Jejak Gemilang Alp Arslan
OLEH HASANUL RIZQA
Perang Manzikert mungkin tidak akan terjadi kalau pihak Romawi Timur (Bizantium) tidak mengusik wilayah Bani Seljuk, khususnya Armenia. Pada 1071 M, Kaisar Romanus IV berusaha merebut kembali negeri di kaki Pegunungan Kaukasus itu. Padahal, Bizantium masih terikat perjanjian damai yang ditandatangani dua tahun sebelumnya dengan kerajaan Muslim tersebut.
Waktu itu, sang pemimpin Dinasti Seljuk, Sultan Alib Arselan atau Alp Arslan, sedang sibuk menggempur Daulah Fathimiyah di Syam. Kabar yang datang dari Armenia tentu saja mengganggu konsentrasinya. Untuk mencegah pergerakan Bizantium lebih lanjut, sosok keturunan Turki Oghuz itu memimpin pasukannya ke utara. Di barat Armenia, ia hendak mencegat balatentara Romanus.
Kedua belah pihak bertemu di Lembah Manzikert. Secara jumlah, pasukan Romawi lebih banyak daripada Muslimin. Karena itu, sang kaisar dengan angkuh menolak opsi perundingan damai yang ditawarkan Alp Arslan.
Jumat pagi itu, tanggal 25 Agustus 1071. Manzikert akan menjadi gelanggang perang. Alp Arslan sempat merasa gelisah. Tidak pernah disangkanya, Seljuk akan melawan Bizantium dengan kekuatan “seadanya.” Sebab, segala persiapan yang telah disusunnya selama ini hanya untuk menghadapi Bani Fathimiyah, bukan yang lain.
Tidak ada gunanya menyesal. Kini, pilihan satu-satunya ialah maju. Guru Alp Arslan, Abu Nashr Muhammad bin Abdul Malik al-Bukhari al-Hanafi, menyampaikan nasihat penenang hati. “Sungguh, Anda berjihad untuk membela agama Allah. Dan Dia telah berjanji menolong agama-Nya dan akan memenangkan agama-Nya. Semoga Allah memenangkan pasukan Islam dalam pertempuran ini dengan perantaraanmu,” kata ahli fikih itu.
Saat shalat Jumat, Alp Arslan bermunajat sambil menangis. Begitu pula dengan seluruh pasukannya. Mereka dengan setulus hati berupaya mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Pertanda baik mulai bermunculan. Sebelum pertempuran pecah, sekira 25 ribu orang tentara bayaran membelot dari kubu Romanus. Orang-orang Turki itu memilih berada di pihak Seljuk dan berperang bersama Muslimin. Meskipun begitu, pasukan Alp Arslan belum sebanding dengan jumlah tentara Bizantium yang mencapai 200 ribu prajurit.
Pada 26 Agustus 1071, pasukan Romawi mulai bergerak. Alp Arslan pun mengerahkan pasukannya dengan formasi berbentuk bulan sabit. Lini tengah Bizantium terus merangsek maju, menangkis nyaris semua anak panah yang dihujankan kepada mereka.
Dengan cepat, Romanus menyergap tenda yang paling besar di kubu Seljuk. Ternyata, itu bukanlah tenda tempat sultan berada, melainkan hanya pancingan. Sempat terjebak, kaisar Bizantium itu lalu kehilangan kendali atas kedua lini sayap pasukannya. Alhasil, mereka kocar-kacir diguyur hujan panah dari arah Seljuk.
Berkali-kali, pasukan Bizantium memancing balatentara Seljuk untuk bertempur dari dekat. Namun, Alp Arslan tidak terkecoh dan terus mempertahankan jarak aman dengan Romawi. Saat sore tiba, Romanus menyuruh pasukannya untuk mundur teratur. Akan tetapi, lini yang semestinya menjaga sang kaisar dari serangan balik justru ikut-ikutan mundur.
Alp Arslan tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Sang sultan memimpin pasukannya untuk menyerang dengan sekuat tenaga ke arah lini tempat Romanus berada. Sementara itu, sayap kanan dan kiri pasukan Bizantium terlanjur tidak berdaya akibat dihujani anak panah. Mereka tidak bisa berbuat banyak. Kaisar Romawi ini benar-benar terkepung.
Barulah keesokan paginya, sisa-sisa prajurit profesional yang semalaman mengawal Romanus dapat dilumpuhkan. Raja Bizantium itu pun langsung menyerah dan tertawan. Palagan di Manzikert ini akhirnya dimenangkan kaum Muslimin.
Romanus meminta Alp Arslan bersedia menerima tebusan untuk keselamatan dirinya. Sultan Bani Seljuk itu menyanggupi permintaan tersebut, asalkan dengan memenuhi tiga syarat. Pertama, semua tawanan yang Muslim di Bizantium harus dibebaskan. Kedua, Kaisar harus sanggup mengirimkan pasukan kepada Seljuk, kapan saja sang sultan menginginkannya. Ketiga, uang tebusan sang raja Romawi ialah sebesar 150 ribu dinar.
