Kiai Mojo Sang Ideolog Perang Diponegoro
Perang Diponegoro pada 1825-1830 merupakan suatu tonggak penting dalam sejarah nasional Indonesia. Perang ini termasuk pertempuran besar yang pernah dialami Belanda selama masa penjajahannya di Nusantara.
Kaum Muslimin Jawa bersatu di bawah komando Raden Mas Antawirya atau Pangeran Harya Diponegoro (1785-1855). Akibat perang tersebut, penduduk Jawa yang gugur mencapai 200 juta jiwa. Sementara itu, pihak Belanda kehilangan 8.000 tentara totok dan 7.000 serdadu pribumi.
Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro didukung banyak tokoh Muslim. Di antaranya adalah Kiai Mojo. Sosok yang dijuluki “tangan kanan” Diponegoro itu merupakan ulama yang ahli strategi. Dengan taktik perang gerilya yang dirumuskannya, pasukan Islam pun terus bergerak menggempur kekuatan Belanda.
Kiai Mojo lahir pada 1764 dengan nama Muslim Muhammad Halifah di Desa Mojo, Pajang, dekat Delanggu, Surakarta, Jawa Tengah. Ayahnya, Iman Abdul Ngarif merupakan seorang mubaligh terkenal.
Keraton setempat menganugerahkan kepada keluarga ini tanah perdikan di Desa Baderan dan Mojo, Pajang. Ibundanya, Raden Ayu Mursilah, merupakan adik perempuan Sri Sultan Hamengku Buwono III. Artinya, antara Kiai Mojo dan Pangeran Diponegoro masih terikat hubungan kekerabatan.
Menurut Ahmad Baso dalam artikelnya, “Kiai Maja, Ahli Strategi dan Perang Gerilya dari Pesantren”, Muslim tumbuh dan berkembang dalam lingkungan santri. Pesantren yang diasuh ayahnya sangat disegani di Keraton Surakarta maupun Yogyakarta. Banyak putra-putri bangsawan yang nyantri di lembaga tersebut.
Saat berusia dewasa, Muslim menjadi sosok dai yang cukup berpengaruh khususnya di daerah Surakarta. Sepeninggalan ayahnya, ia meneruskan tugas almarhum sebagai guru agama. Murid-muridnya tidak hanya berasal dari kawula biasa, tetapi juga keluarga ningrat. Sejak saat itu, namanya dikenal sebagai Kiai Mojo, sesuai dengan nama desa tempat kelahirannya.
Murid-muridnya tidak hanya berasal dari kawula biasa, tetapi juga keluarga ningrat.
Pada pertengahan Mei 1825, rezim kolonial Belanda menerapkan kebijakan pembangunan jalan. Rute proyek itu terbentang antara Yogyakarta dan Magelang. Dalam perkembangannya, patok-patok yang pembangunan jalan tersebut melintasi makam leluhur keraton, termasuk Pangeran Diponegoro.
Awalnya, penanggung jawab proyek itu menerima protes Diponegoro. Namun, patok-patok yang telah dicabut justru kembali dipasang. Alhasil, Pangeran Diponegoro menyuruh para pengikutnya untuk mengganti patok-patok itu dengan tombak sebagai simbol pernyataan perang.
Dalam perang ini, Kiai Mojo tidak hanya mendukung langsung perjuangan Pangeran Diponegoro. Ia bahkan berperan sebagai guru spiritual sekaligus panglima perangnya.
Pangeran Diponegoro memang sangat mengandalkan kemampuan Kiai Mojo dalam beberapa hal krusial, terutama yang terkait dengan keagamaan. Sebagai sosok ulama besar, Kiai Mojo diberi mandat untuk menanamkan keyakinan dan pengetahuan agama Islam kepada pasukan Diponegoro. Dalam menjalankan tugasnya, ia selalu berpegang teguh pada tuntunan kitab suci Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Kiai Mojo bergabung sejak hari pertama pasukan Diponegoro tiba di Goa Selarong. Ia turut serta bersama pasukan Islam tersebut untuk menjalankan siasat perang gerilya melawan Belanda.
Alasan utama Kiai Mojo ikut mengangkat senjata melawan Belanda adalah janji sang pangeran. Menurutnya, Diponegoro telah bersumpah akan membangun suatu pemerintahan Islam di Tanah Jawa.
“Percaya janji itu, saya langsung bergabung kepadanya,” kata Kiai Mojo.
Menurutnya, Diponegoro telah bersumpah akan membangun suatu pemerintahan Islam di Tanah Jawa.
Perkataan itu ditulis Kiai Mojo saat menjalani pembuangan oleh Belanda di Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Sejarawan Inggris Peter Carey menemukan kesaksian Kiai Mojo itu dalam catatan yang ditulis ajudan Pangeran Diponegoro, Raden Mas Djojodiningrat.
Pada akhirnya, Kiai Mojo mengetahui tujuan sebenarnya dari Pangeran Diponegoro. Dia berpandangan ternyata sang pangeran hanya ingin mendirikan suatu kerajaan baru di Jawa. Kiai Mojo sendiri sudah mengajukan keberatan terhadap Pangeran Diponegoro. Keduanya lantas berdebat. Diponegoro sampai-sampai menyarankan Kiai Mojo untuk berhenti berperang.
Mobilitas tinggi
Sejak perang berkecamuk pada 1825, Kiai Mojo mendukung Pangeran Diponegoro sepenuhnya. Ia juga menggerakkan memobilisasi sanak keluarga dan sebagian besar pengikutnya di Pajang, Surakarta. Seorang mata-mata pernah dikirim khusus oleh Belanda untuk mengetahui lokasi dan peta kekuatan pasukan Diponegoro. Dalam salah satu laporannya, terkuak bahwa kunci kesuksesan strategi sang pangeran ialah peran krusial Kiai Mojo.
Sepanjang hidupnya, Kiai Mojo dikenal sebagai seorang ulama dengan mobilitas yang tinggi. Mengikuti tradisi santri kelana, ia mempunyai banyak relasi dan jaringan dengan pusat-pusat keagamaan dan politik di Jawa hingga Bali.
Menurut Baso, Kiai Mojo juga pernah menjadi penghubung antara Keraton Surakarta dan Kerajaan Buleleng di Bali. Meskipun berbeda agama dan kepercayaan, antara komunitas pesantren Jawa dan Bali sudah terjalin hubungan yang saling mendukung setidaknya sejak abad ke-18.
Hal itu dibuktikan dari ikatan politik dan kebudayaan di antara mereka. Misalnya, Buleleng menjamin perlindungan atas kiai dan santri yang menyelamatkan diri ke Bali untuk menghindari penangkapan Kompeni Belanda. Selama di Pulau Dewata, kehidupan religi Muslimin pun tidak akan diusik. Beberapa kampung Muslim Jawa marak dijumpai antara lain di pesisir utara Bali.
Pemerintah kolonial sempat menangkap Kiai Mojo pada Juli 1812. Pembatasan kemudian diberlakukan kepada orang-orang pesantren yang sebelumnya bisa leluasa keluar-masuk keraton.
Alih-alih menumpasnya, Belanda kemudian berupaya membujuk Kiai Mojo agar mau bekerja sama. Sebab, mobilitas diri dan jejaringnya dinilai ampuh untuk mengatasi perlawanan Pangeran Diponegoro.
Atas ajakan ini, Kiai Mojo secara tegas menolaknya. Setelah bebas, ia terus menggerakkan perjuangan gerilya untuk melumpuhkan kekuatan Kompeni. Dengan siasat yang licik, pada 12 November 1828, Belanda lagi-lagi menangkap Kiai Mojo. Kali ini, penangkapan itu terjadi di Desa Kembang Arum, utara Yogyakarta.
Pasukan Kiai Mojo lalu digiring ke Klaten, sambil menyanyikan bersama-sama lagu-lagu keagamaan yang menunjukkan tanda kemenangan. Mereka lalu dibawa ke Batavia dan ditahan hingga setahun lamanya. Absennya Kiai Mojo dalam dinamika perang menandai titik balik perjuangan Diponegoro, hingga akhirnya meredup pada 1830.
Pada awal 1830, Kiai Mojo bersama lebih dari 60 orang pendampingnya dibuang Belanda ke Minahasa. Istrinya menyusul setahun kemudian. Kebanyakan pendampingnya itu memiliki peranan yang strategis dalam bidang kemiliteran dan keagamaan sewaktu masih begerilya mendukung Diponegoro. Tak sedikit yang termasuk kalangan bangsawan atau agamawan. Mulai dari gelar tumenggung, dipati, basah, hingga kiai.
Kiai Mojo dan rombongannya tiba di Tondano. Banyak pengikutnya yang kemudian menikah dengan perempuan lokal. Akhirnya, terbentuklah komunitas baru yang menamakan tempat tinggalnya sebagai Kampung Jawa. Hingga kini, desa tersebut masih bertahan dengan tradisi ahlussunnah wa al-jama’ah (aswaja). Dari sumber-sumber terkini, Kiai Mojo disebut sebagai “Mbah Guru” atau “Kiai Guru”
Ahmad Baso menjelaskan, Kiai Mojo juga merupakan seorang yang memiliki pandangan nasionalis, “Amrih mashlahate kawulanίng Allah sedaya sarta amrίh karaharjane negari lestarίne agamί Islam,” demikian nasihatnya.
Artinya, “Berjuanglah untuk kepentingan, kemaslahatan para hamba Allah semua; untuk kesejahteraan negeri, serta untuk kepentingan lestarinya agama Islam.”
Bagi Ahmad Baso, pesan Kiai Mojo itu sangat kental semangat nasionalis. Oleh karena itu, ia berharap, generasi kini dan nanti dapat terus mengambil pelajaran dari perjuangan sang kiai. Bila Pangeran Diponegoro dianggap sebagai ikon perjuangan kaum pergerakan Indonesia, maka sudah sepatutnya ketokohan Kiai Mojo tak dilupakan. Sebab, dialah ideolog dalam Perang Diponegoro.
Ahmad Baso mengungkapkan, ada beberapa manuskrip yang mengabadikan riwayat kehidupan Kiai Mojo. Di antaranya adalah naskah yang disimpan pihak keturunan sang kiai di Jakarta. Manuskrip berbahasa Jawa huruf pegon itu ditulis oleh Kiai Mojo sendiri selama menjalani masa pembuangan di Tondano, Minahasa, sekitar awal 1833.
Buku De java Oorlog juga menghimpun berbagai laporan dan surat gerilya Kiai Mojo. Namun, lanjut Baso, surat-surat itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda; bukan lagi dalam versi aslinya yang berbahasa Jawa.
photoSetelah sempat dipindah-pindah oleh Belanda, Kiai Mojo dan para pengikutnya akhirnya dibuang di Minahasa, Sulawesi Utara. Hingga kini, sebagian keturunan sang kiai masih dapat dijumpai di sana.
Tak Sudi Berkongsi dengan Penjajah
Kiai Muslim Muhammad Halifah atau yang lebih dikenal sebagai Kiai Mojo merupakan seorang ulama pejuang. Ketokohannya mengemuka terutama dalam Perang Diponegoro yang berlangsung antara tahun 1825 dan 1830.
Belanda sangat kewalahan dalam menghadapi perlawanan tersebut. Kompeni sampai-sampai menjalankan taktik devide et impera, yakni memecah belah persatuan lawan dengan bujukan dan tipu daya.
Belanda paham betul peranan Kiai Mojo dalam pertempuran ini. Beberapa kali pihaknya mengirimkan surat atau perantara kepada sang kiai. Pemerintah kolonial sangat berharap agar dirinya sudi berdamai. Ia pun diiming-imingi jabatan atau kedudukan bila mau berbalik melawan Pangeran Diponegoro.
Dengan semangat kepahlawanan, Kiai Mojo terus bertekad mengusir Belanda dari Pulau Jawa. Maka, segala bujuk rayu Belanda itu pun ditolaknya.
Selanjutnya, Belanda memulai strategi yang lebih keras. Hasilnya, pada akhir 1828, Kiai Mojo dapat ditangkap. Itu pun melalui suatu tipu muslihat yakni pura-pura menawarkan perundingan.
Setelah ditahan, Kiai Mojo lantas dibuang oleh pemerintah kolonial ke Minahasa, Sulawesi Utara.
Selama berada di pengasingan, Kiai Mojo menikah dengan penduduk setempat. Begitu pula dengan para pengikutnya. Sebab, mereka tidak membawa serta istri dalam menjalani hukuman tersebut.
Keturunan Kiai Mojo saat ini sampai pada generasi ketujuh. Mereka masih dapat dijumpai di sana hingga kini. Sebagian mereka terus merawat kompleks makam dan masjid yang menjadi peninggalan Kiai Mojo di Kampung Jawa Tondano, Minahasa.
Dalam masa pengasingannya, Kiai Mojo ditemani 62 orang pengikutnya yang kesemuanya adalah pria. Mereka berangkat dari Batavia (Jakarta) melalui Ambon dan tiba di Minahasa di Desa Kema Kecamatan Kauditan daerah pantai Timur Minahasa pada 1829.
Kiai Mojo dan pengikutnya pertama kali ditempatkan oleh pemerintah Belanda di Kaburukan, bagian selatan Kema. Selanjutnya, mereka dipindahkan ke sebelah utara, yaitu di kawasan Tasikoki atau Tanjung Merah.
Lagi-lagi, Kiai Mojo dan para pengikutnya diungsikan. Kali ini, tujuannya ke sebelah barat Sungai Tondano. Perpindahan itu dilakukan atas pertimbangan Belanda agar sang kiai tidak dapat melarikan diri.
Dalam pengasingannya tersebut, Kiai Mojo juga disertai beberapa ulama. Di antaranya adalah Kiai Teuku Madja, Tumenggung Pajang, Pati Urawan, Kiai Baduran, dan Kiai Hasan Bedari. Pada Desember 1849, Kiai Mojo wafat. Jenazahnya dimakamkan di Desa Wulauan, Kecamatan Tondano—tak jauh dari Kampung Jawa Tondano.
Makamnya terletak di atas sebuah bukit yang diberi nama Tondata. Jaraknya kurang lebih 1 kilometer dari ibu kota Kabupaten Minahasa, Tondano.
Sumber:
https://www.republika.id/posts/10848/kiai-mojo-sang-ideolog-perang-diponegoro
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif