basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Taubatnya Rentenir Riba, Menjadi Sahabat Hasan Al Bashri  Buku : Tadzkiratul Auliya “HABIB AL-AJAMI” Habib bin Muhammad al-Ajami...

Taubatnya Rentenir Riba, Menjadi Sahabat Hasan Al Bashri 


Buku : Tadzkiratul Auliya

“HABIB AL-AJAMI”

Habib bin Muhammad al-Ajami al-Bashri, seorang Persia yang tinggal di Bashrah, adalah seorang ahli hadits terkenal yang meriwayatkan hadits-hadits dari Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin dan tokoh-tokoh terpercaya lainnya. Pertobatannya dari kehidupan yang ugal-ugalan dan berfoya-foya adalah karena dalil-dalil yang dikemukakan oleh Hasan dengan sedemikian fasihnya. Habib al-'Ajami sering mengikuti pengajian-pengajian yang disampaikan oleh Hasan sehingga akhirnya ia menjadi salah seorang sahabat beliau yang paling akrab

Awalnya Habib adalah seorang yang kaya raya dan suka membanggakan uang. Ia menetap di kota Bashrah, dan setiap hari berkeliling kota untuk menagih piutang piutangnya. Bila tidak memperoleh angsuran dari langganannya, maka ia akan menuntut uang ganti rugi dengan dalih alas sepatunya yang menjadi aus di perjalanan. Dengan cara seperti inilah Habib menutupi biaya hidupnya sehari hari.

Pada suatu hari Habib pergi ke rumah seorang yang berhutang kepadanya. Namun yang hendak ditemuinya sedang tak ada rumah, maka Habib menagih utang kepada istri orang tersebut. "Suamiku tak ada di rumah," istri orang yang berhutang itu berkata kepadanya, "Aku tak memiliki apa pun untuk diberikan kepadamu tetapi kami telah menyembelih seekor kambing dan lehernya masih tersisa, jika engkau mau akan kuberikan kepadamu."

"Bolehlah!" Si lintah darah menjawab. Ia berpikir bahwa setidaknya ia bisa mengambil leher kambing itu dan membawanya pulang, "Masaklah!"

"Aku tak punyai roti dan minyak, si wanita menjawab. "Baiklah," si lintah darat menjawab, "Aku akan mengambil minyak dan roti, tapi untuk semua itu engkau harus membayar gantinya pula. Lalu ia pun pergi untuk mengambil minyak dan roti.

Kemudian si wanita segera memasaknya di dalam belanga. Setelah matang dan hendak dituangkan ke dalam mangkuk, seorang pengemis datang mengetuk pintu. "Bila yang kami miliki kami berikan kepadamu," Habib menghardik si pengemis, "Engkau tidak akan menjadi kaya, tapi kami sendiri akan menjadi miskin."

Si pengemis yang kecewa memohon kepada si wanita agar ia mau memberikan sekedar makanan kepadanya. Si wanita segera membuka tutup belanga, ternyata semica isinya telah berubah menjadi darah hitam. Melihat ini, wajahnya menjadi pusat pasi. Segera ia memanggil Habib dan menarik lengannya untuk memperlihatkan ini belanga itu kepadanya.

"Lihatlah apa yang telah menimpa diri kita karena ribamu yang terkutuk dan dampratanmu kepada s pengemts!" Si wanita menangis, "Apa yang akan terjadi pada din kita di atas dunia ini? Apa pula di akhirat nanti."

Melihat kejadian ini dada Habib terbakar oleh api penyesalan Penyesalan yang tidak akan pernah padam deumur hidupnya...
"Wahai wanita! Abu menyesali segala perbuatan yang telah kulakukan."

Keesokan harinya Habib berangkat untuk menemui orang-orang yang berhutang kepadanya. Kebetulan sekali hari itu adalah hari jum'at dan anak-anak bermain di jalanan. Ketika melihat Habib, mereka berteriak-teriak: "Lihat, Habib lintah darat sedang menuju ke sini, ayo kita lari, kalau tidak niscaya debu-debu tubuhnya akan menempel di tubuh kita dan kita akan terkutuk pula seperti dia!"

Kata-kata itu sangat melukai hati Habib. Kemudian ia pergi ke gedung pertemuan dan di sana terdengarlah olehnya ucapan-ucapan itu bagaikan menusuk-nusuk jantungnya sehingga akhirnya ia jatuh terkulai.

Habib bertobat kepada Allah dari segala perbuatan yang telah dilakukannya, setelah menyadari apa sebenarnya yang terjadi. Hasan al-Bashri datang memapahnya dan menghibur hatinya. Ketika Habib meninggalkan tempat pertemuan itu, seseorang yang berhutang kepadanya melihatnya dan mencoba untuk menghindari dirinya. "Jangan lari!" Habib berkata, "Di waktu yang sudah-sudah engkaulah yang menghindari diriku, tetapi sejak saat ini akulah yang harus menghindari dirimu".

Habib meneruskan perjalanannya, anak-anak masih juga bermain-main di jalan. Melihat Habib, mereka segera berteriak "Lihat Habib yang telah bertobat sedang menuju kemari. Ayo kita lari! Jika tidak, niscaya debu-debu di tubuh kita akan menempel di tubuhnya sedangkan kita adalah orang-orang yang telah berdosa kepada Allah."

"Ya Allah, ya Tuhanku!" seru Habib, "Baru saja aku membuat perdamaian dengan-Mu, dan Engkau telah menabuh genderang-genderang di dalam hati manusia untuk diriku dan telah mengumandangkan namaku di dalam keharuman." Kemudian Habib membuat sebuah pengumuman yang berbunyi: "Kepada siapa saja yang menginginkan harta benda milik Habib, datang dan ambillah Orang-orang datang berbondong-bondong, Habib memberikan semua harta kekayaannya kepada mereka dan akhirnya ia tak memiliki sesuatu pun juga. Namun masih ada seseorang yang datang untuk meminta kepada orang ini Habib memberikan cadar isterinya sendiri. Kemudian datang pula seorang lagi dan kepadanya Habib memberikan pakaian yang sedang dikenakannya, sehingga tubuhn terbuka. la lalu pergi menyepi ke sebuah pertapaan d pinggir sungai Eufrat dan di sana ia membaktikan diri untuk beribadah kepada Allah. Siang malam ia belajar di bawah bimbingan Hasan namun betapa pun juga ia tetap tidak bisa menghapal Al-Quran, dan karena itulah ia dijuluki 'Ajami "si Orang Barbar".

Waktu berlalu, Habib sudah benar-benar dalam keadaan fakir, tetapi istrinya masih tetap menuntut biaya rumah tangga kepadanya. Maka pergilah Habib meninggalkan rumahnya menuju tempat pertapaan untuk melakukan kebaktiannya kepada Allah dan apabila malam tiba barulah ia pulang.

"Di mana sebenarnya engkau bekerja sehingga tak ada sesuatu pun yang engkau bawa pulang Isterinya mendesak.
"Aku bekerja pada seseorang yang sangat Pemurah jawab Habib, "Sedemikian Pemurahnya la sehingga aku mal meminta sesuatu kepada-Nya, apabila saatnya nanti pasti ia akan memberi, karena seperti apa katanya sendiri. Sepuluh hari sekali aku akan membayar upahmu."

Demikianlah setiap hari Habib pergi ke pertapaannya untuk beribadah kepada Allah. Pada waktu shalat Zhuhur di hari yang kesepuluh, sebuah pikiran mengusik batinnya "Apakah yang akan kubawa pulang malam nanti? Apakah yang harus kukatakan kepada isteriku?

Lama ia termenung di dalam perenungannya it Tanpa sepengetahuannya Allah Yang Maha Besar telah mengutus pesuruh-pesuruh-Nya ke rumah Habib, Yang seorang membawakan gandum sepemikul keledai, yang lain membawa seekor domba yang telah dikuliti, dan yang terakhir membawa minyak madu, rempah-rempah dan bumbu-bumbu. Semua itu mereka pikul disertal seorang pemuda gagah yang membawa sebuah kantong berisi tiga ratus dirham perak. Sesampainya di rumah Habib, si pemuda mengetuk pintu.

"Apakah maksud kalian datang ke mari?" Tanya istri Habib setelah membukakan pintu.

"Majikan kami telah menyuruh kami untuk mengantar kan barang-barang ini, pemuda gagah itu menjawab, "Sampaikanlah kepada Habib: "Bila engkau melipatgandakan jerih payahmu maka Kami akan melipatgandakan upahmu." Setelah berkata demikian mereka pergi.

Setelah matahari terbenam Habib berjalan pulang, ia merasa malu dan sedih. Ketika hampir sampai ke rumah, terciumlah olehnya bau roti dan msakan-masakan. Dengan berlari istrinya datang menyambut, menghapus keringat di wajahnya dan bersikap lembut kepadanya, sesuatu yang tak pernah dilakukannya di waktu yang sudah-sudah.

"Wahai suamiku," si istri berkata, "Majikanmu adalah seorang yang sangat baik dan pengasih. Lihatlah segala sesuatu yang telah dikirimkannya kemari melalui seorang pemuda yang gagah dan tampan. Pemuda itu berpesan: Bila Habib pulang, katakanlah kepadanya, bila engkau melipatgandakan jerih payahmu maka Kami akan melipatgandakan upahmu."

Habib terheran-heran.

"Sungguh menakjubkan! Baru sepuluh hari aku bekerja, sudah sedemikian banyak imbalan yang dilimpahkan-Nya kepadaku, apa pulalah yang akan dilimpahkan-Nya nanti?"
Sejak saat itu Habib memalingkan wajahnya dari segala urusan dunia dan membaktikan dirinya untuk Allah semata mata

Kesultanan Sebagai Penyumbang Harta bagi Kemerdekaan RI Oleh: Jusman Abdurahman IG: Nadda_hijabkids Sejak awal Proklamasi diucap...

Kesultanan Sebagai Penyumbang Harta bagi Kemerdekaan RI

Oleh: Jusman Abdurahman
IG: Nadda_hijabkids

Sejak awal Proklamasi diucapkan oleh Dwi Tunggal, Soekarno-Hatta, 17 Agustus 1945, Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II tak perlu waktu lama untuk menyatakan bergabung ke ibu pertiwi. Melalui Soekarno sejumlah uang senilai 13 juta Gulden Belanda, Mahkota berlian miliknya, serta pedang keris dan harta-harta bernilai lainnya diserahkan ke kas negara

Jika dihitung, sumbangan Sultan Siak sebanyak 13 juta Gulden Belanda, sama dengan lebih kurang 69 Juta Euro. Jumlah tersebut jika di-Rupiah-kan sekitar Rp 1,074 Triliun.

Sementara Kesultanan Yogyakarta, Raja Hamengku Buwono IX menyumbangkan 6,5 juta Gulden Belanda bagi modal perjuangan kemerdekaan Indonesia. Jika dihitung setara 34,5 Juta Euro jika di rupiahkan sekitar  Rp. 560 Milyar. Hingga wafat,  Sultan dan keraton tak pernah meminta agar sumbangan itu dikembalikan pada kemudian hari

Didaerah Sumatera Utara, terdapat Kerajaan Huristak. Raja yang berperan besar dalam perjuangan Kemerdekaan adalah Patuan Barumun (1884-1966) Raja Huristak ke XI yang terletak di Kabupaten Padang Lawas. Pada tahun 1946-1947 Kerajaan Huristak rutin memberikan logistik padi kepada dewan kemakmuran tentara Indonesia, betapa pentingnya Kerajaan Huristak ini dalam swasembada pangan pada masa itu.

Sejarah telah mencatat, betapa kayanya bangsa ini di era raja-raja yang berkuasa saat itu dan bergabung ke pangkuan Ibu Pertiwi. Lalu Akankah Sejarah berulang saat ini, sosok Dermawan seperti raja-raja untuk NKRI??? 
Sumber:
https://www.kompasiana.com/nazriahsani/5d6676360d823024c1549f62/kerajaan-huristak-padang-lawas-merupakan-salah-satu-penyumbang-komoditi-terbesar-untuk-nkri-sebelum-bergabung-nkri  
https://nasional.tempo.co/read/692958/untuk-republik-sultan-hb-ix-sumbang-65-juta-gulden
https://kumparan.com/selasarriau/13-juta-gulden-rp-1-000-triliun-sumbangan-sultan-siak-untuk-modal-indonesia-merdeka-1539145538460527427/2

Judul Buku : Akhlaqul Karimah Penulis : Buya Hamka Penerbit : Gema Insani *Kekuatan Perasaan* Setelah itu menjadi hak pula atas ...

Judul Buku : Akhlaqul Karimah
Penulis : Buya Hamka
Penerbit : Gema Insani

*Kekuatan Perasaan*

Setelah itu menjadi hak pula atas kita menjaga supaya perasaan yang timbul dari pancaindra jangan sampai dipengaruhi oleh syahwat yang rendah. Menjadi hak atas kita menghapuskan bekas-bekas cemburu, hasad, dan dengki yang tumbuh dalam diri. Hendaklah didik diri sendiri menaruh rasa cinta kepada kaum kerabat, teman sejawat, keindahan, kebaikan, dan cinta kepada ilmu.

Hak perasaan yang paling terpenting ialah menghormati diri sendiri. Tahu harga diri, makan dan minum

dengan sederhana. Memperhatikan segala perkara dengan saksama, berani karena benar, takut karena salah,dan kuat kemauan.

Sederhana yang paling penting ialah terhadap harta benda. Hendaklah diingat benar bahwa harta benda digunakan untuk mencapai suatu maksud. Oleh karena itu, jangan bakhil sebab bakhil itu tanda bahwasanya harta yang telah memerintah diri, bukan diri lagi yang memerintah harta. Jika penyakit bakhil telah si bakhil akan payah mengumpul waktu hidupnya, setelah mati orang lainlah yang mengambil hasilnya.

Jangan pula mubadzir dan boros karena itu namanya menghabiskan harta. Ada pepatah, "Sedangkan laut ditimba lagi kering," boros merusak rumah tangga, menyusahkan diri, dan menimbulkan kesal karena kadang-kadang membawa kepada pintu utang. Utang itu menyebabkan rendah derajat siang hari dan tidak enak tidur di waktu malam.

Hendaklah sederhana, tidak telalu bakhil, dan tidak telalu boros. Di tahan harta itu sekeras-kerasnya terhadap hal-hal yang tidak bermanfaat, ditimbang seketika hendak dikeluarkan, dan lekas-lekas dibelanjakan kepada yang memang perlu.

لا تنه عن خلق وتأتي مثله عار عليك إذا فعلت عظيم "

Janganlah engkau melarang melakukan suatu perbuatan sedangkan engkau mengerjakannya. Sungguh tercela perbuatanmu itu apabila engkau melakukan." (al-Ghazali)

Judul Buku : Akhlaqul Karimah Penulis : Buya Hamka Penerbit : Gema Insani *Membersihkan Diri* Hanotaux, seorang ahli filsafat ba...

Judul Buku : Akhlaqul Karimah
Penulis : Buya Hamka
Penerbit : Gema Insani


*Membersihkan Diri*

Hanotaux, seorang ahli filsafat bangsa Perancis me negaskan bahwasanya suatu pemerintahan yang meng izinkan alkohol masuk ke dalam negerinya, niscaya akan mencelakakan rakyatnya sendiri.

Oleh sebab itu, sebelum jatuh pada bahaya khamr, candu, berjudi, pelacuran, dan lintah darat, hendaklah orang menjaga dirinya baik-baik, menahan syahwatnya, menjaga kehormatannya, bahkan menjaga keturunannya agar tidak binasa lantaran segala kejahatan itu.

Penulis pernah bertemu dengan seseorang yang terjerat ke tangan lintah darat, berutang dan tidak dapat membayarnya kembali sehingga utang itu berlipat ganda besarnya. Lebih 15 tahun dia berutang kepada lintah darat itu, belum juga dibayar. Saat dia telah pensiun tentu utang itu tidak juga akan terbayar, padahal kesanggupan membayar pun tidak ada lagi, sampai matinya kelak sudah sepuluh tahun pula di dalam kubur barulah utang itu akan lunas dibayar, itu pun jika masih dibayar oleh ahli warisnya.

Menghabiskan uang di meja judi artinya membayar bagian uang yang sedianya untuk menafkahi dan mendidik anak.

Maka obat untuk menahan syahwat itu ialah dengan kemauan yang keras, jujur, dan menahan diri saat hampir tersesat kepada kejahatan itu.

J.J. Rousseau, ahli filsafat Perancis berkata, "Manusia itu tidak sanggup menahan syahwatnya jika tidak diperangkan di antara satu dengan yang lain." Misalnya, seorang yang gemar betul pergi ke tempat-tempat maksiat atau main perempuan. Lawanlah kebiasaan itu dengan menahan diri membaca buku yang bernilai atau ke tempat-tempat pameran barang keramik, lukisan, dan barang-barang kerajinan. Jika sekiranya dia senang melihat film yang mempertontonkan perempuan setengah telanjang dengan tari-tarian yang menyerupai orang gila, warisan dari bekas budak-budak bangsa Negro di Amerika, hendaklah pada malam itu juga coba menonton film sejarah yang banyak mengandung pelajaran. Jika dia suka membaca buku-buku cabul, coba ditukar membacanya dengan buku-buku pelajaran yang bermu ltu dan berisi kehalusan budi dan peradaban. Itulah tafsir dari perkataan Rousseau.

Bukan raja diri itu harus dijaga jangan sampai tersesat kepada minuman keras, candu, dan yang kita sebutkan di atas, tetapi hendaklah dijaga pula minuman, makanan, pakaian, dan kediaman, yang semuanya itu menyehatkan dan cocok bagi diri sendiri. Bersih dan tangkas yang perlu, bukan gagah dan mahal.

Yang harus diperhatikan pula ialah kebiasaan menabung. Ada anggapan dari para ahli bahwa bangsa kita, Indonesia, adalah bangsa yang tidak suka menabung. Bangsa Eropa suka menabung karena berhubung dengan hawa udara negerinya. Tiap-tiap bulan, sebagian dari penghasilannya dijadikan simpanan supaya kelak di musim dingin mereka serumah beristirahat ke tempat tempat yang indah bersantai, berekreasi, beranak-anak, serumah-rumah, semuanya dari uang simpanan. Amat susah orang yang tidak ada simpanan di waktu yang sangat perlu dan dibutuhkan.

Seorang teman berkata, "Pada suatu hari saya datang kepada majikan saya, orang asing, meminjam uang untuk ongkos istri yang melahirkan. Majikan itu berkata, "Mengapa engkau meminjam, tidaklah engkau menabung?" "Saya tidak ingat, Tuan." Jawab saya, "Bagaimana engkau tidak ingat, mestinya sejak bulan pertama istrimu mengandung, engkau sudah tau bahwa sembilan bulan lagi engkau akan mempunyai anak?"

Janganlah kita menyangka bahwa kita suci dari aib dan cela, jangan kita menyangka bahwa kita tidak berdosa. Ketahui dan sadarilah kelemahan kita bahwa bukanlah manusia itu suci dari dosa, ikhtiar manusia ialah mengurangi dosa dan menyucikan. Bagaimana akan disucikan jika sekiranya barang itu telah bersih? Satu perkara lagi yang menjadi hak atas diri kita sendiri, yaitu mengetahui kelemahan sebagai manusia.

Mengetahui kewajiban kepada diri dan kepada seisi alam adalah langkah pertama di dalam langkah hidup kita di samping mengetahui agama yang hak, membentuk dan memperhalus perasaan. Setelah itu hendaklah diingat betul hubungan kita dengan masyarakat.

Barang yang diketahui jangan disimpan dan disembunyikan dari masyarakat karena ilmu itu bertambah, dikembangkan, dan tidak bertambah susut, tetapi bertambah tersiar, membawa faedah kepada yang empu nya.

Alhasil, simpulan segala perkara ialah mendidik diri dan memperhalus perasaan, sama tengah, sederhana di dalam tiap-tiap perkara, cinta pada kebenaran hakikat, kebaikan, keutamaan, dan menjaga martabat. Mendidik kemauan yang kuat, betul, dan berani di dalam keyakinan, serta dapat membedakan antara suatu kekuatan yang timbul dari iradah dengan sesuatu kekuatan dan yang kedua pangkal celaka.
 
Jika kita jatuh bukanlah dijatuhkan orang lain, tetapi lantaran salah kita sendiri. Untuk meningkat jenjang
naik amatlah sukar, tetapi jatuh itu sangat mudah dan naik yang kedua lebih pula susahnya dari naik yang pertama. Padahal kita singgah ke dunia ini hanya sekali. Sebab itu ada satu pepatah dari ahli syair Arab yang patut diperhatikan.

"Jika tidak engkau jaga yang hak diri engkau, sia-sia kan hak itu, orang lain pun akan menyia nyiakannya lagi. Oleh sebab itu, jagalah dirimu baik-baik. Kalau sekiranya banyak tempat yang tersedia dan diperebutkan, pilihlah tempat lain yang lebih lapang."

Pepatah Melayu pun ada,

 "Awak di baju buruk awak, gantungkanlah hampaikanlah Awak di laku buruk awak, tanggungkanlah rasaikanlah"

"Manusia seribu di antara mereka bagai seorang. Tapi seorang bagai seribu jika perintahnya diperhatikan.

Bencana akal adalah hawa nafsu. Barangsiapa yang dapat mengendalikan hawa nafsu, niscaya selamatlah akalnya.

Percayalah akan kesabaran yang baik, karena itu sangat mencegah kehendak yang dituruti orang-orang berakal.

Janganlah kau heran akan perusak bagaimana jatuh terjerumus.

Namun heranlah akan penyelamat bagaimana ia selamat.

Sesungguhnya seseorang adalah pembicara sesudahnya

Maka jadikan pembicara yang baik di telinga pendengarnya."

Mujahadah Dan Menghinakan Diri Dihadapan Allah Oleh: Nasruloh Baksolahar  (Channel Youtube Dengerin Hati) Esakanlah Allah sampai...

Mujahadah Dan Menghinakan Diri Dihadapan Allah

Oleh: Nasruloh Baksolahar 
(Channel Youtube Dengerin Hati)

Esakanlah Allah sampai tidak ada sebiji sawi pun selain Allah yang tersisa di dalam hati mu. Semua obat terkandung dalam mengesakan Allah dan keberpalingan dari bisa dunia. 

Hancurkan taring-taring dan bisa dunia, setelah itu bermain-mainlah dengan dunia. Setelah itu pungutlah bagian-bagian dunia tanpa perlu mengkhawatirkan bahaya dan noda kotorannya.

Pukulah nafsu dengan pedang tauhid, pakaikanlah padanya topi perang, ambillah untuknya panah mujahadah, perisai takwa, dan pedang keyakinan. Tikamlah sekali waktu, ajaklah berkelahi di waktu lain. Teruslah seperti itu hingga berhasil menaklukannya. Engkau akan menjadi penunggangnya sekaligus pemegang kendalinya, hingga engkau bebas berkelana mengarungi daratan dan lautan bersamanya.

Jangan sekali-kali angkat tongkat mujahadah dari nafsu kalian. Jangan tertipu oleh dengkurnya, apalagi terpedaya dengan kepura-puraan tidurnya. Jangan pernah terpedaya dengan sandiwara seekor macan. Ia menampakkan diri sedang tidur, padahal sedang menanti mangsa yang sedang lengah. Nafsu kadang tampil dengan pura-pura tenang, nisya, rendah dan penurut dalam masalah kebaikan, padahal tengah menyimpan yang sebaliknya. Tetap waspadalah terhadap nafsu.

Menyendiri bersama Allah, bersujud dihadapan Allah. Menyibukkan diri bersama Allah. Namun tetaplah kumpulriung, duduk bersama, dan bercengkerama dengan makhluk-Nya. Untuk beramar maruf nahi munkar, untuk menunjuki jalan-jalan menuju Allah, untuk membangun peradaban yang manusiawi dan sesuai fitrah manusia.

Jadilah raja-raja dunia dan akhirat dengan bersuka ria bersama kekuatan iman dan keyakinan, serta kesampaian hati di depan pintu-pintu keagungan Allah. Bagaimana mencapai ini ?

Bermujahadalah, mengendalikan nafsu, memikul beban yang berat dan melelahkan. Lalu mintalah pertolongan kepada Allah. Agar Allah memberikan cahaya marifatulllah dan mahabahtullah. Keduanya membuat perjalanan mujahadah menjadi lebih mudah karena Allah terus membantu, menolong dan melindungi.

Berjuang hingga tetesan darah dan merendahkan diri kepada Allah, itulah jalan mendapatkan pertolongan dan bala bantuan dari enam penjuru mata angin dari Allah dan alam semesta.

Jika dirimu belum menghinakan diri pada Allah maka setiap kali bergerak akan tersungkur, setiap kali akan mengangkat diri akan terpuruk, seruanmu akan menjadi petaka yang akan menghantammu sendiri. 

"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka." Inilah wujud ketidakberdayaan diri kepada Allah.

(Disarikan dari ceramah jumat pagi syekh Abdul Qadir Jailani pada akhir Rajab 546 H, di Madrasahnya)

Kiai Mojo Sang Ideolog Perang Diponegoro Perang Diponegoro pada 1825-1830 merupakan suatu tonggak penting dalam sejarah nasional...

Kiai Mojo Sang Ideolog Perang Diponegoro


Perang Diponegoro pada 1825-1830 merupakan suatu tonggak penting dalam sejarah nasional Indonesia. Perang ini termasuk pertempuran besar yang pernah dialami Belanda selama masa penjajahannya di Nusantara.

Kaum Muslimin Jawa bersatu di bawah komando Raden Mas Antawirya atau Pangeran Harya Diponegoro (1785-1855). Akibat perang tersebut, penduduk Jawa yang gugur mencapai 200 juta jiwa. Sementara itu, pihak Belanda kehilangan 8.000 tentara totok dan 7.000 serdadu pribumi.

Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro didukung banyak tokoh Muslim. Di antaranya adalah Kiai Mojo. Sosok yang dijuluki “tangan kanan” Diponegoro itu merupakan ulama yang ahli strategi. Dengan taktik perang gerilya yang dirumuskannya, pasukan Islam pun terus bergerak menggempur kekuatan Belanda.

Kiai Mojo lahir pada 1764 dengan nama Muslim Muhammad Halifah di Desa Mojo, Pajang, dekat Delanggu, Surakarta, Jawa Tengah. Ayahnya, Iman Abdul Ngarif merupakan seorang mubaligh terkenal.

Keraton setempat menganugerahkan kepada keluarga ini tanah perdikan di Desa Baderan dan Mojo, Pajang. Ibundanya, Raden Ayu Mursilah, merupakan adik perempuan Sri Sultan Hamengku Buwono III. Artinya, antara Kiai Mojo dan Pangeran Diponegoro masih terikat hubungan kekerabatan.

Menurut Ahmad Baso dalam artikelnya, “Kiai Maja, Ahli Strategi dan Perang Gerilya dari Pesantren”, Muslim tumbuh dan berkembang dalam lingkungan santri. Pesantren yang diasuh ayahnya sangat disegani di Keraton Surakarta maupun Yogyakarta. Banyak putra-putri bangsawan yang nyantri di lembaga tersebut.

Saat berusia dewasa, Muslim menjadi sosok dai yang cukup berpengaruh khususnya di daerah Surakarta. Sepeninggalan ayahnya, ia meneruskan tugas almarhum sebagai guru agama. Murid-muridnya tidak hanya berasal dari kawula biasa, tetapi juga keluarga ningrat. Sejak saat itu, namanya dikenal sebagai Kiai Mojo, sesuai dengan nama desa tempat kelahirannya.

 
Murid-muridnya tidak hanya berasal dari kawula biasa, tetapi juga keluarga ningrat.
  
Pada pertengahan Mei 1825, rezim kolonial Belanda menerapkan kebijakan pembangunan jalan. Rute proyek itu terbentang antara Yogyakarta dan Magelang. Dalam perkembangannya, patok-patok yang pembangunan jalan tersebut melintasi makam leluhur keraton, termasuk Pangeran Diponegoro.

Awalnya, penanggung jawab proyek itu menerima protes Diponegoro. Namun, patok-patok yang telah dicabut justru kembali dipasang. Alhasil, Pangeran Diponegoro menyuruh para pengikutnya untuk mengganti patok-patok itu dengan tombak sebagai simbol pernyataan perang.

Dalam perang ini, Kiai Mojo tidak hanya mendukung langsung perjuangan Pangeran Diponegoro. Ia bahkan berperan sebagai guru spiritual sekaligus panglima perangnya.

Pangeran Diponegoro memang sangat mengandalkan kemampuan Kiai Mojo dalam beberapa hal krusial, terutama yang terkait dengan keagamaan. Sebagai sosok ulama besar, Kiai Mojo diberi mandat untuk menanamkan keyakinan dan pengetahuan agama Islam kepada pasukan Diponegoro. Dalam menjalankan tugasnya, ia selalu berpegang teguh pada tuntunan kitab suci Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Kiai Mojo bergabung sejak hari pertama pasukan Diponegoro tiba di Goa Selarong. Ia turut serta bersama pasukan Islam tersebut untuk menjalankan siasat perang gerilya melawan Belanda.

Alasan utama Kiai Mojo ikut mengangkat senjata melawan Belanda adalah janji sang pangeran. Menurutnya, Diponegoro telah bersumpah akan membangun suatu pemerintahan Islam di Tanah Jawa.

“Percaya janji itu, saya langsung bergabung kepadanya,” kata Kiai Mojo.

 
Menurutnya, Diponegoro telah bersumpah akan membangun suatu pemerintahan Islam di Tanah Jawa.
  
Perkataan itu ditulis Kiai Mojo saat menjalani pembuangan oleh Belanda di Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Sejarawan Inggris Peter Carey menemukan kesaksian Kiai Mojo itu dalam catatan yang ditulis ajudan Pangeran Diponegoro, Raden Mas Djojodiningrat.

Pada akhirnya, Kiai Mojo mengetahui tujuan sebenarnya dari Pangeran Diponegoro. Dia berpandangan ternyata sang pangeran hanya ingin mendirikan suatu kerajaan baru di Jawa. Kiai Mojo sendiri sudah mengajukan keberatan terhadap Pangeran Diponegoro. Keduanya lantas berdebat. Diponegoro sampai-sampai menyarankan Kiai Mojo untuk berhenti berperang.

Mobilitas tinggi

Sejak perang berkecamuk pada 1825, Kiai Mojo mendukung Pangeran Diponegoro sepenuhnya. Ia juga menggerakkan memobilisasi sanak keluarga dan sebagian besar pengikutnya di Pajang, Surakarta. Seorang mata-mata pernah dikirim khusus oleh Belanda untuk mengetahui lokasi dan peta kekuatan pasukan Diponegoro. Dalam salah satu laporannya, terkuak bahwa kunci kesuksesan strategi sang pangeran ialah peran krusial Kiai Mojo.

