basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Penamaan dan Asul Usul Komunitas Jawi di Mekkah Sejak Kesultanan Aceh berdiri, di abad ke-17 M, hubungan Nusantara dengan Timur ...

Penamaan dan Asul Usul Komunitas Jawi di Mekkah


Sejak Kesultanan Aceh berdiri, di abad ke-17 M, hubungan Nusantara dengan Timur Tengah, terutama Mekkah, semakin kuat.  Peran Mekkah bukan saja memberikan "pengesahan" gelar Sultan di Nusantara dan pergi haji, tetapi telah menjadi pusat keilmuan yang mempengaruhi dan membentuk ilmu-ilmu keislaman.

Hubungan keilmuan ini dibuktikan dengan terbentuknya jaringan ulama antara ulama Nusantara dengan Timur Tengah. Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad 17-18 merangkai seluruh jaringan ulama Timur Tengah yang terkoneksi intelektual dengan ulama Nusantara yang saat itu belajar di Timur Tengah.

Ulama Nusantara yang dipaparkan oleh Azyumardi Azra adalah Ar Raniri (w 1608), Abdurrauf Singkili (1615-1693), dan Yusuf Al Makasari (1627-1699). Syeikh Abdul Samad Palimbani (1704-1825) dan Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari, walaupun tidak dibuat diagram koneksi intelektualnya, namun dijelaskan peranannya di Nusantara.

Mereka membentuk "Lingkaran Komunitas Jawi" dengan ulama yang mengajarnya dan kemudian bertanggungjawab merancang pembentukan pemikiran Islam yang berkembang di Mekkah masa itu, neosufisme, ke Nusantara. Dari jaringan inilah, para pencari ilmu dari Nusantara di madrasah di lingkungan Komunitas Jawi.

Yang belajar di komunitas ini tidak saja berasal dari Jawa tetapi seluruh pulau-pulau di Nusantara. Yang terkenal seperti Muhammad Arsyad, Addush Shamad dan Ahmad Khatib justru bukan dari Jawa. Mengapa disebut Komunitas Jawa?

Nusantara merupakan negri maritim yang disatukan oleh laut. Setiap pulau memiliki laut dan selat, namun saling terkoneksi dan membentuk sistem bahari (sea system). Seluruh lautan dan selat di Nusantara terkoneksi ke Laut Jawa.  Laut Jawa menjadi pusat interkoneksi. Jadi penamaan Komunitas Jawi bukan di lihat dari pulaunya tetapi lautnya.

Mengapa cendrung dari nama lautnya? Karena di luar pulau Jawa masih banyak pulau-pulau yang lebih besar. Kerajaannya pun tersebar di setiap pulau. 

Sumber:
Jas Mewah, Tiar Anwar Bachtiar, Pro-U Media
Islam dalam Arus Sejarah Nusantara, Jajat Burhanuddin, Kencana
100 ulama Nusantara di Tanah Suci, Maulana La Esa, Aqwam
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara abad 17-18, Azyumardi Azra, Kencana 

Melacak Islam dalam Falsafah Hidup Urang Sunda Menggali falsafah hidup tentu saja harus diambil dari keseharian masyarakatnya. J...

Melacak Islam dalam Falsafah Hidup Urang Sunda

Menggali falsafah hidup tentu saja harus diambil dari keseharian masyarakatnya. Jejak budaya keseharian memberikan banyak informasi mengenai bagaimana urang Sunda mendefinisikan kehidupannya dan bagaimana mereka harus menjalaninya. Rekaman jejak ini salah satunya dapat diambil dari warisan peradaban dan pepatah yang hidup di tengah masyarakat Sunda, yang biasa disebut Paribasa dan Babasan

Mas Nataeisastra mengumpulkannya dalam bukunya Saratus Paribasa jeung Babasan sebanyak lima jilid yang dicetak pertama pada tahun 1914. Begitu pun Samsoedi mengumpulkan Paribasa dan Babasan Sunda sebanyak 500 buah dalam bukunya yang ditulis tahun 1950-an. Kedua buku ini dianalisa oleh Ajip Rasidi.

Menurut Ajip Rasidi dari lebih 500 paribasa, yang kosa katanya langsung meminjam peristilahan Islam hanya 16 peribahasa. Kosakata yang berkaitan langsung antara lain, "Jauh kaki Bedug", "Kokoro manggih  Mulud", "Puasa mangih Lebaran" dan sebagainya.

Walaupun sisanya tidak memiliki kosa kata Islam, namun nilai-nilai yang terkandung sesuai dengan Islam. Pendapat yang sama diutarakan oleh Endang Saifudin yang menggelora "Islam teh Sunda, Sunda teh Islam."

Sesungguhnya Islam dan Sunda tak bisa dipisahkan. Kebudayaan yang hidup di tengah masyarakat Sunda telah mendapat sentuhan Islam yang sangat kuat walaupun tidak harus dieksplisitkan dengan ayat Al-Qur'an dan hadist.

Walaupun di Tataran Sunda terdapat agama yang disebut "Sunda Wiwitan", nilai Islamnya masih terlihat walaupun baru sampai batas Syahadatain saja, sedangkan shalat, puasa dan sebagainya tidak mereka ketahui. Ini menandakan bahwa penyebaran Islam sudah jauh menembus pelosok Sunda yang medannya sekalipun sulit di jangkau.

Bertebarannya tekst sastra (wawacan), contohnya yang populer Wawacan Panji Wulung tulisan R.H Muhammad Musa yang diterbitkan 1827 yang berisi memerangi tahayul yang pernah diajarkan di sekolah Jawa Barat. Wawacan seperti Beluk dan Sawer dalam acara pernikahan yang mengandung pesan Islami dalam mengelola keluarga, menandakan kreativitas unik para penyeru dakwah Islam di Tataran Sunda dalam bentuk karya sastra yang telah menjadi bagian adat istiadat  dan kurikulum pembelajaran.

Semua ini menunjukkan intensitas penyebaran Islam dan penerimaan urang Sunda terhadap Islam.

Sumber:
Jas Mewah, Tiar Anwar Bachtiar, Pro-U Media

Prabu Siliwangi dan Putranya, Penyebar Islam di Tataran Sunda? Dalam Babad Cirebon, dikisahkan pangeran Walang Sungsang, putra r...

Prabu Siliwangi dan Putranya, Penyebar Islam di Tataran Sunda?


Dalam Babad Cirebon, dikisahkan pangeran Walang Sungsang, putra raja Pajajaran Prabu Siliwangi dari istrinya yang bernama Nyai Subang Larang.  Kiprahnya menjadi perintis penyebaran Islam di Tataran Sunda. Berdasarkan mitos, pangeran Walang Sungsang bertemu dengan Rasulullah saw padahal secara historis, periode kehidupan pangeran Walang Sungsang  dengan Rasulullah saw sangatlah berjauhan.

Cerita ini menginformasikan bahwa Tataran Sunda diislamkan langsung dari sumbernya yaitu Arab dan ajarannya tejaga kemurnianya.

Kean Santang, nama aslinya Gagak Lumayung, putra dari Prabu Siliwangi. Dia pernah mendengar kisah bahwa di Mekkah ada sosok yang sangat sakti yang bernama Baginda Ali. Dengan ilmu tapak kancang, dia berjalan menuju Barat hingga tiba di Mekkah.

Dia bertemu dengan kakek samaran dari Baginda Ali. Sang kakek memberikan ujian pertama untuk mengambil sisirnya. Kean Santang berhasil menemukannya, tetapi sisirnya amblas ke bumi. Agar sisir tersebut kembali, sang kakek mengajarkan ucapan bismillah kepadanya.

Sang kakek pun membongkar jati dirinya, lalu membawanya ke hadapan Rasulullah saw. Oleh Rasulullah saw diberi nama Sunan Rahmat. Dia ingin bermukim di Mekkah tetapi Rasulullah saw mengangkatnya sebagai Wali untuk mengislamkan tanah Jawa dengan bekal Kalimat Kalih atau Syahadat sambil memejamkan mata. Tiba-tiba dia sudah tiba di Tataran Sunda kembali.

Semua Cerita Rakyat Islamisasi di Tataran Sunda dilakukan oleh putranya Prabu Siliwangi. Bahkan ada kisah lain bahwa yang mengislamkan Tataran Sunda adalah Prabu Siliwangi itu sendiri. Apa makna ini semua?

Islamisasi di Sunda berlangsung damai bahkan sangat damai karena dilakukan oleh sosok yang sangat dihormati oleh rakyat Sunda. Rakyat Sunda menerima penuh Islam dengan rela karena dibawa langsung oleh mereka yang sangat cinta. Keberadaan Islam sama pentingnya dengan keberadaan Prabu Siliwangi.

Walaupun ini dianggap mitos namun ini sesuatu yang dipercayai oleh masyarakat yang mempercayainya. Sekaligus gambaran mentalitas yang menjadi fokus dari mitos tersebut. 

Menurut Buya Hamka di Sejarah Umat Islam, mitos tetaplah mitos, namun mitos bisa jadi berasal dari kenyataan yang ada. Dalam buku ini juga, Buya Hamka banyak mengkoleksi mitos-mitos yang menyebar berkaitan dengan Islamisasi di Nusantara.

Sember:
Jas Mewah, Tiar Anwar Bachtiar, Pro-U Media 
Sejarah Umat Islam, Buya Hamka, GIP

Tokoh Islamisasi di Tataran Sunda Sebelum Sunan Gunung Jati Puncak keberhasilan dakwah Islam di Tataran Sunda di era Sunan Gunun...

Tokoh Islamisasi di Tataran Sunda Sebelum Sunan Gunung Jati

Puncak keberhasilan dakwah Islam di Tataran Sunda di era Sunan Gunung Jati. Dia berhasil mendirikan kesultanan Cirebon, Banten dan mengusir penjajah Portugis dari Sunda Kelapa. Namun, sang Sunan bukan orang pertama yang membawa Islam ke tataran Sunda.

Berdasarkan sumber lokal tradisional dipercaya yang pertama menyebarkan Islam di Tataran Sunda adalah Haji Purwa (Purwa berarti pertama). Panggilan ini ditujukan kepada pangeran Bratalegawa, putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewantara, Raja Galuh. Dia menyerang tahta kepada adiknya dan lebih memilih sebagai saudagar besar.

Sebab profesinya ini, dia terbiasa berlayar ke Sumatera, China, India, Srilanka, Iran hingga ke Arab. Dia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat yang bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, pangeran Bratalegawa memeluk Islam lalu menunaikan haji dengan julukan Haji Baharuddin. Lalu menetap di Cirebon Girang yang masih berada di bawah kekuasaan Galuh.

Saat itu pengaruh Hindu masih sangat kuat. Menurut Buya Hamka, Haji Purwa sudah berusaha berdakwah di Istana namun gagal dan akhirnya pergi dari Istana untuk meneruskan pengembaraannya.

Bila cerita ini bisa menjadikan dasar, bila dikaitkan dengan usia kekuasaan Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewantara yang berkuasa selama 14 tahun dari 1357 M hingga 1371 M, maka dapat diketahui bahwa keislaman dan dakwah Pangeran Bratalegawa atau Haji Purwa terjadi pada abad 14 M.

Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, pada abad ke 14 telah datang ke Tataran Sunda seorang Syeikh Nurjati dari Persia bersama 12 muridnya untuk menyebarkan Islam. Atas ijin penguasa, dia diperbolehkan menetap di Muarajati Cirebon dan mendirikan pesantren.

Ketika Majapahit masih berdiri, Kapal Laksamana Ceng Ho dari Tiongkok berlabuh di Karawang. Seorang ulama yang bernama Syeikh Qura memilih tinggal di Karawang dan menikah dengan Ratna Sondari putri penguasa Karawang. Sedangkan Ceng Ho meneruskan perjalanannya. Syeikh Qura membangun pesantren dan leluasa menyebarkan ajaran Islam.

Sumber:
Jas Mewah, Tiar Anwar Bachtiar, Pro-U Media
Sejarah Umat Islam karya Buya Hamka, GIP

Sejarah Orang Siak dan Kehidupan Sosial Surau di Minangkabau Suku bangsa Minangkabau memiliki sistem yang unik untuk menghasilka...

Sejarah Orang Siak dan Kehidupan Sosial Surau di Minangkabau



Suku bangsa Minangkabau memiliki sistem yang unik untuk menghasilkan kearifan lokal. Salah satu kearifan lokal adalah sistem pendidikan. Sistem pendidikan ini dilahirkan dari salah satu entitas yaitu surau. Surau adalah bagian dari sistem adat dan sampai sekarang identik dengan sarana pendidikan terutama pada bidang agama. Sejarawan Azyumardi Azra menyebutkan bahwa Surau menjadi semacam asrama anak-anak muda, menjadi tempat belajar mengaji Al Qur’an, belajar agama, tempat upacara-upacara yang berkaitan dengan agama, tempat suluk, tempat berkumpul dan rapat, tempat penginapan musafir, berkasidah/ bergambus, dan lainnya. Kalau dilihat secara umum, sistem Surau memiliki kesamaan dengan pondok pesantren pada masyarakat di Jawa, yaitu sebagai wadah pendidikan Islam dan tidak meninggalkan unsur kebudayaan. Namun juga terdapat perbedaan yang menjadikan surau sebagai bentuk kearifan lokal Minangkabau.

Salah satu bentuk kearifan lokal dari Surau adalah Orang Siak. Kalau peserta didik pesantren di Jawa disebut dengan santri, maka di ranah Minang disebut dengan Orang Siak. Pemahaman orang siak terbagi kepada dua makna, yaitu orang yang berasal dari Siak, Riau dan orang siak yang aktivitasnya berada di lingkungan Surau dan mendalami ajaran Islam. Pada pengertian pertama kita juga akan mendapat pandangan sejarah, bahwa nama Siak di Riau juga berkaitan dengan jalur perkembangan Islam di tanah Melayu dan Minangkabau. Namun pada pembahasan kali ini berfokus kepada orang siak pada pemahaman kedua, sejarah orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk mendalami ajaran Islam dalam naungan institusi Surau.

Orang Siak Dalam Rentang Sejarah Surau
Dalam perkembangan masyarakat Minang di era disrupsi ini, mungkin kita sudah jarang menemui sosok orang siak. Kalaupun ada, orang siak hanya akan terlihat eksistensinya dalam acara-acara tertentu bidang keagamaan. Keberadaan orang siak memang sudah tidak lagi menjadi corak masyarakat Minang. Majunya zaman dan berkembangnya pendidikan modern, keberadaan orang siak menjadi jarang ditemui.

Buya Hamka menyebutkan beberapa pengertian orang yang berkelindan dalam tradisi surau di Minangkabau. Pertama, orang siak adalah orang yang dianggap ahli dalam agama Islam, bisa juga diartikan sebagai lebai-lebai atau marbot masjid. Kedua, orang siak di tanah Melayu disebut sebagai pengurus-pengurus harian masjid, orang yang ditugaskan mengurus, memandikan, dan menyembahyangkan jenazah.

Lebih mendetail dari profil orang Siak bisa kita temui dalam buku Prof. Azyumardi Azra "Surau; Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi Modernisasi. Kedatangan ajaran Islam di ranah Minang, membentuk institusi surau yang sudah ada sebelumnya pada periode Hindu-Budha. Surau yang menjadi sentral pengajaran Islam dan orang siak adalah peserta didiknya. Dalam adat Minang, pemuda yang sudah akil baligh mengharuskan mereka untuk mendalami Islam dan inilah yang menjadi landasan berkembangnya orang siak. Tidak ada pembatasan umur untuk orang siak belajar di surau, lamanya belajar di surau tergantung kemampuan dan penguasaan masing-masing.

Untuk melihat model pemenuhan kebutuhan pokok orang siak ini, kita bisa menilik ke surau gadang (besar) yang didirikan oleh kakek Bung Hatta, Syaikh Abdurrahman di Batu Hampar, Payakumbuh. Selama mendalami Islam di Surau, orang siak tidak dipungut biaya, kalaupun ada merupakan inisiatif dan kerelaan dari pihak keluarga kepada pengurus surau. Penopang biaya hidup orang siak berasal dari masyarakat dengan dekat dengan surau. Prof. Azyumardi Azra memaparkan bahwa di Payakumbuh masyarakat menyuplai bahan makanan kebutuhan pokok untuk orang siak yang ada di Surau Syekh Abdurrahman. Bagi masyarakat, gotong royong ini sebagai bentuk sedekah di mana mereka akan mendapatkan timbal balik berupa pengajaran Islam serta proses peribadatan yang dilakoni oleh orang siak atau pengurus surau. Selain mendapatkan suplai makanan dari masyarakat sekitar surau, orang siak juga punya aktivitas keluar surau untuk mengumpulkan bahan pokok dengan membawa buntil (semacam kantong terigu yang diisi beras).

Sejarah Orang Siak dan Kehidupan Sosial Surau di Minangkabau (1)
Surau Gadang Syaikh Abdurrahman di Batu Hampar, Lima Puluh Kota Salsah Satu Surau Tempat Belajar Orang Siak di Minangkabau.

Pada perkembangannya, orang siak tidak hanya berasal dari pemuda dari suatu kaum. Tradisi merantau juga menyebabkan orang siak datang dari berbagai daerah lain. Melalui orang siak, ranah Minang mengalami periode islamisasi. Keberadaan orang siak juga menjadi petunjuk bagi kita yang ada di era modern ini terkait dengan sistem pendidikan dan arus islamisasi di ranah Minang. Untuk mendalami ajaran Islam dengan pendekatan tasawuf, orang siak menjalankan metode belajar yang relatif lebih sederhana berupa: ceramah dan resitasi melingkar (halaqah). Materi belajar ditentukan syaikh yang menyesuaikan dengan umur dan kemampuan masing-masing orang siak. Pelajaran tingkat dasar: membaca Al-Qur’an dengan qira’at, ibadah, dasar ilmu tauhid. Untuk orang siak dewasa, materi belajar: tasawuf dan tarekat (Azyumardi Azra: 2003).

Pada mulanya metode belajar di surau hanya diampu oleh seorang syaikh. Tetapi dengan bertambah banyaknya orang siak, syaikh kemudian mengangkat beberapa guru tuo (guru senior). Tugasnya: memberikan penjelasan lebih rinci dari materi dan bertugas mengawasi orang siak dalam menghafal pelajaran. Dengan banyaknya peminat dan orang siak yang lebih senior ditunjuk menjadi guru senior maka kondisi ini turut memperbesar organisasi surau. Semakin besarnya organisasi ini berdampak kepada terciptanya lingkungan seperti kawasan pendidikan dalam sebuah kampung atau nagari. Christine Dobbin menyebutkan surau besar umumnya memiliki paling sedikit 20 bangunan dan dibagi berdasarkan daerah asal mereka. Hal ini tercermin di komplek Surau Besar Syaikh Abdurrahman di Batu Hampar, Payakumbuh (Azyumardi Azra: 2003).

Surau dan Orang Siak Hari Ini

Sistem pendidikan surau yang relatif lebih sederhana berhasil mengislamisasi Minangkabau dengan pendekatan tasawuf dan orang siak hadir sebagai motor islamisasi ini. Namun sistem ini mengalami transformasi karena dinamika yang terjadi di ranah Minang. Masuknya kolonialisme yang membawa pendidikan barat, terbukanya akses dengan Arab di mana sedang bangkit gelombang pemurnian Islam membawa dampak terhadap eksistensi surau.

Secara perlahan, pengaruh dari luar ini menimbulkan perbenturan seperti konflik kaum adat dan kaum paderi atau munculnya sekolah dengan sistem Eropa. Dalam dinamika ini, kemudian juga muncul sekolah Islam dengan mengadaptasi konsep sekolah Eropa seperti adanya kurikulum dan ditambahkannya mata pelajaran sains yang memang menjadi semangat pendidikan di Eropa. Perubahan ini berdampak juga kepada eksistensi dan peran orang siak yang tidak lagi memiliki peran sentral seperti sebelumnya.

Hingga hari ini, secara riil di ranah Minang orang siak bukan lagi menjadi pemandangan umum. Keberadaannya bisa dikatakan masih ada, tetapi tergerus oleh kemajuan zaman. Dalam lingkungan masyarakat Minang juga terjadi perubahan orientasi, lembaga pendidikan modern lebih mendapatkan tempat untuk membentuk manusia Minang sebagai upaya menjawab tantangan zaman. Walaupun demikian, secara etis surau tidak bisa dihilangkan begitu saja, pun dengan keberadaan orang siak. Ranah Minang harus merawat nilai-nilai surau dan menyelaraskannya dengan gerak maju zaman.

Melacak Asal-Usul Habib di Indonesia (4): Habaib dalam Pusaran Kerajaan di Indonesia (2) “Nenek moyang dari Wali Songo masih mer...

Melacak Asal-Usul Habib di Indonesia (4): Habaib dalam Pusaran Kerajaan di Indonesia (2)


“Nenek moyang dari Wali Songo masih merupakan keturunan dari ‘Alawiyin”

–O–


Berbicara mengenai Habaib atau keturunan Alawiyin yang mengambil peran penting dalam struktur kerajaan di Nusantara, kita tidak bisa melepaskannya dari sosok Al-Imam Jamaluddin Husain atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Syekh Jumadil Kubro”. Beliau adalah putra Maulana Ahmad Jalaluddin bin Abdullah Azmathkhan bin Abdul Malik bin Awali bin Muhammad Shahib Mirbath (leluhur semua keturunan Alawi sekarang). Beliau lahir pada pertengahan abad ke-13 dan wafat pada awal abad ke-14. Jumadil Kubro bukan berdarah murni Yaman, melainkan mempunyai darah dari garis ibu yang merupakan bangsawan India dan Cina.[1]

Berdasarkan cita-cita dan arahan leluhur beliau hingga Al-Imam Abdul Malik untuk Nusantara (Asia Tenggara), beliau membuat konsep dakwah di Nusantara yang kemudian konsep itu digunakan secara berkesinambungan oleh beliau dan anak cucu beliau. Konsep itu terus dikembangkan hingga pada puncaknya, cucu beliau yang bergelar Sunan Ampel (Maulana Ahmad Rahmatullah bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Syekh Jumadil Kubro) berhasil mengubah budaya Jawa dengan konsep Wali Songo-nya sehingga peneliti barat ada yang menyebut keberhasilan Sunan Ampel adalah yang kedua setelah Rasulullah karena beliau berhasil mengubah budaya sebuah bangsa dengan tim Wali Songo yang beliau buat.[2]

Maka keberhasilan Sunan Ampel sebenarnya bukan keberhasilan beliau sendiri, melainkan keberhasilan bersama mulai Al-Imam Abdul Malik. Konsep Wali Songo adalah intisari dari master plan yang dibuat oleh Syekh Jumadil Kubro, sedangkan Syekh Jumadil Kubro mengembangakan “cetak biru” yang dibuat oleh Al-Imam Abdul Malik dan dikembangkan oleh Maulana Abdullah Azmatkhan dan Maulana Ahmad Jalaluddin.[3]

Keturunan Syekh Jumadil Kubro diketahui selalu memerankan diri seperti pribumi di tempat mana pun. Misalnya, yang tinggal di tanah Jawa berasimilasi dengan penduduk lokal sehingga kemudian mereka tidak bisa lagi dibedakan dengan suku “Jawa asli”. Hal yang serupa terjadi pula di Madura, tanah Sunda, dan sebagainya.[4]

Di kemudian hari keturunan Syekh Jumadil Kubro tidak hanya mewarnai struktur kekuasaan di pulau Jawa saja, tapi juga daerah-daerah lainnya, bahkan sampai Asia Tenggara, sebut saja penguasa Kesultanan Campa (Vietnam), Kesultanan Patani (Thailand), Kesultanan Mindanau (Filipina), Kesultanan Kelantan (Malaysia), Kesultanan Cirebon, dan Kesultanan Palembang.[5]

 

Bukan Habib

Ismail Fajrie Alatas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Habib adalah seluruh keturunan Alawiyin dari Hadhramaut, Yaman, yang tersebar di Hadhramaut itu sendiri, Asia Tenggara, dan Pesisir Swahili di Afrika Timur.[6] Maka bila merujuk ke definisi tersebut, mestinya Syekh Jumadil Kubro masih termasuk dalam kategori seorang Habib.

Akan tetapi, keturunan Syekh Jumadil Kubro sendiri, yang diwakili oleh K.H. Ali Badri, bertindak sebagai Ketua Dewan Pembina “Naqabat Ali Azmatkhan Al-Husaini” dan di Indonesia lebih populer dengan nama “Majelis Dzuriyat Wali Songo”, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Habib adalah keturunan Alawiyin dari garis  Al-Faqih Al-Muqaddam. Menurutnya, walaupun sama-sama berasal dari sumber yang sama, yaitu Al-Imam Ahmad bin Isa atau al-Imam al-Muhajir—generasi ke-8 dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra—namun dalam perkembangannya antara keluarga Azmatkhan Al-Husaini dan Al-Faqih Al-Muqaddam berasal dari keluarga yang berbeda. Keturunan Al-Faqih Al-Muqaddam yang datang belakangan ke Indonesialah yang memperkenalkan istilah Habib untuk keturunan Alawiyin.[7]

Walaupun demikian, dalam perkembangan kekinian, sebagaimana yang dikatakan oleh Ismail Fajrie Alatas di atas, umumnya penduduk di Indonesia beranggapan bahwa seluruh keturunan Alawiyin bergelar Habib (Jamak: Habaib).

 

Wali Songo

Wali Songo atau yang secara harfiah berarti wali sembilan merupakan tokoh-tokoh penyebar Islam di nusantara. Mereka adalah Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim), Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Bonang (Maulana Makhdam Ibrahim), Sunan Giri (Muhammad ‘Ain Al-Yaqin/ Sultan ‘Abd Al-Faqih), Sunan Drajat (Maulana Syarifuddin), Sunan Kalijaga (Maulana Muhammad Syahid), Sunan Kudus (Maulana Ja‘far Al-Shadiq ibn Sunan ‘Utsman), Sunan Muria (Raden Umar Said bin Maulana Ja‘far Al-Shadiq), dan Sunan Gunung Jati (Maulana Al-Syarif Hidayatullah).

Berdasarkan pohon silsilah hasil penelitian Sayid Zain bin Abdullah Alkaf dalam Khidmah al-‘Asyirah, sebagaimana dikutip oleh Musa Kazhim,[8] kecuali Sunan Kalijaga, delapan Wali Songo lainnya adalah keturunan Abdullah Azmathkhan (Keturunan Alawiyin yang bermukim di India) dari jalur Syekh Jumadil Kubro, atau dengan kata lain mereka adalah masih keturunan Alawiyin dari Yaman. Lebih jelas silakan lihat pohon silsilah di bawah ini:

Mengenai Sunan Kalijaga, Professor Sumanto Al Qurtuby mengatakan bahwa beliau adalah putra dari Raja Majapahit Brawijaya V, yang menikahi seorang perempuan China Muslim yang bernama Retna Subanci. Retna Subanci merupakan anak dari Babah Ba Tong atau Tan Go Hwat. Babah Ba Tong atau Babah Bentong pada waktu itu merupakan seorang China Muslim yang mempunyai pengaruh luas di Jawa Tengah, Cirebon, dan Pesisir pantai Utara Pulau Jawa. Versi lain megatakan bahwa Sunan Kalijaga merupakan anak dari raja Tuban yang bernama Oei Tik To, nama lain dari Sunan Kalijaga adalah Oei Sam Ik.[9]

Tidak hanya Sunan Kalijaga, Sunan Bonang pun dikatakan memiliki nama China, yaitu Bo Bing Nang. Beberapa penyebar Islam lainnya yang bukan Wali Songo juga diidentifikasikan sebagai China Muslim, misalnya Ki Ageng Gribig (Siauw Dji Bik), Ki Ageng Pengging (Heng Pa Hing), dan Sunan Pajang (Na Pao Tjing).[10]

Nama-nama China yang melekat pada sebagian Wali Songo dan penyebar Islam lainnya sesungguhnya memungkinkan, mengingat Jumadil Kubro sendiri selain dari Yaman nyatanya masih ada keturunan China. Selain itu proses kawin mawin antara keturunan Alawiyin dan orang-orang China di Indonesia juga memungkinkan karena jumlah China pada waktu itu sudah banyak dan mereka juga memainkan peran sentral dalam situasi politik dan kultural di Indonesia. Mengenai Nasab dari para penyebar Islam di Indonesia yang masih keturunan China akan kita bahas dalam artikel lain.

Singkat kata, berdasarkan pohon silsilah di atas, maka dapat dikatakan bahwa mayoritas Wali Songo merupakan keturunan Alawiyin dari Yaman. Dalam perkembangannya keluarga mereka akan memainkan peran penting dalam dakwah Islam di Indonesia, dan bahkan beberapa di antaranya ada yang sampai naik ke tampuk kekuasaan tertinggi kerajaan-kerajaan di Indonesia. Pembahasan mengenai hal itu akan dibahas dalam artikel selanjutnya. (PH)

Catatan Kaki:

[1] Muhammad Subarkah, Jalur Dakwah Diaspora Hadhramaut, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hlm 243.

[2] K.H. Ali Badri, Sikap Mempribumi Kunci Sukses Dakwah Ulama ‘Alawiyin Di Nusantara, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, Ibid., hlm 162.

[3] Ibid., hlm 162-163.

[4] Muhammad Subarkah, Ibid., hlm 244.

[5] .H. Ali Badri, Ibid., hlm 163.

[6] Ismail Fajrie Alatas, Habaib in Southeast Asia, The Encyclopaedia Of Islam Three (Leiden: Brill, 2018), hlm 56.

[7] K.H. Ali Badri, Ibid., hlm 157-164

[8] Musa Kazhim, “Sekapur Sirih Sejarah ‘Alawiyin dan Perannya Dalam Dakwah Damai Di Nusantara: Sebuah Kompilasi Bahan”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, Ibid., hlm 19-20.

[9] Sumanto Al Qurtuby, The Tao of Islam: Cheng Ho and the Legacy of Chinese Muslims in Pre-Modern Java, (Studia Islamika, Vol. 16, No. 1, 2009), hlm 60-61.


Baca selanjutnya: https://ganaislamika.com/melacak-asal-usul-habib-di-indonesia-4-habaib-dalam-pusaran-kerajaan-di-indonesia-2/

Melacak Asal-Usul Habib di Indonesia (3): Habaib dalam Pusaran Kerajaan di Indonesia (1) “Tidak sedikit dari kaum ‘Alawiyin awal...

Melacak Asal-Usul Habib di Indonesia (3): Habaib dalam Pusaran Kerajaan di Indonesia (1)



“Tidak sedikit dari kaum ‘Alawiyin awal yang datang ke Indonesia masuk ke dalam keluarga berbagai kerajaan lokal melalui perkawinan, kemudian tidak sedikit pula tampuk kepemimpinan kesultanan di Asia Tenggara sampai saat ini berada dalam jalur keturunan tokoh-tokoh ini, antara lain, kesultanan di Pontianak dan tempat-tempat lain.”

–O–


Pada artikel sebelumnya kita telah membahas bahwasanya Habaib (jamak dari Habib) baik secara filosofis maupun pergerakkan datang ke Indonesia dengan jalan damai. Tidak terkecuali pada saat masa-masa kerajaan di Indonesia, metode dakwah Islam dan ajaran yang mereka bawa dikemas dengan sedemikian harmonis dengan budaya di masyarakat lokal sehingga dalam waktu yang relatif singkat, para tokoh di kalangan ini mendapat tempat di hati elit dan akar rumput pada bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Karena pendekatan persuasif dan damai, kerajaan-kerajaan lokal dengan leluasa dan sukarela membuka diri terhadap agama Islam yang relatif baru sehingga peluang dakwah semakin luas.[1]

Tidak sedikit dari kaum ‘Alawiyin awal yang datang ke Indonesia masuk ke dalam keluarga berbagai kerajaan lokal melalui perkawinan, kemudian tidak sedikit pula tampuk kepemimpinan kesultanan di Asia Tenggara sampai saat ini berada dalam jalur keturunan tokoh-tokoh ini, antara lain, kesultanan di Pontianak dan tempat-tempat lain. Tidak hanya itu, yang lebih mencengangkan bukanlah betapa cepatnya Islam menyebar di Nusantara pada khususnya dan Asia Tenggara pada umumnya, melainkan fakta bahwa Islam menyebar dengan cepat dan dengan cara damai.[2]



Berkat cara damai ini pula, Islam sebagai agama baru, dibanding Hindu dan Budha yang lebih dulu ada di Indonesia, dengan mudah dapat menggugah kesadaran masyarakat dan segera menjadi agama mayoritas. Sebagai ilustrasi, orang Jawa yang semula begitu menghayati ajaran-ajaran Hindu, segera menyerap dan menghayati aspek-aspek spritualitas dan tasawuf Islam.[3]

Selain dengan cara damai, memang struktur masyarakat nusantara sendiri, khususnya orang-orang Melayu, dalam mendalami agama Hindu-Budha, tidak terlalu dalam secara teologis. Sebagaimana diungkapkan oleh Haji Muzaffar Dato’ Hj Muhammad dan (Tun) Suzana (Tun) Hj Othman, Habaib datang pertama kali di sini sebagai juru dakwah, mereka menemukan penduduk lokal secara umum memeluk ajaran Hindu-Budha dan beberapa lainnya masih menganut agama Pagan. Untungnya, kepercayaan penduduk ini kebanyakaan tidak terlalu dalam.[4]

Ketika mereka menyelenggarakan upacara untuk menyembah dewa atau semacamnya, hal ini sebenarnya hanyalah apresiasi fisik tanpa terlalu jauh mendalami filosofi sebenarnya dari ibadah tersebut. Dengan kata lain, filosofi Hindu-Budha tidak secara total menguasai aspek psikologis orang-orang Melayu. Mereka cenderung hanya mengikuti itu untuk memenuhi kebutuhan sosial dan rekreasi, hiburan dan dalam rangka menjadi kreatif, sehingga Prof. Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas, mengungkapkan, “pengaruh Hindu tidak pernah sampai pada tahapan mengubah pandangan dunia orang Melayu, yang mana (ajarannya) berbasis pada seni, bukan filosofi”.[5]

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa praktik ibadah orang-orang Melayu lebih bersifat ritualistik, bukan teologis. Kondisi tersebut memberikan ruang yang luas bagi juru dakwah Islam untuk menanam benih-benih Islam di dalam pikiran mereka, sebuah benih yang sedikit demi sedikit akan tumbuh untuk menjadi kepribadian Islam Melayu yang solid.[6]

Dalam tataran yang lebih jauh, Habaib dapat masuk ke dalam lingkaran elit kerajaan di nusantara dan bahkan sampai menjadi bagian dari keluarga kerajaan. Pada awalnya, sebagaimana dikisahkan oleh Musa Kazhim, sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, seperti Portugis dan Belanda. Kebanyakan Habaib diberi kepercayaan oleh raja-raja setempat sebagai syahbandar, seorang diplomat ekonomi yang bertugas mengatur gerak perdagangan antara kerajaan setempat dengan para importir. Pada masa pemerintah kolonial Portugis dan Belanda, jabatan syahbandar diubah menjadi kapiten atau letnan, yang tidak sekedar menjadi makelar ekonomi, tetapi juga makelar budaya, penghubung antara masyarakat lokal dengan pemerintah kolonial. Bukan hanya para Habib, jabatan kapiten atau letnan juga dipercayakan kepada elite Tionghoa dan Melayu.[7]

Jika bangsa-bangsa kolonial Eropa mengeruk kekayaan alam daerah jajahan, maka para Habib membuat simpul-simpul jaringan intelektual di daerah-daerah tempat mereka berdiaspora. Azyumardi Azra, Ulrike Freitag, dan Michael R. Feener telah memetakan jaringan-jaringan itu secara rinci. Sebagaimana dikutip oleh Musa Kazhim, paling tidak, ada tiga pola simpul jaringan intelektual para Habib. Pertama, jaringan intelektual antara Mekkah dan Nusantara, yang sekarang dikenal sebagai Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Kedua, jaringan intelektual antara Hadhramaut dan Asia Tenggara. Ketiga, pusat-pusat studi Islam di kerajaan-kerajaan lokal di daerah-daerah Asia Tenggara, seperti Riau dan Sumenep.[8]



Dalam perkembangannya, Habaib juga melakukan perkawinan dengan perempuan-perempuan setempat yang merupakan keluarga bangsawan lokal sehingga memungkinkan mereka atau keturunan mereka pada akhirnya mencapai kekuasaan politik yang dapat digunakan untuk penyebaran Islam.[9] K.H. Ali Badri Ketua Dewan Pembina Majelis Dzurriyat Wali Songo, mengatakan tak sedikit dari tokoh ‘Alawiyin awal itu kemudian masuk ke dalam keluarga berbagai kerajaan lokal melalui jalinan perkawinan. Maka, kenyataannya, kemudian tak sedikit tampuk kekuasaan kesultanan di Asia Tenggara sampai saat ini berada di jalur keturunan tokoh-tokoh tersebut. Misalnya, Kesultanan Pontianak.[10] (PH)


Catatan Kaki:

[1] Prolog Abdillah Toha dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hlm xix.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Haji Muzaffar Dato’ Hj Muhammad dan (Tun) Suzana (Tun) Hj Othman, Ahlulbait (Keluarga) Rasulullah SAW. dan Kesultanan Melayu, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hlm 90

[5] Pehin Jawatan Luar Pekerma Raja Dato Seri Utama Dr. Ustaz Hj Md Zain Hj Serudin, Melayu Islam Beraja; Suatu Pendekatan, 1998, hlm. 105, dalam Haji Muzaffar Dato’ Hj Muhammad dan (Tun) Suzana (Tun) Hj Othman, Ibid.

[6] Haji Muzaffar Dato’ Hj Muhammad dan (Tun) Suzana (Tun) Hj Othman, Ibid.

[7] Musa Kazhim, “Sekapur Sirih Sejarah ‘Alawiyin dan Perannya Dalam Dakwah Damai Di Nusantara: Sebuah Kompilasi Bahan”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, Ibid., hlm 13

[8] Ibid., hlm 13-13.

[9] Azyumardi Azra, “Islamisasi Nusantara; Dakwah Damai”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, Ibid., hlm 111-112.

[10] Muhammad Subarkah, Jalur Dakwah Diaspora Hadhramaut, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, Ibid., hlm 242.


Baca selanjutnya: https://ganaislamika.com/melacak-asal-usul-habib-di-indonesia-3-habaib-dalam-pusaran-kerajaan-di-indonesia-1/

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Qur'an (277) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (230) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) Kisah Para Nabi dan Rasul (402) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (70) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (210) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (301) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (449) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (186) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (211) Sirah Sahabat (130) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (138) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)