 223-224

[6] Lihat, Suarni, Karakteristik Tafsir Tarjuman al-Mustafid, Jurnal Substantia, Volume 17 Nomor 2, http://substantiajurnal.org, Oktober 2015

[7] Lihat, http://www.nu.or.id/post/read/67951/turjuman-al-mustafid-tafsir-karya-ulama-aceh-terbit-di-turki, Diakses 18 Oktober 2017

[8] Suarni, Op Cit

[9] Ibid

 

Baca selanjutnya: https://ganaislamika.com/syeik-abdurrauf-dan-tafsir-al-quran-pertama-di-nusantara/

Sejarah, Pertumbuhan, dan Perkembangan Tarekat di Indonesia Artikel ini akan menjelaskan kepada anda tentang sejarah, pertumbuha...

Sejarah, Pertumbuhan, dan Perkembangan Tarekat di Indonesia


Artikel ini akan menjelaskan kepada anda tentang sejarah, pertumbuhan, dan perkembangan tarekat di Indonesia.

Tarekat adalah mengamalkan syari’at dan menghayati inti dari syati’at, serta menjauhkan perkara yang bisa melalaikan pelaksanaan dari tujuan syari’at.

Islamisasi di Indonesia berawal pada corak pemikiran tasawuf yang lebih unggul di dunia Islam. Sehingga pertumbuhan dan perkembangan tarekat di Indonesia dapat diterima oleh masyarakat dan ajaranya eksis hingga saat ini.

Tasawuf adalah mensucikan hati agar terhindar dari kelemahan, menghilangkan sifat kemanusiaan, menjahui akhlak alamiah, dan mejauhi segala keinginan nafsu.

Tokoh sufi, seperti Ibnu ‘Arobi dan Ghozali sangat berpengaruh terhadap pengarang muslim di Indonesia pada generasi awal.

Bahkan hampir seluruh pengarang muslim di Indonesia penganut tarekat.

Sejarah masuknya Islam di Indonesia terdapat dua pendapat.

Pertama, pada abad ke-7 Masehi Islam masuk ke Indonesia dibawa langsung dari Arab.

Kedua, Islam masuk di Indonesia pada abad ke-13 dibawa dari Gujarat.

Dari kedua pendapat di atas bisa dijelaskan bahwa masuknya Islam di Indonesia terdiri dari dua segmen.

Segmen pertama, terjadi pada abad ke-7 yang mana masuknya Islam di Indonesia termotivasi dari perdagangan.

Segmen kedua, terjadi pada abad ke-13 yang mana masuknya Islam di Indonesia dengan motivasi dakwah secara besar-besaran.

Pada pendapat di atas penulis mengambil segmen yang kedua karena sangat berkaitan dengan perkembangan tasawuf serta tarekat di Indonesia.

Pada masa tersebut dunia tasawuf dan tarekat sedang mengalami kejayaan di dunia Islam, sehingga pengaruhnya terasa sampai ke Indonesia.

Berkembang pesatnya tarekat pada puncak kejayaan menjadi peran penting dari perkembangan Islam di Indonesia.

Dengan demikian proses islamisasi di Indonesia dalam bentuk tarekat sangat besar kontribusinya dari peranan tasawuf yang terlembaga dengan baik.

Hal tersebut tidak hanya mendapatkan pengakuan dari sarjana muslim saja akan tetapi para sarjana Barat juga mengakuinya.

Pengakuan di atas seakan-akan berparadigma bahwa yang membuat Islam tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan besar di masyarakat Indonesia adalah tasawuf.

Sejarah masuknya tarekat di Indonesia sangat berhubungan dengan sejarah masuk Islam di Indonesia.

Berdasarkan laporan Marcopolo yang datang ke Indonesia pada tahun 1629 M, mengatakan bahwa di Sumatera hanya satu kerajaan Aceh-Perlak yang beragama Islam dari delapan kerajaan.

Bukti lain masuknya Islam di Indonesia dengan tercapainya puncak kejayaan pada kerajaan Aceh yang didukung oleh para sufi dan syech tarekat.

Penyebaran Islam yang dibawa Syech Burhanuddin Ulaka, berfokus pada seluruh wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sekitarnya.

Sedangkan penyebaran Islam di pulau Jawa dikenalkan oleh Syech Maulana Malik Ibrahim, Syech Maulana Ishak, dan Syech Ibrahim Asmoro.

Mereka merupakan alumni dari pusat pendidikan Islam di Aceh.

Menurut Jalaluddin tarekat yang terdapat di Indonesia seperti, Tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Sammaniyah, Tijaniyyah, Khalwatiyyah, Wahidiyyah, Shiddiqiyyah dan lain-lain.

Meskipun tarekat tersebut tidak bisa diprediksi secara pasti.

Dilansir dari buku yang berjudul Tasawuf dan Tarekat Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, terbitan tahun 2013, karya Prof. Dr. H. Ris’an Rusli, M.A.

Demikian penjelasan tentang sejarah, pertumbuhan, dan perkembangan tarekat di Indonesia yang dapat anda ketahui.***

https://semarangku.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-312715726/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan-tarekat-di-indonesia 

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Qur'an (230) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (50) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (230) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) Kisah Para Nabi dan Rasul (338) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (69) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (1) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (15) Nabi Nuh (3) Nabi Sulaiman (1) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (4) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (210) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (210) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (437) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (178) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (204) Sirah Sahabat (122) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (125) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)