Sepanjang hidupnya, Kiai Mojo dikenal sebagai seorang ulama dengan mobilitas yang tinggi. Mengikuti tradisi santri kelana, ia mempunyai banyak relasi dan jaringan dengan pusat-pusat keagamaan dan politik di Jawa hingga Bali.

Menurut Baso, Kiai Mojo juga pernah menjadi penghubung antara Keraton Surakarta dan Kerajaan Buleleng di Bali. Meskipun berbeda agama dan kepercayaan, antara komunitas pesantren Jawa dan Bali sudah terjalin hubungan yang saling mendukung setidaknya sejak abad ke-18.

Hal itu dibuktikan dari ikatan politik dan kebudayaan di antara mereka. Misalnya, Buleleng menjamin perlindungan atas kiai dan santri yang menyelamatkan diri ke Bali untuk menghindari penangkapan Kompeni Belanda. Selama di Pulau Dewata, kehidupan religi Muslimin pun tidak akan diusik. Beberapa kampung Muslim Jawa marak dijumpai antara lain di pesisir utara Bali.

Pemerintah kolonial sempat menangkap Kiai Mojo pada Juli 1812. Pembatasan kemudian diberlakukan kepada orang-orang pesantren yang sebelumnya bisa leluasa keluar-masuk keraton.

Alih-alih menumpasnya, Belanda kemudian berupaya membujuk Kiai Mojo agar mau bekerja sama. Sebab, mobilitas diri dan jejaringnya dinilai ampuh untuk mengatasi perlawanan Pangeran Diponegoro.

Atas ajakan ini, Kiai Mojo secara tegas menolaknya. Setelah bebas, ia terus menggerakkan perjuangan gerilya untuk melumpuhkan kekuatan Kompeni. Dengan siasat yang licik, pada 12 November 1828, Belanda lagi-lagi menangkap Kiai Mojo. Kali ini, penangkapan itu terjadi di Desa Kembang Arum, utara Yogyakarta.

Pasukan Kiai Mojo lalu digiring ke Klaten, sambil menyanyikan bersama-sama lagu-lagu keagamaan yang menunjukkan tanda kemenangan. Mereka lalu dibawa ke Batavia dan ditahan hingga setahun lamanya. Absennya Kiai Mojo dalam dinamika perang menandai titik balik perjuangan Diponegoro, hingga akhirnya meredup pada 1830.

Pada awal 1830, Kiai Mojo bersama lebih dari 60 orang pendampingnya dibuang Belanda ke Minahasa. Istrinya menyusul setahun kemudian. Kebanyakan pendampingnya itu memiliki peranan yang strategis dalam bidang kemiliteran dan keagamaan sewaktu masih begerilya mendukung Diponegoro. Tak sedikit yang termasuk kalangan bangsawan atau agamawan. Mulai dari gelar tumenggung, dipati, basah, hingga kiai.

Kiai Mojo dan rombongannya tiba di Tondano. Banyak pengikutnya yang kemudian menikah dengan perempuan lokal. Akhirnya, terbentuklah komunitas baru yang menamakan tempat tinggalnya sebagai Kampung Jawa. Hingga kini, desa tersebut masih bertahan dengan tradisi ahlussunnah wa al-jama’ah (aswaja). Dari sumber-sumber terkini, Kiai Mojo disebut sebagai “Mbah Guru” atau “Kiai Guru”

Ahmad Baso menjelaskan, Kiai Mojo juga merupakan seorang yang memiliki pandangan nasionalis, “Amrih mashlahate kawulanίng Allah sedaya sarta amrίh karaharjane negari lestarίne agamί Islam,” demikian nasihatnya.

Artinya, “Berjuanglah untuk kepentingan, kemaslahatan para hamba Allah semua; untuk kesejahteraan negeri, serta untuk kepentingan lestarinya agama Islam.”

Bagi Ahmad Baso, pesan Kiai Mojo itu sangat kental semangat nasionalis. Oleh karena itu, ia berharap, generasi kini dan nanti dapat terus mengambil pelajaran dari perjuangan sang kiai. Bila Pangeran Diponegoro dianggap sebagai ikon perjuangan kaum pergerakan Indonesia, maka sudah sepatutnya ketokohan Kiai Mojo tak dilupakan. Sebab, dialah ideolog dalam Perang Diponegoro.

Ahmad Baso mengungkapkan, ada beberapa manuskrip yang mengabadikan riwayat kehidupan Kiai Mojo. Di antaranya adalah naskah yang disimpan pihak keturunan sang kiai di Jakarta. Manuskrip berbahasa Jawa huruf pegon itu ditulis oleh Kiai Mojo sendiri selama menjalani masa pembuangan di Tondano, Minahasa, sekitar awal 1833.

Buku De java Oorlog juga menghimpun berbagai laporan dan surat gerilya Kiai Mojo. Namun, lanjut Baso, surat-surat itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda; bukan lagi dalam versi aslinya yang berbahasa Jawa.

photoSetelah sempat dipindah-pindah oleh Belanda, Kiai Mojo dan para pengikutnya akhirnya dibuang di Minahasa, Sulawesi Utara. Hingga kini, sebagian keturunan sang kiai masih dapat dijumpai di sana.

Tak Sudi Berkongsi dengan Penjajah

Kiai Muslim Muhammad Halifah atau yang lebih dikenal sebagai Kiai Mojo merupakan seorang ulama pejuang. Ketokohannya mengemuka terutama dalam Perang Diponegoro yang berlangsung antara tahun 1825 dan 1830.

Belanda sangat kewalahan dalam menghadapi perlawanan tersebut. Kompeni sampai-sampai menjalankan taktik devide et impera, yakni memecah belah persatuan lawan dengan bujukan dan tipu daya.

Belanda paham betul peranan Kiai Mojo dalam pertempuran ini. Beberapa kali pihaknya mengirimkan surat atau perantara kepada sang kiai. Pemerintah kolonial sangat berharap agar dirinya sudi berdamai. Ia pun diiming-imingi jabatan atau kedudukan bila mau berbalik melawan Pangeran Diponegoro.

Dengan semangat kepahlawanan, Kiai Mojo terus bertekad mengusir Belanda dari Pulau Jawa. Maka, segala bujuk rayu Belanda itu pun ditolaknya.

Selanjutnya, Belanda memulai strategi yang lebih keras. Hasilnya, pada akhir 1828, Kiai Mojo dapat ditangkap. Itu pun melalui suatu tipu muslihat yakni pura-pura menawarkan perundingan.

Setelah ditahan, Kiai Mojo lantas dibuang oleh pemerintah kolonial ke Minahasa, Sulawesi Utara.

Selama berada di pengasingan, Kiai Mojo menikah dengan penduduk setempat. Begitu pula dengan para pengikutnya. Sebab, mereka tidak membawa serta istri dalam menjalani hukuman tersebut.

Keturunan Kiai Mojo saat ini sampai pada generasi ketujuh. Mereka masih dapat dijumpai di sana hingga kini. Sebagian mereka terus merawat kompleks makam dan masjid yang menjadi peninggalan Kiai Mojo di Kampung Jawa Tondano, Minahasa.

Dalam masa pengasingannya, Kiai Mojo ditemani 62 orang pengikutnya yang kesemuanya adalah pria. Mereka berangkat dari Batavia (Jakarta) melalui Ambon dan tiba di Minahasa di Desa Kema Kecamatan Kauditan daerah pantai Timur Minahasa pada 1829.

Kiai Mojo dan pengikutnya pertama kali ditempatkan oleh pemerintah Belanda di Kaburukan, bagian selatan Kema. Selanjutnya, mereka dipindahkan ke sebelah utara, yaitu di kawasan Tasikoki atau Tanjung Merah.

Lagi-lagi, Kiai Mojo dan para pengikutnya diungsikan. Kali ini, tujuannya ke sebelah barat Sungai Tondano. Perpindahan itu dilakukan atas pertimbangan Belanda agar sang kiai tidak dapat melarikan diri.

Dalam pengasingannya tersebut, Kiai Mojo juga disertai beberapa ulama. Di antaranya adalah Kiai Teuku Madja, Tumenggung Pajang, Pati Urawan, Kiai Baduran, dan Kiai Hasan Bedari. Pada Desember 1849, Kiai Mojo wafat. Jenazahnya dimakamkan di Desa Wulauan, Kecamatan Tondano—tak jauh dari Kampung Jawa Tondano.

Makamnya terletak di atas sebuah bukit yang diberi nama Tondata. Jaraknya kurang lebih 1 kilometer dari ibu kota Kabupaten Minahasa, Tondano.

Sumber:
https://www.republika.id/posts/10848/kiai-mojo-sang-ideolog-perang-diponegoro

Pohon Sawo Kecik dan Isyarat Jaringan Pengikut Diponegoro Pohon sawo kecik raksasa berdiri megah di depan Masjid Pathok Nagari P...

Pohon Sawo Kecik dan Isyarat Jaringan Pengikut Diponegoro


Pohon sawo kecik raksasa berdiri megah di depan Masjid Pathok Nagari Ploso Kuning, Yogyakarta. Di Pesantren inilah dahulu Pangeran Diponegoro kerap mengaji.

Selain tersurat dalam bentuk berbagai bangunan pesantren, jaringan ulama di wilayah selatan Jawa itu tersirat dalam bentuk tanaman pohon di halaman asrama para santri yang kerap di lazim di sebut pesantren. Sejarawan asal Inggris yang menekuni penulisan sejarah Pangeran Diponegoro, Peter Carey, pada suatu perbincangan mengungkapkan setelah Perang Jawa usai para pengikutnya menyebar sembari menaman pohon sawo di tempat tinggalnya.

''Pohon sawo itu tanda jaringan Pangeran Diponegoro. Bila kemudian muncul perintah untuk bergerak lagi, maka tinggal di cek siapa yang memerintahkannya itu. Dan bila di depan kediamannya ada pohon sawo maka itu jelas masih merupakan jaringannya,'' kata Carey.


Pesantren Abdul Kahfi Somalangu, Kebumen. lihat pohon sawo kecik yang ada di depannya. Pesantren ini adalah salah satu pesantren tertua di Jawa. Pendirinya adalah Syekh Abdul Kahfi dari Yaman. Pesantren ini mempunyai prasasti dengan angka tahun semasa dengan berdirinya kerajaan Islam Demak.

Pesantren Abdul Kahfi Somalangu, Kebumen. lihat pohon sawo kecik yang ada di depannya. Pesantren ini adalah salah satu pesantren tertua di Jawa. Pendirinya adalah Syekh Abdul Kahfi dari Yaman. Pesantren ini mempunyai prasasti dengan angka tahun semasa dengan berdirinya kerajaan Islam Demak.

Pesantren Abdul Kahfi Somalangu,Kebumen. lihat pohon sawo yang ada di depannya.Di kawasan Selatan Jawa itu, memang banyak sekali anak keturunan Pangeran Diponegoro yang menjadi ulama dengan mendirikan pesantren. Alhasil, di beberapa 'pesantren berpengaruh' di wilayah itu bisa ditemukan pohon sawo. Di Pesantren Al Kahfi Somalangu misalnya masih ditemukan pohon Sawo yang tua, baik jenis sawo kecik maupun sawo biasa.

''Pohon sawo keciknya baru saja di tebang terkena perluasan halaman pesantren. Sedangkan pohon sawo jenis yang biasa masih tumbuh subur di samping masjid,'' kata Hidayat Aji Pambudi, pengurus Yayasan Pesantren Al Kahfi.

Di tempat lain, misalnya di 'Masjid Pathok Negara' Ploso Kuning, Sleman Yogyakarta, pohon sawo kecik raksasa masih menjulang tinggi. Masjid yang dahulunya menjadi salah satu tempat mengaji Pangeran Diponegoro ketika menjadi santrai Kiai Mustofa yang mengasuh pondok tersebut. Pohon sawo itu masih bisa dilihat sampai sekarang (lihat foto di atas).

''Dunia orang Jawa kan penuh perlambang atau isyarat. Pohon sawo tampaknya digunakan sebagai 'perlambang' (isyarat) dari perintah untuk taat meluruskan shaf ketika hendak shalat: sawwu shufufakum (luruskan shafmu)' kata peneliti dunia pesantren di kawasan selatan Jawa, Ahmad Khoirul Fahmi. Sedangkan sawo kecik itu dmemberi pesan setelah meluruskan shaf (bersatu membentuk jaringan) jadilah orang yang 'becik' (baik).

Fahmi menceritakan, sebagai seorang kiai ayahnya selalu menasihatkan, dengan mengutip kalimat tersebut terutama ketika anak-anak selalu ribut saat akan shalat berjamah."Kata Ayah saya, ingat di depan masjid kita ada pohon sawo. Jadi, segera laksanakan shalat ketika kamu dengar imam memberi perintah luruskan atau rapikan Shafmu."

Beberapa cicit Pangeran Diponegoro atau kiai yang berdarah bangsawan keraton Yogyakarta yang kemudian menjadi ulama berpengaruh di wilayah ini adalah KHMuhammad Ilyas dan KH Abdul Malik (di Sokaraja), KH Badawi di Kesugihan, KH Masurudi (di Baturaden Purwokerto).

Bila demikian, wajar bila banyak pesantren tua yang ada di berbagai pesantren tua banyak di tanam pohon jenis sawo biasa atau sawo kecik yang ternyata itu isyarat adanya jaringan ulama. Dan dulu para kiai kerapkali memang menyuruh santrinya menanam pohon ini ketika hendak menamatkan masa pendidikannya. Sawo kecik dipilih selain buahnya manis karena juga punya sinonim dalam bahasa Jawa: sarwo becik (serba baik).

Pesantren Takeran, Magetan, Jawa Timur. Lihat suasana masjidnya sangat bernuaansa Jawa. Di depan pesantren ini tumbuh pohon sawo kecik. Pesantren ini didirikan oleh seorang pangeran dari Keraton Yogyakarta yang menjadi panglima perang pasukan Diponegoro.
Pesantren Takeran, Magetan, Jawa Timur. Lihat suasana masjidnya sangat bernuaansa Jawa. Di depan pesantren ini tumbuh pohon sawo kecik. Pesantren ini didirikan oleh seorang pangeran dari Keraton Yogyakarta yang menjadi panglima perang pasukan Diponegoro.
Di Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) Takeran,Magetan Jawa Timur, pohon sawo kecik juga berdiri tegak menjulang tinggi persis di tengah halaman masjid. Pesantren yang didirikan salah satu panglima perang pasukan Diponegoro, Pangeran Kertopati, lagi-lagi menjadi bukti adanya simpul pergerakan atau 'jaringan Islam' di situ.

''Pohon sawo itu sudah ada dari dulu. Bahkan ketika saya lahir pohon itu sudah ada,'' kata Pengasuh Pondok Pesantren Takeran, KH Zakaria.Meski begitu dia mengaku tak tahu persis mengenai makna pesan yang terkait dari ditanamnya pohon tersebut.

''Seusai perang Diponegoro berakhir, Pangeran Kertopati berhasil bersembunyi di hutan yang ada di sekitar lereng Gunung Lawu. Setelah situasinya reda eyang saya mulai mendirikan langgar, yang kemudian oleh salah satu putranya, yakni KH Hasan pada tahun 1880 mulai dirintis dan dibesarkan menjadi pesantren hingga sekarang ini,'' ujar Zakaria.

Keliatan jaringan pergerakan Islam yang diisyaratkan oleh pohon sawo tua tersebut, pun telah dibuktikan oleh kiprah Pesantren Takeran itu. Bukti yang paling nyata adalah peran pesantren itu dalam masa menjelang dan masa awal kemerdekaan. Harap diketahui di pesantren itulah pendirian partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) digagas. Tak hanya itu berbagai pemikiran mengenai pembentukan dasar negara dari kelompok umat Islam yang akan dibawa ke rapat BPUPKI di pesantren inilah dulu dimatangkan.

''Istilahnya, di Pesantren Takeran ide itu diolah atau dimasak. Lalu ketika siap disajikan maka itu diajukan di Pesantren Tebu Ireng Jombang,'' kata Zakaria.

Dan sebagai pusat pergerakan Islam, tentu saja Pesantren Takeran kerap menjadi sorotan. Bukan hanya itu saja pesantren ini juga acapkali menjadi korban pergerakan politik. Di zaman pra kemerdekaan, selain punya hubungan emosional dengan 'pergulatan perang Jawa' (Perang Diponegoro), pesanren ini pernah menjadi melakukan perlawanan terhadap penguasa Kerjaan Mangkunegaran Solo karena bertindak sewenang-wenang. Peristiwa ini terjadi pada sekitar tahun 1916-an.

Namun kisah yang paling tragis dari Pesantren itu terjadi pada masa awal kemerdekaan, tepatnya pada 17 September 1948. Saat itu gerombolan pemberontak PKI pimpinan Muso menyerbu dan menculik penghuni pesantren itu. Akibatnya, pengasuh pengasuh pondok dan beberapa santri hilang. Beberapa diantaranya jasadnya kemudian ditemukan disebuah lubang sumur tua yang berada di tengah perkebunan tebu.

''untuk Kiai Mursyid dan sesama kiai pesantren itu lainnya sampai kini jasadnya belum ditemukan,'' begitu tulis KH Abdurrahman Wahid, dalam sebuah tulisannya di Majalah Persepsi yang terbit pada tahun 1982.

Pesantren Takeran, Magetan, Jawa Timur. Lihat suasana masjidnya sangat bernuaansa Jawa. Di depan pesantren ini tumbuh pohon sawo.Namun, di masa kini isyarat pohon sawo meski bermakna dalam, namun mulai dilupakan. Hal inilah misalnya menimpa pesantren peninggalan Pahlawan Nasional asal Bekasi, KH Noer Alie. Beberapa bulan silam pohon sawo tua yang di depan pesantrennya itu dikabarkan ditebang.

Mendengar ini tentu saja membuat hati orang yang tahu makna pohon itu seperti teriris-iris. Isyarat pergerakan Islam rupanya tak dikenali lagi!

https://algebra.republika.co.id/posts/28266/pohon-sawo-kecik-dan-isyarat-jaringan-pengikut-diponegoro

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Qur'an (248) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (230) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) Kisah Para Nabi dan Rasul (382) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (70) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (210) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (273) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (446) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (185) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (206) Sirah Sahabat (128) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (138) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)