Semua persyaratan itu kemudian dipenuhi pihak Bizantium. Sebelum berpisah, Alp Arslan membekali Romanus dengan 1.000 dinar. Di samping itu, raja Muslim ini mengutus beberapa komandan Seljuk untuk menjaga dirinya hingga selamat kembali ke negeri asal. Dalam perjalanan, mereka mengibarkan panji-panji bertuliskan syahadat: “tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah.”
Tragisnya, raja Bizantium ini justru menghadapi persoalan yang pelik begitu tiba di istana. Rival politiknya, John Doucas, melancarkan kudeta. Istrinya dipaksa masuk biara, sementara Romanus ditahan di penjara Sisilia. Pada 1 Oktober 1071, ia terpaksa turun takhta dan menyingkir ke biara.
Namun, Doucas tetap menaruh curiga padanya. Paman dari kaisar baru, Michael VII Doukas, itu lantas menyuruh beberapa orang untuk menyusup ke dalam biara dan menangkap Romanus. Bekas raja Bizantium itu disiksa hingga buta kedua matanya pada Juni 1072. Tak lama sesudahnya, ia meninggal.
Menurut Dr Ali Muhammad ash-Shalabi dalam Ad-Daulah al-‘Utsmaniyyah (2003), kemenangan Alp Arslan dalam Perang Manzikert adalah peristiwa yang luar biasa. Hal itu tidak hanya disebabkan fakta bahwa sekitar 20 ribu prajurit berbalik unggul melawan 200 ribu pasukan Romawi. Sejak saat itu, pengaruh Bizantium di Asia Kecil atau Anatolia menyusut drastis. Kalangan sejarawan menyebut Pertempuran Manzikert sebagai awal dari Turkifikasi (Turkification) Anatolia. Puncaknya, Konstantinopel jatuh ke tangan daulah Turki Utsmaniyah pada 1453 M.
Sosok teladan
Ash-Shalabi mengatakan, Alp Arslan merupakan seorang pemimpin Muslim yang menunjukkan banyak keteladanan. Sosok yang bernama asli Muhammad bin Dawud Chagri itu mencintai rakyatnya. Begitu pula, umat pun menghormati dan mematuhi kebijakan-kebijakannya.
Salah satu karakteristiknya ialah peduli pada kaum fakir dan miskin. Sedekah adalah ibadah yang sangat digemarinya. Tiap bulan suci Ramadhan, Alp Arslan bersedekah sebanyak 15 ribu dinar. Di tempatnya bekerja ada sekian nama orang melarat yang senantiasa ia santuni.
Karena menjauhi sifat serakah, kepemimpinannya pun menimbulkan rasa keadilan di tengah rakyat. Bahkan, sebut ash-Shalabi, pada masa pemerintahan sang sultan kriminalitas tidak marak terjadi atau bahkan tidak terasa sama sekali. Hukum tegak tanpa pandang bulu, sehingga membuat para pejabat takut untuk mencari-cari celah korupsi.
Sebagai pemimpin yang prorakyat, ia memfungsikan kas negara sebagaimana mestinya. Pajak yang dihimpun dari seluruh wilayah kekuasaan tak digunakannya untuk memperkaya diri dan golongan sendiri. Uang rakyat itu diperuntukkannya bagi pembiayaan banyak fasilitas publik, termasuk pendirian masjid, madrasah, universitas, rumah sakit, jalan-jalan, dan sistem irigasi. Di samping itu, pengelolaan dana negara juga dialokasikan untuk membayar gaji tentara serta membiayai jihad.
Tatkala memimpin Bani Seljuk, wilayah kekuasaannya membentang dari Pegunungan Hindu Kush di timur, lembah Amu Darya di utara, kawasan Kaukasus, sebagian besar Anatolia, Persia, Irak, Syam, hingga Hijaz di Semenanjung Arab. Kerajaannya itu merupakan vasal dari Kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Bagaimanapun, para khalifah tidak memiliki pengaruh kecuali sekitaran Kota Seribu Satu Malam. Bahkan, mereka bertindak seolah-olah “boneka” bagi pemerintahan Seljuk.
Alp Arslan memimpin Kesultanan Seljuk dengan gemilang. Dinasti yang berdarah Turki Oghuz itu menjelma menjadi sebuah kekuatan yang disegani kawan dan ditakuti lawan. Kekuatan militer daulah ini begitu perkasa sehingga tak ada kerajaan yang mampu menandinginya pada masa itu.
Semasa memerintah, Alp Arslan menunjukkan keterampilan dalam menerapkan birokrasi yang efektif. Dalam hal ini, sang sultan dibantu perdana menterinya yang setia, Nizam al-Mulk. Keduanya menjadi negarawan Muslim yang terkemuka di dunia pada abad pertengahan. Sang wazir berjasa besar dalam mendirikan lembaga-lembaga yang menangani urusan publik, semisal pajak, peradilan, dan edukasi. Institusi pendidikan yang diinisiasinya, Madrasah Nizamiyah, mencetak banyak sarjana. Sejumlah alim ulama brilian pernah mengajar di sana. Sebut saja, Imam al-Ghazali dan juga at-Tabari.
Sesudah sukses mengusir Fathimiyah dari Syam, Alp Arslan beralih ke kawasan timur wilayah kekuasaannya. Ia hendak menaklukkan seluruh area lembah Sungai Amu Darya, Asia Tengah. Pada akhir tahun 1072, sultan Seljuk ini harus menghadapi perlawanan dari kaum pemberontak setempat, yang dipimpin Yusuf al-Khawarizmi.
Pasukan Seljuk berhasil menangkap Yusuf. Gembong pemberontak ini hendak dihukum mati. Namun, sebelum panah algojo menembus lehernya, lelaki yang pernah menguasai sebagian Khawarizmi itu dengan cepat mencabut sebuah belati, lalu menusukkannya tepat ke dada sang raja Seljuk. Akibat luka yang dideritanya, Alp Arslan meninggal dunia beberapa hari kemudian, tepatnya pada 15 Desember 1072 M dalam usia 42 tahun. Sesuai wasiatnya, takhta kepemimpinan atas Bani Seljuk diwariskan kepada seorang putranya yang saat itu berumur 18 tahun, Malik Shah.
Sang Wazir yang Cendekia
Pada era kekuasaan Dinasti Seljuk, peradaban Islam kembali mengalami kejayaan. Seorang tokoh yang turut berjasa besar dalam mewujudkan kegemilangan ini ialah Nizam al-Mulk. Sosok kelahiran Tus, Iran, itu merupakan perdana menteri daulah tersebut saat dipimpin Sultan Alp Arslan (1063-1072) dan Malik Shah (1072-1092).
Lelaki yang lahir dengan nama Hasan bin Ali al-Tusi itu tumbuh besar di lingkungan religius. Sejak kecil, dirinya sudah piawai membaca dan menghafal Alquran. Kepandaiannya tampak jelas, terutama dalam bidang matematika dan sastra.
Ayahnya yang bernama Ali merupakan seorang pegawai pemerintah Ghaznawi di Khurasan. Sesudah daerah itu jatuh ke tangan Bani Seljuk, Ali memboyong keluarganya ke Ghazna. Di sanalah, Nizam melalui masa remaja hingga dewasa.
Mengikuti jejak bapaknya, ia menjalani karier sebagai birokrat. Tatkala seluruh Iran telah dikuasai Seljuk, lelaki ini hijrah ke Marwa (Merv), yang belakangan menjadi ibu kota daulah tersebut sejak tahun 1118.
Pada 1064, wazir Dinasti Seljuk Abu Ali Ahmad bin Shadhan wafat. Waktu itu, reputasi Nizam sudah dikenal luas di pemerintah pusat, dan bahkan sampai ke telinga Alp Arslan. Sang sultan pun tertarik untuk merekrut pegawai itu sebagai pengganti Abu Ali. Saat itu, dirinya telah menapaki usia 45 tahun.
Meskipun tidak ikut menyertai Alp Arslan di Perang Manzikert, Nizam tetap menjadi salah satu orang terdekat sang penguasa Seljuk. Berkat kehebatan dan kecakapannya sebagai pegawai negara, ia pun menjadi pejabat kaliber tinggi. Pendapat dan nasihatnya selalu didengar oleh Sultan.
Setelah raja tersebut meninggal dunia, perebutan kekuasaan sempat terjadi di antara kubu-kubu militer. Tanpa takut, Nizam mengumumkan wasiat almarhum, yakni takhta Seljuk hanya diberikan kepada Malik Shah, seorang putra Alp Arslan.
Sultan Malik Shah masih berusia 18 tahun kala itu. Alhasil, Nizam berperan besar. Ia dipercaya mengurus pemerintahan dan menjalankan keputusan politik. Bagi sang sultan, perdana menterinya itu bagaikan ayahnya sendiri.
Pada periode itu, Nizam menerapkan pelbagai kebijakan publik. Di antaranya ialah mendirikan sekolah-sekolah tinggi di banyak kota, termasuk Baghdad. Lembaga itu akhirnya dikenal sebagai Madrasah Nizamiyah. Sebagai penganut mazhab Syafii dan Asy’ariyah, ia pun berupaya menyebarkan kedua paham tersebut di setiap institusi madrasah.
Selain dunia pendidikan, perhatiannya juga pada sektor ekonomi dan keumatan. Di era kepemimpinannya, Nizam pernah menghapuskan pajak yang tidak dikenai sanksi syariat (khumus). Ia pun memperluas kawasan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, serta membuat sekaligus mengamankan jalur perjalanan haji dari Irak ke Hijaz. Di sela-sela kesibukannya, wazir yang wafat pada 14 Oktober 1092 itu sempat menulis beberapa karya. Sebut saja, Siyasatnama (Buku Pemerintahan), yang berisi petuah-petuah untuk penguasa.
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif