Akhir Hidup Vladimir Lenin
Pada 21 Januari 1924, tepat hari ini 95 tahun lalu, Vladimir Ilyich Ulyanov yang berada di rumahnya di Gorki, sebuah desa berjarak dua puluh mil dari Moskwa, tiba-tiba tidak sadarkan diri, sebelum akhirnya meninggal tepat satu jam sebelum pukul tujuh malam.
Lenin memang sudah menderita sakit parah terhitung sejak pertengahan akhir tahun 1921. Berbagai penyakit, dari hiperakusis, insomnia, hingga nyeri di kepala, muncul secara berkala dan begitu menyiksanya. Politbiro pun mendesak agar Lenin meninggalkan Moskwa dan menjalani penyembuhan di Gorki. Di sana, Lenin dirawat oleh Nadezhda Krupskaya, pasangannya, dan saudara perempuannya, Anna Ulyanova, selama kurang lebih satu bulan.
Namun, keadaan Lenin tidak kunjung membaik dan ia pun kian frustrasi. Kepada Krupskaya dan Stalin, Lenin sempat meminta kalium sianida untuk bunuh diri. Tentu saja permintaan itu ditolak. Akhirnya, sebanyak 26 dokter pun didatangkan untuk mengobati penyakitnya. Beberapa di antaranya berasal dari luar negeri dengan upah yang sangat tinggi.
Setelah melakukan diagnosis selama beberapa pekan, beberapa dokter kepala menduga bahwa penyakit yang diderita Lenin disebabkan oleh oksidasi logam peluru-peluru yang bersarang di tubuhnya sejak upaya pembunuhan pada 1918 yang dilakukan Fania Kaplan, salah seorang anggota Partai Revolusioner Sosialis. Kemudian diputuskan bahwa butir-butir peluru itu harus diangkat lewat operasi yang dilakukan pada April 1922.
Namun demikian, tak banyak perubahan berarti dari kesehatan Lenin usai operasi. Gejala-gejala yang ia derita masih berlanjut dan para dokter tidak tahu secara pasti apa penyebabnya. Diagnosis kembali dilakukan dan beberapa dokter mengatakan, akibat peluru yang bersarang di tubuh sekitar empat tahun lamanya itu, Lenin mengidap neurastenia (lemah saraf) atau arteriosklerosis serebral.
Lenin mengalami stroke pertamanya pada Mei 1922. Ia tak dapat berbicara dan sebagian tubuh di sisi kanannya lumpuh. Memasuki bulan Juli, stroke itu berlangsung pulih. Secara perlahan, Lenin kembali belajar berbicara, berupaya melatih mobilitas pergerakannya, termasuk mencoba kembali cara menulis. Dan pada Oktober, ia pun dapat kembali ke Moskwa, fokus ke tugas-tugasnya, bahkan sempat menyampaikan tiga pidato panjang pada November.
Namun, pulihnya kesehatan Lenin itu hanya berlangsung beberapa bulan. Pada Desember, ia mengalami stroke kedua dan karenanya harus kembali dibawa pulang ke Gorki dan dirawat di sana. Kondisinya semakin parah sejak stroke ketiga menyerangnya pada Maret 1923, yang berujung kematian.
Jenazah Lenin dimasukkan ke dalam peti merah lalu diangkut dengan kereta api menuju Moskwa, untuk kemudian dibawa ke Gedung Serikat Buruh. Sekitar satu juta pelayat rela berdatangan dan mengantre di tengah cuaca dingin untuk melihat jasadnya. Sebab itu pula, upacara pemakaman Lenin baru diadakan pada hari berikutnya.
Di tengah Lapangan Merah, jenazahnya dimasukkan ke dalam sebuah mausoleum yang dibangun khusus untuknya. Pada Juli 1929, Politbiro sepakat untuk mengganti bangunan mausoleum yang bersifat sementara dengan bangunan granit permanen. Cara pemakaman demikian sejatinya sempat ditentang oleh Krupskaya, sebelum ia kemudian menyadari: hanya dengan diawetkanlah jasad Lenin dapat terus dilihat oleh siapa pun.
Perselisihan dengan Stalin dan Dibunuhnya Trotsky
Di periode menjelang kematiannya, Lenin terus memperlihatkan betapa besar energinya untuk Bolshevik. Bahkan karenanya ia sempat pula beberapa kali berselisih paham dengan Joseph Stalin.
Kisah ini dimulai pada minggu-minggu akhir 1922 dan minggu pertama 1923, ketika Lenin menulis dokumen yang kelak dinamakan “Wasiat Lenin". Dokumen ini berisi serangkaian surat yang terbagi menjadi tiga gagasan Lenin mengenai perubahan dalam struktur badan-badan pemerintahan Soviet. Ada satu hal yang menarik di dalamnya: pembahasan mengenai sifat-sifat para kamerad, Leon Trotsky dan Stalin.
Mengenai Stalin, Lenin mengusulkan agar ia dicopot dari jabatan sebagai Sekretaris Jenderal Komite Pusat Partai Komunis Rusia. Menurut Lenin, Stalin dianggap tidak cocok untuk jabatan tersebut dan untuk menggantikannya, ia pun menyodorkan nama Trotsky. Namun, Lenin turut mengkritik kepercayaan diri Trotsky yang dianggapnya kerap berlebihan dan bagaimana Trotsky terlalu sering memperhatikan urusan-urusan administrasi.
Stalin sebetulnya tahu bagaimana ketidakcocokan pandangan antara dirinya dengan Lenin. Pada pertengahan 1922, misalnya, ketika Lenin bersikeras agar negara terus mempertahankan monopolinya atas perdagangan internasional, Stalin memimpin sejumlah Bolshevik lain untuk mencoba melawan kebijakan tersebut, meski gagal.
Namun, perselisihan pribadi antar-keduanya pertama kali terjadi ketika Stalin berteriak-teriak kepada Krupskaya saat mereka sedang bertelepon. Kejadian ini membuat Lenin sangat murka hingga mengirimkan surat langsung kepada Stalin yang isinya singkat belaka, dengan intinya: “Jika Bung tidak meminta maaf atas kejadian tersebut, maka relasi di antara kita akan terpecah."
Atas berbagai hal yang terjadi, Stalin tetap berusaha menjaga citranya sebagai sosok yang paling dekat dengan Lenin. Hal ini dilakukannya agar publik tetap menganggap ia adalah orang yang tepat untuk menggantikan posisi Lenin.
Sejak Desember 1922, Politbiro bahkan menunjuknya untuk mengatur siapa yang dapat bertemu dengan Lenin. Namun, ia juga memanfaatkan ketidakhadiran Lenin dengan memberikan jabatan-jabatan penting kepada para pendukungnya. Hal tersebut dapat ditafsirkan sebagai upaya Stalin untuk mengonsolidasikan kekuatan politik.
Perpecahan antara Lenin dan Stalin kian meruncing sejak “Skandal Georgia". Hal ini bermula ketika Stalin mengusulkan agar Georgia dan negara-negara tetangganya (seperti Azerbaijan dan Armenia) digabung dengan negara Rusia yang kelak dinamakan "Republik Sosialis Federasi Soviet Transkaukasia". Usulan ini menuai banyak protes, termasuk dari Lenin, yang menganggapnya sebagai bentuk “chauvinisme Rusia Raya". Stalin balik menuduh Lenin dengan menyebut telah melakukan praktik "liberalisme nasional".
Lenin sejatinya menginginkan agar negara-negara tersebut bergabung dengan Rusia, tapi sebagai wilayah setengah merdeka di dalam sebuah persatuan yang lebih besar, dengan nama "Uni Republik Sosialis Soviet" (USSR). Pembentukan USSR diratifikasi pada Desember 1922; meskipun secara resmi bersistem federal, seluruh keputusan besar diambil oleh Politbiro di Moskwa.
Konflik lain antara Lenin dan Stalin terjadi dengan keberadaan Trotsky.
Lenin secara personal telah menunjuk Trotsky untuk menjabat sebagai Sekjen Komite Pusat Partai Komunis. Bagi Stalin, hal ini dianggap sebagai rintangan utama untuk mendominasi partai. Stalin pun menghimpun dukungan melalui Komite Pusat, dan secara bertahap barisan Oposisi Kiri dihapuskan dari jabatan berpengaruh mereka.
Adapun Trotsky dalam hal ini mendapat dukungan dari Lev Borisovich Kamenev dan Grigory Zinoviev--dua tokoh yang termasuk ke dalam tujuh pendiri Politbiro bersama Lenin, Stalin, Trotsky, juga Sokolnikov dan Bubnov. Sebelumnya, pada musim gugur 1924, Stalin telah mencopot seluruh pendukung Kamenev dan Zinoviev dari jabatan-jabatan penting.
Dua tahun setelah Lenin meninggal, musim gugur 1926, Kamenev dan Zinoviev bergabung dengan para pengikut Trotsky untuk membentuk Oposisi Bersatu melawan Stalin. Mereka juga bersepakat untuk menghentikan kegiatan faksional di bawah ancaman pengusiran, lalu secara terbuka menarik pandangan di bawah komando Stalin.
Hal ini dibalas Stalin dengan ancaman pengunduran diri pada Desember 1926 dan Desember 1927, setelah sebelumnya ia mengeluarkan Zinoviev dan Trotsky dari Komite Pusat pada Oktober 1927. Trotsky kemudian diasingkan ke Kazakhstan, sebelum dideportasi dari negara tersebut pada 1929.
11 tahun sejak itu, pada satu sore tertanggal 21 Agustus 1940, Trotsky dibunuh di sebuah negara yang berjarak 10,241 kilometer dari Rusia: Meksiko. Pelakunya: Frank Jacson alias Ramon Mercader, seorang agen Gosudarstvennoye Politicheskoye Upravlenie (GPU), unit intelijen Soviet di era Stalin.
Untuk urusan menghabisi musuh politik, Stalin sebetulnya pernah mencoba melakukan hal tersebut bahkan kepada Lenin. Hal ini diungkapkan oleh seorang ahli sejarah Russia, Lev Lurie. Kepada New York Times (7/5/2012), ia meyakini bahwa kematian Lenin akibat diracun oleh Stalin yang sudah kebelet ingin berkuasa. Selain itu, Lurie mengatakan: Rusia pada era 1920-an adalah tempat yang penuh dengan intrik ala mafia.
Namun, tentu, Lurie tidak pernah bisa membuktikan hipotesisnya yang lebih mirip desas-desus tersebut.
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif