Mengobati Krisis Pengelolaan Uang Pribadi
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Krisis pengelolaan keuangan tengah menerjang negri ini, tidak saja skala nasional tetapi juga pribadi. Fenomena ini terlihat dari, 42% yang terjerat pinjaman online (pinjol) illegal adalah para guru. 18% adalah ibu rumah tangga. Bahkan ada Perguruan Tinggi Negri yang para mahasiswa terjerat pinjol dengan total hingga milyaran rupiah. Untuk apa uang dari pinjol? Ini yang lebih mengerikan.
Urutan tertinggi mengambil pinjol illegal adalah untuk menutupi hutang lagi. Berhutang untuk menutupi hutang dengan bunga uang menjerat. "Ada yang berhutang Rp500.000,- tetapi saat ditagih menjadi 24 juta." Demikian ungkapan Mahfud MD saat debat Cawapres. Setelah itu, hanya untuk memenuhi gaya hidup. Pinjol online tidak ada yang menyentuh ke sektor produktif. Bagaimana bisa menutupi hutang berikutnya?
Yang lebih parah, menurut laporan yang disampaikan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana kepada Liputan6.com, Senin (25/9/2023), dapat diidentifikasi sebanyak 2.761.828 masyarakat, atau sekitar 2,7 juta orang mengikuti permainan judi online sejak 2017-2022. Dimana 2,1 juta pelakunya berasal dari kelompok ekonomi bawah, dengan pelaku terbesar adalah pelajar.
Pada 2021 saja, jumlahnya sudah tembus Rp 57,91 triliun dari 43.597.112 transaksi. Puncaknya di 2022, ketika nilai transaksi mencapai Rp 104,41 triliun dari 104.791.427 jumlah transaksi judi online. Berarti ada kenaikan transaksi 240% di tahun 2022 dibandingkan 2021. Dimana setiap orang melakukan rata-rata 38 transaksi. Bukankah ini fakta yang mengerikan?
Pinjol dan judi online yang diminati guru, mahasiswa, pelajar, ibu rumah tangga, karyawan hingga kelompok masyarakat lainnya, merupakan fakta krisisnya pengelolaan uang. Bukankah guru merupakan contoh peradaban? Bukankah mahasiswa dan pelajar merupakan pelanjut peradaban?
Bila pinjol illegal sebagian besar hanya untuk membayar hutang. Bila uang dimainkan ke judi online hingga 2023 menyentuh angka 500 trilyun, maka perputaran uang hanya menjadi uang semata, sama sekali tidak menyentuh sektor rill seperti pertanian, olahan dan pabrikasi. Akibatnya, perputaran uang sebesar apapun tidak bisa meningkatkan kesejahteraan. Sebab, kesejahteraan meningkat bila perputaran uang mengalir ke sektor rill. Bagaimana caranya?
Rasulullah saw mengajarkan agar perputaran uang terbagi ke dalam tiga konsep dasar. Yaitu, konsumsi, investasi dan sedekah dengan proporsi idealnya masing-masing sepertiga. Konsumsi untuk menjaga kehidupan dasar masa sekarang. Investasi untuk menciptakan pertumbuhan di masa depan. Sedekah agar semakin banyak orang yang menggerakkan ekonomi. Bukankah bila hanya untuk konsumsi pribadi, kebutuhannya sangat terbatas? Dalam Islam, semua perputaran uang harus berakhir pada sektor riil.
Rasulullah saw mendidik seorang pengemis dalam mengelola keuangannya. Kain dan perabotan rumahnya dijual dengan harga 2 dirham sebagai modal awal. Satu dirham digunakan untuk konsumsi. Satu dirham untuk membeli kampak. Dengan kampak itu, sang pengemis mengambil kayu bakar lalu dijual ke pasar. Dengan konsep ini, uang itu harus berputar untuk konsumsi pokok dan investasi pada bidang yang bisa memberikan penghasilan secara berkelanjutan.
Cara mudah dan praktis menciptakan kecerdasan finansial adalah dengan berpuasa. Tak perlu banyak teori dari para ahli. Tak perlu banyak studi kasus untuk memahaminya. Cukup berpuasalah. Berpuasa untuk mengelola yang halal dan mubah pada tempatnya. Puasa menutup pintu keharaman. Keharaman menghacurkan kecerdasan finansial. Keharaman mendorong seseorang pada kecanduan mengeluarkan uang yang efeknya menghancurkan manajemen dan kematangan diri. Akal sehat hilang. Berfikir jangka panjang hancur. Sensitivitas berinvestasi mati, karena terfokus pada kesenangan hari ini dengan penghamburan yang tak terkira.
Suatu hari Umar Bin Khatab berkeliling daerah. Dia menyapa para aparatur negaranya. Salah satu nasihatnya, "Bila keluar gajimu, maka sebagiannya agar dibelikan kambing. Jika keluar gaji berikutnya, belilah satu kambing satu atau dua ekor, lalu jadikanlah sebagai harta pokok." Gaji sebagai modal pengembangan harta masa depan, bukan dihabis memuaskan keinginan. Itulah nasihat Umar Bin Khatab.
Wajar saja, bila pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya stagnan di level 5%. Wajar saja, bila Indonesia berada pada level deindustrialisasi, dimana kontribusi industri terus menurun bagi perekonomian nasional. Wajarlah saja, bila kemiskinan dihitung dengan penghasilan Rp50.000,- per hari, maka angka kemiskinan menjadi 40% dari total penduduk Indonesia. Salah satu sebabnya, perputaran uang tidak menyentuh sektor riil.
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif