Kisah Suram di Balik Kegagalan Mataram Taklukan Batavia
Di pengujung tahun 1619, Sultan Agung cemas setelah mendapatkan kabar VOC berhasil merebut Jayakarta dari Kesultanan Banten. Jayakarta yang kemudian namanya diubah menjadi Batavia itu adalah salah satu wilayah yang btelum mampu ditaklukan Kerajaan Mataram.
Fakta VOC yang terkenal memperbudak pribumi juga mengganggu pikiran Sultan Agung. Sebelum Jayakarta takluk, VOC yang sebelumnya bermarkas di Kepulauan Banda, Ambon, Kepulauan Maluku, mengirimkan utusan untuk meminta izin kepada Sultan Agung guna membuka loji-loji dagang di pantai utara Mataram. Tawaran itu pun ditolak Sultan Agung. Alasannya, Sultan Agung yakin jika izin diberikan maka ekonomi di pantau utara akan dikuasai VOC.
Setelah menaklukkan Jayakarta pada 1619, VOC memindahkan kantor pusatnya ke wilayah di pesisir Pulau Jawa tersebut. Di tahun-tahun tersebut Kerajaan Mataram sedang berkonflik dengan Kerajaan Surabaya dan Kesultanan Banten. Menyadari kekuatan VOC, Sultan Agung sempat berpikir untuk memanfaatkan VOC.
Pada tahun 1621, Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar. Namun VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.
Setelah Surabaya jatuh ke tangan Mataram, sasaran Sultan Agung selanjutnya adalah Kesultanan Banten di ujung barat Pulau Jawa. Namun, posisi Batavia yang menjadi "benteng" Kesultanan Banten perlu diatasi terlebih dahulu. Alasan itu adalah keinginan lain Sultan Agung untuk menyerbu Batavia selain ingin mengusir penjajah VOC dari bumi Nusantara.
Kiai Rangga, Bupati Tegal sempat dikirim Sultan Agung ke Batavia pada April 1628. Ia dikirim sebagai utusan untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Kerajaan Mataram. VOC menolak. Sultan Agung pun memutuskan menyatakan perang.
Buku Sejarah Nasional Ketika Nusantara Berbicara karya Joko Darmawan menuliskan, persiapan untuk menyerang Batavia pun dilakukan pada tahun 1628. Pada tanggal 22 Agustus 1628, Tumenggung Bahureksa dari Kendal yang diberi titah Sultan Agung memimpin penyerbuan ke Benteng Belanda, mendaratkan 59 perahu berisi 900 prajurit ke teluk Jakarta.
Di dalam kapal, armada Bahureksa membawa 150 ekor sapi, 5.900 karung gula, 26.600 buah kelapa dan 12.000 karung beras. Semua itu tentu saja tidak diakui sebagai perbekalan untuk menyerang benteng Batavia. Armada Bahureksa beralasan kedatangan mereka untuk berdagang dengan Batavia.
Namun VOC tidak semudah itu untuk ditipu. Meski sempat curiga, tetapi VOC menyetujui sapi diturunkan dari kapal. Syaratnya kapal Mataram hanya menepi satu demi satu. Guna mengantisipasi, 100 prajurit bersenjata dari garnisun Kasteel (benteng) keluar untuk menjaga-jaga saat penurunan sapi.
Tiga hari setelahnya, tujuh kapal Mataram kembali datang ke Teluk Jakarta. Kali ini kedatangan tujuh kapal itu untuk meminta surat jalan dari VOC agar dapat berlayar ke Malaka yang saat itu berada di bawah kekuasaan VOC. Kecurigaan VOC semakin membesar. Terbukti mereka memperkuat penjagaan di dua benteng kecil utara dan menyiapkan artilerinya.
Matahari belum lagi terbenam. Ba'da waktu Ashar sekitar 20-an kapal Kerajaan Mataram menurunkan pasukannya di depan Kasteel. Belanda terkejut dan buru-buru masuk benteng kecil. Sejumlah kapal Mataram lain mendaratkan prajuritnya. Dikira akan menyerbu, Pasukan Mataram kemudian dihujani tembakan dari Kasteel.
Tanggal 25 Agustus 1628, 27 kapal Mataram lagi masuk Teluk Jakarta, tetapi berlabuh agak jauh dari Kasteel. Di sebelah selatan Batavia, serdadu Mataram mulai tiba, dengan panji perang berkibar.
Tanda sudah dimunculkan, Kerajaan Mataram menyatakan keinginannya menyerang Batavia. Esok harinya, terhitung 1.000 prajurit Mataram memasang kuda-kuda di depan Batavia. Serangan pertama pasukan Mataram pun dimulai pada tanggal 27 Agustus.
Pasukan Mataram menyerang benteng kecil "Hollandia" di sebelah tenggara kota. Namun satu kompi pasukan VOC berkekuatan 120 prajurit di bawah pimpinan Letnan Jacob van der Plaetten mampu menghalau serangan prajurit Mataram.
Kewalahan menghadapi gempuran pasukan Mataram, Belanda mendatangkan bantuan 200 prajurit dari Banten dan Pulau Onrust. Kini Kasteel dipertahankan sekitar 530 prajurit. Sekitar 500-800 orang termasuk tentara bayaran dari Jepang, China, India, dan Jawa, terlibat membantu VOC mempertahankan Kastil Batavia.
Serangan Mataram kian gencar. Pasukan kedua yang dipimpin cucu Ki Juru Martani, Pangeran Mandurareja tiba di Batavia pada bulan Oktober. Kini 10.000 prajurit mengepung Batavia.
Perang besar pecah di Benteng Holandia. Namun, serangan Pasukan Mataram ke Batavia gagal lantaran kurang perbekalan.
Sultan Agung naik pitam. Kemarahan atas kegagalan tersebut tidak bisa ditoleransi. Sejarah mencatat, pada 21 Oktober 1628 Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja serta prajurit yang tersisa dihukum mati dengan cara dipenggal. "VOC menemukan 744 mayat prajurit Jawa yang tidak dikuburkan, beberapa di antaranya tanpa kepala," tulis sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Catatan itu merupakan salah satu kisah suram di balik serangan Kerajaan Mataram ke Batavia.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya atau 1629. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit.
Belajar dari pengalaman karena kurangnya perbekalan, Kerajaan Mataram membangun lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun, lumbung-lumbung pangan yang dibangun sembunyi-sembunyi itu berhasil ditemukan lewat mata-mata. Belanda pun membakar semua lumbung padi yang membuat pasukan Mataram kekurangan perbekalan.
Di tahun itu wabah malaria dan kolera menyerang. Termasuk Pasukan Mataram yang hendak menuju Batavia.
Tumenggung Sura Agul-Agul yang memimpin pasukan Mataram tiba di Batavia. Ia didampingi dua bersaudara panglima lapangan, Kiai Adipati Mandurareja dan Kiai Adipati Upa Santa dalam misi menyerang Batavia. Namun, jauh panggang dari api. Menurunkan kualitas prajurit karena wabah kolera dan malaria, kurangnya perbekalan, dan ancaman kekalahan membuat mental pasukan Mataram hancur.
Paham jika kekuatan pasukannya berkurang dan tak mungkin menyerang mendadak, Mandurareja menggunakan cara yang berhasil mengalahkan Surabaya, yakni membendung sungai. Pasukan Mataram melemparkan bangkai hewan ke Sungai Ciliwung yang aliran airnya mengalir ke Batavia.
Sungai Ciliwung pun tercemar. Penduduk Batavia yang mau tak mau memanfaatkan air dari sungai tersebut akhirnya terserang penyakit kolera. Pasukan VOC banyak yang meninggal. Termasuk Gubernur Jenderal VOC saat iut, JP Coen dilaporkan meninggal dunia karena wabah kolera dan dimakamkan di Museum Wayang.
Namun, dalam riwayat lain, Coen dilaporkan tewas dalam serangan Mataram dan kepalanya dipenggal serta dikuburkan di bawah tangga jembatan Kompleks Pemakaman Imogiri.
Pasukan Mataram yang luluh lantak dalam pertempuran memilih bersembunyi di tepian Sungai Ciliwung. Namun, keberadaan mereka ketahuan pasukan VOC yang menyisir Sungai Ciliwung menggunakan perahu. Pasukan Mataram pun berpencar. Sebagian pasukan ada yang bersembunyi di perkampungan yang kini dikenal sebagai Matraman.
Sumber:
https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/qfqjts282
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif