basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Bantuan Sultan, Pemimpin, Pengusaha dan Rakyat Muslim Terhadap Kemerdekaan Indonesia Para petani menyerahkan hasil buminya, hart...

Bantuan Sultan, Pemimpin, Pengusaha dan Rakyat Muslim Terhadap Kemerdekaan Indonesia


Para petani menyerahkan hasil buminya, hartawan menyerahkan kekayaannya, perempuan memberikan perhiasannya, pemuda memberikan jiwa raganya

Para sultan menanggalkan mahkota dan daerah kekuasaannya. Para Sultan menyumbangkan kekayaannya melalui  Soekarno-Hatta.

Sultan Hamengku Buwono IX menyerahkan bantuan 6,5 juta golden untuk perjuangan Indonesia melalui Soekarno dan daerah kekuasaannya. Jogya jadi Ibukota

Sultan Siak, menanggalkan mahkota, menyerahkan istana dan panji kesultanannya, juga 1,1 trilyun untuk Indonesia melalui Soekarno

Saat saya ke Kutai, terpampang gambar di musium, sultan Kutai sedang  menyerahkan kekuasaannya kepada Indonesia  melalui  bung Hatta.

Tengku Mahratu, Permaisuri Siak, melepaskan semua emas di tangannya untuk diserahkan untuk kemerdekaan Republik Indonesia

Para pemimpin dan pengusaha Aceh memberikan sumbangan 25 kilogram emas agar pemerintah pusat dapat membeli kapal udara

Pengusaha Madiun menyumbang dua peti berisi emas 3,167 kg, perak 31,368 kg, dan logam lain 1,115 kg untuk kemerdekaan

Perserikatan Warung Bangsa Indonesia (Perwabi) menyerahkan uang sebanyak f10.000 untuk kemerdekaan

Perusahaan Batik Bendoengan dari Palmerah, Tanah Abang, Jakarta, datang langsung menghadap Sukarno dan menyumbang f2.000

Sukarno, Abikoesno, Otto Iskandardinata, Mr. Sartono, dan Soekardjo Wirjopranoto telah menyumbang f1.000 untuk kemerdekaan

Revolusi Indonesia luar biasa. Kemiskinan telah memusnahkan. Kelaparan membuat mayat bergelimpangan. Perkampungan sepi.

Namun saat seseorang akan mati, masih tetap menaikan tangan dengannya pekik "Merdeka!" Rahasia apa Ini?

Sumber:
https://www.google.com/amp/s/historia.id/amp/ekonomi/articles/dana-awal-pendirian-republik-6alg9
https://money.kompas.com/read/2021/06/06/091239126/sejarah-garuda-indonesia-bermula-dari-sumbangan-emas-rakyat-aceh
?
https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/kunjungan-sukarno-sumbangan-rakyat-aceh-untuk-pesawat-ri-pertama-ggVf
https://nasional.tempo.co/amp/1495970/lewat-sukarno-sultan-syarif-kasim-ii-serahkan-13-juta-gulden-untuk-republik
https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/skola/read/2020/10/24/143009169/raja-raja-yang-berkorban-demi-bangsa

https://riau.suara.com/read/2021/08/19/151224/tengku-mahratu-penjahit-merah-putih-sumbang-perhiasannya-buat-kemerdekaan-ri?page=all

Dana Awal Pendirian Republik Prangko itu sudah lusuh. Warnanya memudar. Tapi gambarnya masih cukup terlihat. Seekor sapi di teng...

Dana Awal Pendirian Republik


Prangko itu sudah lusuh. Warnanya memudar. Tapi gambarnya masih cukup terlihat. Seekor sapi di tengah sawah dengan latar belakang alam perdesaan. Di sudut atas tertera tulisan “FONDS KEMERDEKAAN”. Perangko ini terbit pada 1946 dan hasil penjualannya digunakan untuk membiayai Republik Indonesia yang baru lahir pada Agustus 1945.

Fonds Kemerdekaan tadinya bernama Fonds Perang dan Kemerdekaan. Dibentuk pada 1 Februari 1945, fonds ini bertujuan untuk mendanai persiapan Indonesia sebagai negara merdeka setelah keluarnya janji Perdana Menteri Kuniaki Koiso pada September 1944.

“Fonds Perang dan Kemerdekaan berupaya untuk membela tanah air, menolong dan memberikan pendidikan rakyat, menambah tenaga rakyat dan memperkokoh dasar kemerdekaan,” catat Asia Raya, 3 Juli 1945.

Jawa Hokokai, organisasi bentukan Jepang, bertanggung jawab mengumpulkan dana tersebut dari masyarakat. Bentuknya bisa uang atau barang berharga. Sebagai awalan dan teladan bagi masyarakat, para tokoh Jawa Hokokai lebih dulu menyumbangkan hartanya ke fonds ini. Masyarakat menyambut girang pembentukan fonds ini.

Harian Tjahaja, 7 Februari 1945, mengabarkan Sukarno, Abikoesno, Otto Iskandardinata, Mr. Sartono, dan Soekardjo Wirjopranoto telah menyumbang f1.000. Setelah itu, perusahaan pun mengikuti jejak tokoh-tokoh tersebut. Perseroan Tanggung-Djiwa Boemipoetra, misalnya, menyumbang uang sebesar f35.000.

Para pengusaha tak mau ketinggalan. Pengurus Perusahaan Batik Bendoengan dari Palmerah, Tanah Abang, Jakarta, datang langsung menghadap Sukarno dan menyumbang f2.000. Pengusaha warung yang terhimpun dalam Perserikatan Warung Bangsa Indonesia (Perwabi) menyerahkan uang sebanyak f10.000.

Pengusaha dari Madiun memilih menyumbang barang berharga. Mereka datang membawa dua peti besar berisi emas seberat 3,167 kilogram, perak 31,368 kilogram, dan logam lain 1,115 kilogram. Totalnya sekira f72.000.

Pemberitaan terhadap sumbangan-sumbangan itu meluas. Warga jelata terpacu untuk berbuat serupa demi merengkuh mimpi Indonesia merdeka. Mereka berbondong-bondong mendatangi kantor perwakilan di tiap Karesidenan untuk menyumbang uang, harta benda, dan platina.

“Saya masih ingat, mungkin karena saya terpengaruh propaganda Jepang, saya pernah melorotkan gelang-gelang saya, empat pasang gelang emas, saya kasihkan kepada mereka (para petugas Jepang) sebagai pinjaman nasional,” kenang Hafni Zahra Abu Hanifah, seorang penyumbang, dalam Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua Orang yang Mengalaminya.

Dasar kepercayaan mereka terletak pada perbuatan para tokoh nasional. Ketika Jepang menjanjikan kemerdekaan ke Indonesia, mereka kurang percaya. Tapi begitu para tokoh nasional menyambut janji itu dan turut menyumbang Fonds Perang dan Kemerdekaan, rakyat pun mengikutinya.

Kepercayaan rakyat kepada Fonds Perang dan Kemerdekaan tak luntur saat muncul desas-desus bahwa pihak Jepang membawa kabur barang-barang itu melalui kapal laut. “Mungkin sudah diambil, dibawanya, dan kemudian dikabarkan kapal yang membawanya tenggelam,” lanjut Hafni Zahra.

Untuk menghadapi desas-desus tersebut, Jepang mengumumkan secara rutin laporan dan alokasi penggunaan Fonds Perang dan Kemerdekaan di harian Asia Raya dan majalah Djawa Baroe.

Pemberitaan itu antara lain memuat peruntukan sumbangan platina untuk diolah menjadi lebih berharga dan bisa dijual. Hasil penjualan platina olahan tersebut digunakan untuk membeli senjata, peralatan perang, dan kebutuhan prajurit di garis depan seperti obat-obatan, pakaian, dan makanan.

Di luar peruntukan perang, dana dari masyarakat dialokasikan untuk membiayai sayembara pembuatan poster, syair, dan semboyan. Sayembara tersebut bertujuan mencari dukungan rakyat terhadap Jepang dan program Fonds Perang dan Kemerdekaan.

Sayembara ini mendapat perhatian luas dari masyarakat. Tjahaja, 17 Juli 1945, mencatat ada 76 poster, 674 syair, dan 1.498 semboyan masuk ke panitia sayembara. Di kategori poster, juri memutuskan tak ada pemenangnya lantaran tak ada yang sesuai dengan tujuan sayembara.

Di kategori syair dan semboyan, juri menetapkan juara 1, 2, dan 3. Mereka berhak memperoleh uang sebesar f100, f30, dan f10. Jumlah ini cukup kecil bila dibandingkan dengan dana yang terkumpul.

Jawa Hokokai dibubarkan pada 15 Agustus 1945 seiring dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Hasil penggalangan Fonds Perang dan Kemerdekaan dari Jawa Hokokai cukup berhasil dan dananya masih tersisa sebesar f2.000.000.

Sisa dana itu sangat berguna untuk membiayai keperluan menjelang Proklamasi kemerdekaan Indonesia dan beberapa hari setelah Proklamasi. “Seperti untuk biaya pengamanan Bung Karno dan Bung Hatta sekeluarga serta pemimpin-pemimpin lainnya, biaya untuk mencari dan merampas senjata dari Jepang, untuk pengiriman kurir, mencetak bendera-bendera dari kertas, biaya pasukan yang beroperasi di Jakarta, biaya utusan dari daerah,” tulis Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia.

Sumbangan dari berbagai kalangan masyarakat itu turut mendukung keberhasilan Proklamasi Indonesia. Tanpa Fonds Perang dan Kemerdekaan yang dipersiapkan lebih dulu, Republik akan kesulitan membiayai kegiatan awalnya. Sukarno sempat mengganti Fonds Perang dan Kemerdekaan menjadi Fonds Kemerdekaan Indonesia (FKI) pada 21 Agustus 1945. Fonds ini masih digalang hingga tahun 1949.

https://www.google.com/amp/s/historia.id/amp/ekonomi/articles/dana-awal-pendirian-republik-6alg9

Kunjungan Sukarno & Sumbangan Rakyat Aceh untuk Pesawat RI Pertama Tatkala nasionalisme Indonesia menetapkan periode 1926-19...

Kunjungan Sukarno & Sumbangan Rakyat Aceh untuk Pesawat RI Pertama


Tatkala nasionalisme Indonesia menetapkan periode 1926-1949 perjuangan anti-Belanda sebagai motif utamanya, secara simbolik Indonesia menyatukan langkah dengan rakyat Aceh yang sudah mengalami pahit getir berjuang melawan Belanda. Menurut Michelle Ann Miller dalam Rebellion and Reform in Indonesia: Jakarta’s Security and Autonomy Polices in Aceh (2009), hal ini melahirkan ketegangan antara mitos dengan kenyataan.

Indonesia lebih banyak dibentuk oleh pelbagai penyesuaian terhadap pengaruh Belanda ketimbang perlawanan terhadapnya. Sebaliknya, sejarah Aceh merupakan perjuangan panjang untuk menghindarkan diri dari penyerapan ke dalam koloni yang kemudian menjadi Indonesia. Perjuangan ini ironisnya menjadi contoh utama bagi kesadaran sejarah Indonesia yang dibangun pada masa Sukarno dan era Soeharto.

Menurut Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia (2011: 333-34), buku pelajaran yang ditulis di bawah pengaruh Nugroho Notosusanto--sejarawan militer dan menteri pendidikan era Orde Baru--secara eksplisit menggunakan perjuangan bersenjata sebagai prinsip pemersatu sejarah Indonesia. Para pejuang Aceh ditempatkan di barisan depan dalam deretan pahlawan nasional. Jalan-jalan di setiap kota diberi nama pahlawan-pahlawan Aceh seperti Teuku Umar dan Teungku Chik di Tiro. Sebuah film dibuat mengenai kehidupan Cut Nyak Dien, perempuan Aceh yang ditakuti Belanda.

Perlawanan merupakan tema utama rakyat Aceh. Pada 1926, Aceh bagian selatan kembali perang gerilya yang menelan korban 21 serdadu Belanda dan 119 pejuang Aceh. Ketika invasi Jepang sudah di ambang pintu pada awal 1942, perlawanan rakyat Aceh memaksa Belanda angkat kaki.

Dalam Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional (2012) Anthony Reid mendedahkan, meski orang Aceh yang melakukan perlawanan terhadap Belanda kemudian menyambut baik orang Jepang, namun pada 1944 kebanggaan Aceh bangkit kembali dalam sebuah pemberontakan di Bayu (Lhokseumawe): 18 serdadu Jepang tewas dan lebih dari seratus pejuang Aceh gugur.

Kendati mendapat perlawanan, namun beratus-ratus serdadu Jepang fanatik yang menolak kenyataan menyerahnya Kaisar Jepang pada tahun 1945, memilih Aceh untuk tempat bertahan, sebagai wilayah Asia Tenggara yang paling pasti akan menentang kembalinya kekuasaan Sekutu.

Setelah revolusi sosial yang menyingkirkan seluruh kelas aristokrasi/birokrasi dari kekuasaan, Aceh berada dalam keadaan cukup stabil di bawah kepemimpinan baru oleh ulama. Belanda tidak berpeluang sedikit pun untuk menancapkan kaki kembali, seperti yang mereka lakukan di wilayah-wilayah lain di Indonesia pada ofensif 1947.

Menurut Nazaruddin Sjamsuddin dalam Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh (1990), Daud Beureueh sebagai pemimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) tampil sebagai pemegang kekuasaan melalui revolusi sosial dan menjadi gubernur militer Aceh pada 1948-1950. Ia memimpin pemberontakan melawan kendali Jakarta pada 1953-1962 atas dasar dua alasan, yaitu menentang diserapnya Aceh ke dalam Provinsi Sumatra Utara, dan gagalnya Republik Indonesia melaksanakan hukum Islam.

Hal ini menurut Edward Aspinall dalam Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia (2009: 18-48), memberi ilham kepada Muhammad di Tiro--yang tidak banyak dikenal pada waktu itu--untuk mengumumkan pernyataan kemerdekaannya pada 1976.

Gagasan spesifik mengenai negara Aceh tidak pernah jauh dari alam pikiran orang-orang Aceh yang menentang status quo Jakarta. Menurut Fritz Schulze dalam “From Colonial Times to Revolution and Integration" (dalam Arndt Graf, dkk., 2010: 63-98), sampai detik terakhir penyerahan dirinya kepada Belanda tahun 1903, “penyatu sultan", Tuanku Muhammad Daud, sudah 40 tahun berperan sebagai jantung perlawanan terhadap Belanda.

Pada 1938-1940, kelompok-kelompok yang paling tidak puas dengan kekuasaan aristokrasi Ulèëbalang (kelompok elite adat) di Aceh, yang mencakup terutama banyak ulama reformis, mendukung gagasan mengenai pemulihan kesultanan.

Menurut James T. Siegel dalam The Rope of God (1969), selama pemberontakan anti-Belanda 1945-1949, Aceh merupakan model perlawanan terhadap semua gagasan yang datang dari pihak Belanda, termasuk federalisme, meski dalam praktiknya orang Aceh-lah yang memegang kendali sepenuhnya.

Tahun 1953 pemberontakan Daud Beureueh bertujuan untuk mendirikan Negara Islam, bukan untuk mencapai Aceh merdeka, karena dia percaya bahwa itulah yang diperjuangkan oleh orang Aceh sedemikian gigihnya selama revolusi. Namun dua tahun kemudian sebuah Negara Bahagian Aceh didirikan melalui Deklarasi Batee Kureng pada 23 September 1955, di bawah I Wali Negara (Daud Beureueh) yang kuat, seorang Perdana Menteri dan sebuah Kabinet.

Dua Pesawat Sekaligus
Menurut Robert Edward Elson dalam The Idea of Indonesia: A History (2008: 186), pada periode revolusi 1945-1949 Aceh kembali menjadi contoh, sebagai satu-satunya wilayah yang tidak dapat dikuasai Belanda. Aceh menyumbangkan uang untuk pemerintah Republik Indonesia yang sedang menghadapi musuh, termasuk uang untuk membeli dua pesawat terbang untuk menembus blokade Belanda.

C. van Dijk dalam Rebellion Under the Banner of Islam (1981: 269-336) menerangkan, pada 14 Juni 1948, sehari sebelum Presiden Sukarno tiba di Kutaraja, Aceh, Sayid Ali--pemimpin gerakan yang menentang rezim PUSA dan tokoh Pergerakan Tarbiyah Islamiyah/Perti Aceh--bersama teman-temannya: Tengku Muhammad Asyik, Waki Harun, Haji Mukhsin, Muhammad Meuraksa, dan Nyak Sabi ditangkap atas instruksi Daud Beureueh. Alasannya untuk mencegah mereka melancarkan demonstrasi selama kunjungan Sukarno di Aceh, sehingga mempermalukan Daud Beureueh.

Namun, Sayid Ali dan kawan-kawan masih punya harapan Sukarno akan turun tangan. Harapan itu tertuang dalam sepucuk surat yang ditulis oleh Sayid Djaffar--adik Sayid Ali. Surat itu disampaikan langsung oleh Sayid Djaffar kepada Sukarno seusai menyampaikan pidatonya di depan rapat umum di Kutaraja tanggal 17 Juni 1948. Dalam surat tersebut, Sayid Djaffar meminta Sukarno membantu membebaskan para pemimpin gerakan yang sedang ditahan, di samping mendesaknya untuk membersihkan pemerintahan setempat dari pejabat-pejabat yang korup.

Presiden Sukarno tidak dapat memenuhi permintaan itu. Dalam pidatonya di berbagai rapat umum di kota-kota yang dikunjunginya setelah Kutaraja, yakni Sigli dan Bireuen, ia hanya menyerukan kepada rakyat untuk bersatu. Barangkali hal ini karena misi perjalanannya ke Aceh untuk mencari bantuan keuangan yang lebih besar lagi dari rezim PUSA, sehingga tidak memungkinkan bagi Sukarno untuk mempermalukan pemimpin-pemimpin PUSA dengan mencampuri persoalan-persoalan lokal.

Di setiap daerah yang dikunjunginya di Sumatra, Sukarno mendesak para pemimpin dan pengusaha setempat untuk memberikan sumbangan 25 kilogram emas agar pemerintah pusat dapat membeli kapal udara. Ini bertujuan untuk membangun jaringan hubungan udara antarpulau.

Hasrat ini dikemukakan oleh Sukarno dalam jamuan makan dengan para saudagar Aceh yang tergabung dalam Gasida (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh) pada 16 Juni 1948, tepat hari ini 73 tahun lalu, di Atjeh Hotel, Kutaraja. Pada hari ketika Presiden Sukarno meninggalkan Kutaraja tanggal 20 Juni 1948, secara simbolis rakyat Aceh menyerahkan 50 kilogram emas kepada presiden, sebagai dana pembelian dua buah pesawat terbang sekaligus.

Menurut Nazaruddin Sjamsuddin dalam Revolusi di Serambi Mekah: Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949 (1998: 273), dalam acara makan dengan Gasida di Atjeh Hotel itu, Presiden Sukarno menolak makan sampai para pengusaha dan pemerintah daerah menyatakan “ya" atau “tidak" terhadap permintaan sumbangan emas. Setelah berunding sebentar, saat itu juga pemerintah daerah dan para saudagar menyatakan kesanggupannya untuk menyumbang bukan satu, tetapi dua pesawat.

Kedua pesawat yang kemudian dibeli adalah jenis DC-3 yang masing-masingnya diberi nomor registrasi RI-001 dan RI-002. Tidak banyak yang diketahui tentang RI-002, tapi RI-001 yang diberi nama “Seulawah", nama sebuah gunung di Aceh, sempat beroperasi dalam penerbangan niaga antara India dan Birma (Myanmar). RI-001 itulah yang menjadi cikal bakal perusahaan penerbangan nasional, Garuda Indonesia.

Baca juga: Industri Maskapai Kolaps, Erick Cemaskan Utang USD 500 Juta Garuda
"Daerah Modal" dan Loyalitas kepada Pemerintah Pusat
Berdasarkan pendapat Sutikno Padmosumarto--pejabat non-Aceh yang bergabung dalam pemerintahan rezim PUSA--yang menyatakan bahwa pemerintah tidak dapat menahan tokoh-tokoh gerakan itu lebih lanjut tanpa melanggar hukum, maka segera setelah Sukarno meninggalkan Aceh, mereka pun dibebaskan. Gubernur Militer Daud Beureueh sama sekali tidak menentang usul Sutikno, meskipun Sayid Ali beserta kawan-kawannya memperluas kegiatan ke kabupaten-kabupaten lain di sepanjang pantai timur. Di sanalah mereka memperoleh dukungan kuat dari unsur-unsur pro-Ulèëbalang. Tokoh yang paling menonjol dan aktif mendukung gerakan itu adalah Teuku Sjamaun Latif dari Kabupaten Aceh Utara.

Oleh sebab itu, jangkauan dari gerakan Sayid Ali makin meluas. Pelbagai persoalan yang bersangkutan dengan Peristiwa Cumbok (perang antara kelompok bangsawan dengan kelompok ulama) dan Majelis Penimbang dimanfaatkan sedemikian rupa. Kritik terhadap mereka yang dianggap sebagai pejabat korup sejak itu dilancarkan secara gencar dan terbuka, sehingga menimbulkan amarah tokoh-tokoh pemerintahan keresidenan di Kutaraja.

Akibatnya, mereka mendesak Daud Beureueh agar menangkap Sayid Ali dan kawan-kawannya. Mereka mengemukakan alasan bahwa semua tuduhan yang dibuat oleh gerakan itu telah menghina pejabat pemerintahan. Akan tetapi, Teungku Daud Beureueh tidak mau mengambil tindakan sampai gerakan itu bergerak lebih jauh pada pertengahan Agustus 1948.


Revolusi di Aceh bukan hanya bagian dari perang kemerdekaan Indonesia, melainkan juga revolusi peruntuhan konfigurasi kekuasaan yang telah ada sebelumnya. Menurut Eric Morris dalam “Aceh: Social Revolution and the Islamic Vision" (dalam Kahin 1989: 83-110), revolusi yang dialami rakyat Aceh, di satu pihak berarti suatu proses radikal pengalihan kekuasaan dari kekuasaan asing kepada elite asli, sebagaimana terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia.

Lebih dari itu, revolusi Aceh juga merupakan suatu perubahan yang amat besar dan mendadak dalam struktur kekuasaan asli setempat: kekuasaan Ulèëbalang yang selama puluhan tahun sebelumnya begitu kuat, runtuh dan digantikan oleh para ulama.

Selain itu, makna peranan yang dimainkan Aceh sehingga ditahbiskan sebagai “Daerah Modal" oleh Presiden Sukarno, dapat ditilik dalam tiga dimensi, yaitu kemiliteran, ekonomi, dan politik. Dalam dimensi militer, rakyat Aceh bukan saja berjuang untuk mempertahankan daerah mereka sendiri, melainkan juga mengalirkan kekuatan militernya secara besar-besaran ke front Sumatra Timur yang dikenal sebagai Pertempuran Medan Area.

Baca juga: Sejarah Pertempuran Medan Area
Dari sudut ekonomi, pesawat RI-001 hanyalah sebuah simbol dari peranan tersebut. Modal sesungguhnya yang telah diberikan oleh rakyat Aceh kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia jauh lebih besar daripada harga pesawat DC-3. Contohnya, hingga kiwari tidak pernah terbetik berita mengenai pelunasan obligasi yang telah dibeli oleh rakyat Aceh untuk membiayai Republik Indonesia pada masa revolusi, meskipun rakyat Aceh sudah mengikhlaskannya (Sjamsuddin 1998: 282-84).

Dan dalam dimensi politik, peranan yang dimainkan rakyat Aceh di masa revolusi mempunyai makna yang jauh lebih besar lagi bagi Republik. Peranan itu berkelindan dengan kontribusi rakyat Aceh terhadap integrasi nasional. Malahan nilainya boleh dikatakan berlipat ganda, karena disumbangkan dalam masa tersulit bagi Republik Indonesia. Besarnya nilai tersebut bergantung kepada dua faktor: independensi Aceh terhadap Belanda dan terutama terhadap pemerintah pusat, seandainya para pemimpin Aceh bermaksud melakukannya.

Dalam kebebasan yang demikian, Aceh bisa saja melepaskan diri dari Republik Indonesia dan menjadi sebuah negara, seperti halnya Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, ataupun Negara Sumatra Timur. Akan tetapi, langkah itu tidak pernah dipikirkan oleh para pemimpin Aceh ketika itu. Sebaliknya, mereka memperlihatkan loyalitasnya kepada pemerintah pusat.

https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/kunjungan-sukarno-sumbangan-rakyat-aceh-untuk-pesawat-ri-pertama-ggVf

13 Juta Gulden (Rp 1.000 Triliun) Sumbangan Sultan Siak untuk Modal Indonesia Merdeka Pengorbanan Riau untuk keberlangsungan bay...

13 Juta Gulden (Rp 1.000 Triliun) Sumbangan Sultan Siak untuk Modal Indonesia Merdeka


Pengorbanan Riau untuk keberlangsungan bayi baru lahir bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tak bisa ditandingi provinsi lainnya di Nusantara.

Sejak awal Proklamasi diucapkan oleh Dwi Tunggal, Soekarno-Hatta, 17 AGustus 1945, Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II, tak perlu waktu lama untuk menyatakan bergabung ke ibu pertiwi.

Sulltan Siak ini tak hanya menyatakan bergabung begitu saja, bahkan ia menyerahkan harta dengan jumlah sangat banyak ketika itu guna modal perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

"Setidaknya Sultan Syarif Kasim II menyerahkan ke Indonesia melalui Soekarno sejumlah uang senilai 13 juta Gulden Belanda, Mahkota berlian miliknya, serta pedang keris dan harta-harta bernilai lainnya," kata Bupati Siak, Syamsuar, kepada SELASAR RIAU, belum lama ini.

Tak hanya uang 13 juta Gulden Belanda saja diserahkan Sultan ke Indonesia, melainkan juga wilayah kerajaannya, mulai dari Sumatera Timur, meliputi Kerajaan Melayu Deli, Serdang, Bedagai hingga Provinsi Riau dan Kepulauan Riau saat ini.. Termasuk Istana sekarang ini.

Di dua provinsi terakhir, terutama Riau, sejak zaman Belanda sudah dilakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas (Migas) dengan kualitas terbaik di dunia.

Sumbangan dari perut bumi Riau berupa Migas itulah selama sejak Indonesia merdeka hingga sekarang, menghidupi negara bernama Indonesia ini.

Jika dihitung, sumbangan Sultan Siak sebanyak 13 juta Gulden Belanda, sama dengan lebih kurang 69 Juta Euro. JUmlah tersebut jika di-Rupiah-kan sekitar Rp 1,074 Triliun.

Sumbangan Sultan Siak itu merupakan sumbangan terbesar kerajaan-kerajaan di nusantara bagi bayi baru lahir, Indonesia. Bandingkan dengan Kesultanan Yogyakarta. Raja Hamengku Buwono IX hanya menyumbangkan 6,5 juta Gulden Belanda bagi modal perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pada tahun 2016 silam, Pemerintah Kabupaten Siak mendirikan Tugu Penyerahan Kesultanan Siak kepada Republik Indonesia, sebagai gambaran perjuangan Sultan Syarif Kasim II, seorang nasionalis relijius sejati.

Tugu Peringatan Penyerahan Kesultanan Siak kepada pemerintah Republik Indonesia ini peletakkan batu pertamanya dilakukan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Pernyataan penyerahan kekuasaan ke Soekarno, tuturnya, sarat dengan penuh makna. "Itu merupakan pernyataan tak jadi Sultan lagi. Sultan siap tak tinggal di Istana, jadi rakyat biasa, sama seperti rakyat lainnya," kata Syamsuar.

Bukan hanya itu, tutur Syamsuar, Sultan Syarif Kasim II juga seorang pejuang bagi warga Riau, melainkan juga berjuang hingga ke Aceh.

"Sultan itu anggota resimen dengan pangkal Kolonel tergabung dalam resimen Rencong di Aceh. Sultan juga dengan kesadarannya menaikkan bendera merah putih yang dijahit permaisuri, istrinya di halaman Istana Siak," kata Syamsuar.

Sejawan Riau, OK Nizami Jamil, mengatakan, saat berjuang ke Aceh, Sultan Syarif Kasim II juga ikut menyumbangkan hartanya untuk membeli pesawat Seulawah.

"Sultan juga ikut menyumbangkan hartanya guna membeli pesawat Seulawah, yang terkenal itu bagi perjuangan rakyat Indonesia, ketika itu," kata OK Nizami Jamil, anak dari Sekretaris Pribadi Sultan Syarif Kasim II, Muhammad Jamil.

Sultan Syarif Kasim II merupakan sultan ke-12 Kerajaan Siak. Ia lahir tahun 1908 dan meninggal 60 tahun kemudian, 1968. Tugu Penyerahan Kesultanan Siak ini material pembentuk patung atau tugu menggunakan bahan perunggu. Pemilihan material ini sebagai perlambang dinamis yang selalu mengikuti perkembangan zaman.

Hingga Sultan mangkat tahun 1968, ia seperti rakyat jelata lainnya. Menghabiskan masa hidupnya di sebuah tempat bernama Istana Peraduan. Ia hanya diberi uang pensiun oleh Soekarno setiap bulannya

https://m.kumparan.com/amp/selasarriau/13-juta-gulden-rp-1-000-triliun-sumbangan-sultan-siak-untuk-modal-indonesia-merdeka-1539145538460527427

Sultan yang Berkorban demi Bangsa Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tidak hanya mendapat dukungan dari rakyat, namun jug...

Sultan yang Berkorban demi Bangsa


Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tidak hanya mendapat dukungan dari rakyat, namun juga dari pihak kerajaan-kerajaan besar Nusantara.

Bentuk dukungan yang diberikan kerajaan Nusantara kepada Republik Indonesia sangat beragam, mulai dari segi materiil hingga imateriil.

Berikut merupakan kerajaan-kerajaan yang mendukung kemerdekaan Republik Indonesia:

Kesultanan Yogyakarta
Dukungan Kesultanan Yogyakarta terhadap kemerdekaan Republik Indonesia dapat kita lihat dari tindakan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai raja Kesultanan Yogyakarta.

Dilansir dari buku Hamengkubuwono IX: Inspiring Prophetic Leader (2013) karya Pami Hadi dan Nasyith Majidi, Hamengkubuwono IX mengirim telegram kepada Soekarno dan Hatta yang berisi ucapan selamat atas terpilihnya mereka sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia.

Selain itu, Hamengkubuwono IX juga mengadakan pidato 19 Agustus 1945 di bangsal Kepatihan yang berisi, sebagai berikut:


Kesultanan Yogyakarta merupakan bagian dari Republik Indonesia yang bersifat kerajaan dengan sistem pemerintahan daerah istimewa.

Seluruh kekuasaan dan urusan dalam negeri Kesultanan Yogyakarta berada di tangan Hamengkubuwono IX.
Hubungan antara Kesultanan Yogyakarta dan Pemerintah Indonesia bersifat langsung dan Sultan Yogyakarta bertanggung jawab kepada RI.

Selain dukungan dalam bentuk pengakuan, Kesultanan Yogyakarta juga memberikan dukungan berbentuk materiil. Kesultanan Yogyakarta pernah merelakan wilayahnya untuk menjadi Ibu Kota Republik Indonesia pada 1946.

Baca juga: Perlawanan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi Terhadap VOC

Pemindahan ibu kota didasarkan pada situasi yang tidak aman akibat dari Agresi Militer Belanda I.

Pada masa Agresi Militer Belanda II, Kesultanan Yogyakarta juga mendukung operasi militer gerilya yang dilakukan oleh pasukan Republik Indonesia dengan bantuan logistik, persenjataan dan tentara.
Kesultanan Siak Indrapura
Dikutip dari buku Kisah Perjuangan Pahlawan Indonesia (2010) karya Lia Nuralia, dukungan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia juga dilakukan oleh Sultan Syarif Kasim II sebagai raja Kesultanan Siak Indrapura.

Sultan Syarif Kasim II memberikan dukungan dalam bentuk materiil dan imateriil kepada pemerintah Republik Indonesia. Berikut dukungan Kesultanan Siak Indrapura:

Memberikan pernyataan bahwa Kesultanan Siak Indrapura merupakan bagian dari NKRI.
Memberikan bantuan berupa uang senilai 13 juta gulden atau sekitar 1,4 Trilliun kepada pemerintah Republik Indonesia.
Membentuk Komite Nasional Indonesia di Siak
Membentuk Tentara Keamanan Rakyat dan Barisan Pemuda Republik

Menyerahkan 30% hartanya kepada presiden Soekarno untuk menghadapi Agresi Militer Belanda di Yogyakarta

https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/skola/read/2020/10/24/143009169/raja-raja-yang-berkorban-demi-bangsa

Tengku Mahratu: Penjahit Merah Putih, Sumbang Perhiasannya buat Kemerdekaan RI Sosok Tengku Syarifah Fadlun atau Tengku Mahratu ...

Tengku Mahratu: Penjahit Merah Putih, Sumbang Perhiasannya buat Kemerdekaan RI


Sosok Tengku Syarifah Fadlun atau Tengku Mahratu merupakan salah wanita yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan RI di Kabupaten Siak. Ia seorang permaisuri Sultan Syarif Kasim II.

Tengku Syarifah Fadlun dijadikan seorang permaisuri menggantikan kakak kandungnya Tengku Agung Sultanah Latifah yang merupakan permaisuri Sultan Syarif Kasim II yang pertama.

Tengku Mahratu mendirikan Maddrasatun Nisa' melanjutkan kakaknya Tengku Agung yang mendirikan Latifah School.


Tengku Mahratu menginginkan kesamaan hak pendidikan antara kaum perempuan dan laki-laki.

"Tengku Mahratu melanjutkan cita-cita kakaknya Tengku Agung Sultanah Latifah untuk mengangkat derajat perempuan Siak dalam mengenyam pendidikan," terang Tokoh Masyarakat Siak, Said Muzani kepada SuaraRiau.id.


Tengku Mahratu, kata Said Muzani, benar-benar menjadi seorang permaisuri yang bijaksana. Selain sebagai penjahit bendera merah putih di Istana Kerajaan Siak, ia juga menyematkan baret merah putih kepada Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dibentuk oleh Sultan Syarif Kasim II.

"Tidak hanya menjahit bendera merah putih, Tengku Mahratu juga menyematkan lambang merah putih di baju Tentara Keamanan Rakyat yang dibentuk Sultan. Dan hal itu tentunya menjadi semangat tersendiri bagi TKR dalam menyambut kemerdekaan republik Indonesia," kata Muzani.

Dijelaskan Muzani, pasca pengibaran bendera merah putih di Istana Kerajaan Siak, Sultan Syarif Kasim II bersama Tengku Mahratu dikabarkan yang ikut menyerahkan 13 juta Gulden untuk Indonesia.

"Setelah pengibaran bendera merah putih, Sultan berpesan kepada TKR bahwa dia akan berangkat kemedan ketemu Gubernur Sumatera membahas langkah yang akan dilakukan Sultan paska kemerdekaan," terangnya.

"Setelah itu, pulang ke Istana Siak dan berangkat ke Jogjakarta bersama permaisuri Tengku Mahratu. Di situlah kabarnya 13 juta Gulden itu diserahkan. Bahkan kabar dari orangtua dulu, Tengku Mahratu melepaskan semua emas di tangannya untuk diserahkan untuk kemerdekaan Republik Indonesia," sambung Muzani.

Tidak sampai di situ, nama Tengku Mahratu diabadikan di sebuah gedung di depan Istana Siak, Gedung Tengku Mahratu.

"Namanya disematkan di sebuah gedung di depan istana Siak, bahkan sekarang juga dibangunkan sebuah taman dekat gedung itu," ungkap Muzani.


Kontributor : Alfat Handri

https://riau.suara.com/read/2021/08/19/151224/tengku-mahratu-penjahit-merah-putih-sumbang-perhiasannya-buat-kemerdekaan-ri?page=all


Nasehat Umar untuk  Rasullah tentang perlakuan jenazah musuh Allah Ketika Abdullah ibn Ubay meninggal, anaknya datang menghadap ...

Nasehat Umar untuk  Rasullah tentang perlakuan jenazah musuh Allah

Ketika Abdullah ibn Ubay meninggal, anaknya datang menghadap Rasulullah meminta gamis Rasul untuk kain kafan ayahnya. Beliau pun memberikannya. Ia pun meminta Rasul agar bersedia menshalati jenazah ayahnya. Namun, ketika Nabi berdiri hendak menshalati nya, Umar menghalangi beliau sampai di depan dada beliau. Umar memegang baju Rasul seraya berkata, "Apakah engkau akan menshalati musuh Allah, wahai Rasulullah? Padahal ia telah mengerjakan keburukan dalam bilangan harinya?."

Rasulullah yang penuh bijaksana tersenyum dan berkata, "Menyingkirlah dariku, hai Umar. Sesungguhnya aku diberikan pilihan, lalu aku memilih. Telah dikatakan kepadaku, apakah engkau akan memintakan ampun bagi mereka atau tidak. Jika engkau memintakan ampunan bagi mereka sebanyak tujuh puluh kali, Allah tetap tidak akan mengampuninya. Aku tidak tahu apakah jika aku menambahnya lebih dari tujuh puluh lalu Allah akan mengampuninya atau tidak. Jika mengampuni maka akan aku tambah."

Umar berkata lagi, "Tetapi dia seorang munafik." Namun, Rasulullah kemudian menshalatinya dan berjalan di belakang jenazah Abdullah ibn Ubay serta berdiri ketika penguburannya sampai selesai. Tidak lama kemudian, turunlah ayat, "Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan shalat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik." (at Taubah [9]: 84).

Sejak saat itu, Rasulullah tidak pernah menshalati jenazah kaum munafik dan tidak pernah pula berdiri di pekuburan mereka sampai beliau meninggal dunia.


Sumber:
The Great of Two Umars, fuad Abdurahman, Zaman 

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Qur'an (277) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (230) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) Kisah Para Nabi dan Rasul (402) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (70) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (210) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (299) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (449) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (186) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (211) Sirah Sahabat (130) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (138) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)