Hikayat dalam Historiograft Islam Nusantara
https://www.google.com/amp/s/www.laduni.id/post/amp/55664/hikayat-dalam-peradaban-islam-nusantara
Historiografi Islam di Nusantara mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan historiografi lokal di Indonesia. Historiografi tersebut dimulai dengan munculnya corak historiografi tradisional. Sedangkan corak historiografi awal Islam di Nusantara lebih ditekankan kepada periode dan gambaran mengenai peran pahlawan dan sultan dalam dinamika kebangkitan dan kemunduran kesultanan Islam di Kepulauan Nusantara.
Sementara Rosenthal dalam melacak historiografi Islam awal di Nusantara melihat bahwa bentuk dasar historiografi Islam adalah karya sastra klasik yang isinya banyak menyebutkan istilah-istilah kepada narasi tertentu seperti haba, hikayat, kisah, dan tambo yang berasal dari bahasa Arab. Argumen ini didukung Hamka dalam melakukan penulisan sejarah yang bahannya diambil dari sumber lokal meskipun bercampur dengan mitos dan legenda, seperti Hikayat Raja-Raja Pasai, dan Sejarah Melayu yang menjelaskan interaksi langsung antara Nusantara dengan Arab.
Adanya karangan klasik seperti haba (kata diambil dari bahasa Aceh yang berarti Khabar), hikayat, kisah, dan tambo inilah yang oleh Rossenthal disebut dapat dijadikan bahan penting dalam studi karya historiografi Islam, sehingga akan terbentuk suatu horizon baru dalam penulisan sejarah Islam yang lebih banyak berpijak pada bumi sendiri dalam pengembangan keahlian dan pengetahuan sejarah Islam yang dilakukan oleh penulis- penulis Islam sendiri (Yakub, 2013: 160-161).
Sebagaimana teks Sejarah Melayu oleh Tun Seri Lanang, teks Tuhfat Al Nafis oleh Raja Ali Haji, Hikayat Merong Mahawangsa yang disalin oleh Muhammad Yusuf bin Nasruddin termasuk Silsilah Raja-Raja Melayu dan Bugis ditulis oleh Raja Ali Haji, dan Hikayat Melayu ditulis oleh Tengku Said. Hampir semua teks sastra sejarah termasuk hikayat memperlihatkan gaya penulisan sastra yang masih bercampur antara mitos dan legenda.
Dalam Hikayat Melayu misalnya, unsur tersebut terlihat pada halaman satu (1) sampai halaman empat ratus dua (402). Halaman seterusnya memperlihatkan mitos dan legenda yang menyatu dengan realitas masyarakat pada masa itu. Sebagai sebuah teks sastra sejarah, Hikayat Melayu mempunyai gaya bahasa sastra yang menarik dan mudah dipahami sehingga tetap menjadi salah satu rujukan dalam historiografi Islam Nusantara (Bt Zakaria, 2011: 2)
Hikayat dalam historiografi Islam Nusantara merupakan sebuah karya intelektual Melayu yang monumental. Hikayat Abdullah, sebuah karya dari Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, banyak menekankan pentingnya bangsa Melayu memperjuangkan hak-haknya baik sosial maupun politik. Dalam karya ini pula penulisnya banyak mengkritik ideologi politik kerajaan yang telah membuat kekacauan karena raja-rajanya telah berbuat tiran dan tidak adil.
Hikayat Abdullah merupakan salah satu karya intelektual Melayu yang menekankan pentingnya independensi bangsa Melayu. Dengan menonjolkan konsep individualisme yang dihadapkan dengan konsep kerajaan yang selama ini mendominasi kehidupan politik dunia Melayu. Hikayat Abdullah berupaya memantik kesadaran masyarakat Melayu sebagai komunitas politik yang memiliki hak-hak untuk dilibatkan dalam politik di dunia Melayu (Budiman, 2010: 2-3).
Menurut Henri Chambert-Loir (2014:105) selain beberapa hikayat yang identik dengan unsur Islam, ada jenis karya hikayat yang belum mengandung unsur Islam seperti Hikayat Dewa Mendu. Sebuah karya epos Melayu yang dikarang sebelum masa kedatangan Islam. Selain merupakan karya sastra yang bermutu tinggi, sebanding dengan karya-karya sastra Melayu yang lain karya ini menarik dari segi filologi, karena unsur-unsur klasik yang khas masih tetap dipertahankan oleh para penyalin selanjutnya.
Hikayat Dewa Mendu dikenal melalui 15 naskah yang panjangnya bervariasi: paling tebal berjumlah 470 halaman. Karya ini berupa prosa yang diselingi pantun; dalam naskah yang paling banyak pantunnya, jumlahnya 237, sedangkan dalam naskah-naskah lain, jumlahnya hanya beberapa puluhan. Ke-15 naskah tersebut cukup baik terpelihara dan menggambarkan dengan baik cara karya-karya Melayu sampai tersebar di berbagai perpustakaan di Eropa dan di Indonesia (6 di Jakarta, 4 di London, 1 di Cambridge, 1 di Leiden, 1 di Brussels, dan 1 di Berlin).
Hikayat dalam historiografi Melayu selalu memperlihatkan keistimewaan seorang tokoh yang telah menjadi legenda pada masyarakat. Misalnya tokoh Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat (Sultan Iskandar Muda-Aceh) dalam Hikayat Aceh, Seri Sultan Iskandar Zulkarnainsyah Khalifatur Rahman Johan Berdaulat Zilullahi (Sultan Iskandarsyah- Perak) dalam Hikayat Melayu, Pengiran Bendahara Seri Maharaja Sekam (A wang Semaun-Berunai) dalam Silsilah Raja-Raja Brunei dan Gocah Pahlawan (Muhamad Dalikhan-Deli) dalam Hikayat Keturunan Raja Negeri Deli.
Tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam historiografi Melayu tersebut masing- masing memperlihatkan keistimewaan asal-usul keturunannya. Dalam Hikayat Keturunan Raja Negeri Deli keistimewaan tokoh Gocah Pahlawan diperlihatkan mengungguli tokoh Iskandar Muda. Walaupun belum diketahui bagaimana keunggulan tokoh Gocah Pahlawan sebagai seorang tokoh legenda sejarah dari kesultanan Deli diperlihatkan, padahal dalam teks Hikayat Keturunan Raja Negeri Deli lebih menyoroti cerita kelegendaan Gocah Pahlawan tersebut (Kembaren, 2011: 15-16).
Hikayat dalam historiografi Nusantara juga muncul sebagai upaya mempertahankan tradisi yang banyak bersentuhan dengan kehidupan istana. Hoesein Djajadiningrat (dalam Ras, 1968: 13) menyatakan bahwa di mana pun ada kerajaan atau kesultanan, pasti ada semacam upaya pelanggengan tradisi sejarah. Sebagian tradisi tertulis telah diterbitkan, atau dalam sebagian kasus sinopsisnya diterbitkan dalam bahasa kolonial.
Isi tradisi lokal ini biasanya berisi kegemilangan atau kejayaan seorang raja. Selain itu, isinya juga bisa berupa asal-usul kerajaan tertentu. Beberapa fakta dibangun berdasarkan sumber lain yang kadang-kadang bisa ditemukan melalui jejak-jejak kecil peristiwa tertentu dalam sejarah Melayu. Akan tetapi dalam kasus semacam ini orang juga bisa kehilangan sejarah yang dicarinya (Hermawan, 2003: 4).
Dalam kaitanini, A. Teeuwdan Situmorang (dalam Ras, 1968: 25-16) menyatakan bahwa teks sejarah klasik seperti hikayat sebaiknya tidak dianggap sama dengan teks sejarah yang ditulis pada abad ke-20. Hal ini mengingat fakta bahwa sejarah Melayu bisa saja telah ditulis berulang kali. Dengan pandangan ini perlu ditekankan untuk mencoba mengisolir “lapis-lapis” atau strata kompisisi dari zaman yang berbeda. Selain itu juga perlu diingat bahwa teks-teks sejarah Melayu klasik harus dipandang sebagai dokumen fungsional, yang ditulis bukan untuk tujuan memberikan pertimbangan sejarah, tetapi disusun demi kepentingan sang raja atau dinasti yang memilikinya.
Episode historis ini dengan mudah mengatur silsilah dan raja-raja yang diidentifikasi dengan figur-figur epik tertentu. Teeuw memberikan contoh misalnya fungsi penyair istana Jawa dengan peran utamanya sebagai pakar “sihir sastra”, yang tugasnya bukan untuk memberikan informasi faktual di dalam karyanya, melainkan mengupayakan tercapainya efek supranatural atau takhayul tertentu yang berguna baik bagi penguasa maupun kekuasaannya (Hermawan, 2003: 4-5).
Sebagaimana dalam teks Hikayat Melayu yang menceritakan hubungan politik Raja Kecil beserta keturunannya dengan kekuasaaan meliputi daerah Trengganu, seluruh kepulauan Riau-Lingga-Bentan, barat daya Borneo dan beberapa buah kerajaan kecil di pantai timur Sumatera dengan keluarga Bugis di Johor sebagai dua pihak Melayu yang saling bermusuhan sepanjang abad ke-18 dan awal abad ke-19.
Hikayat Melayu dalam historiografi Nusantara mengalami tiga tahap perkembangan yakni zaman berdirinya kerajaan di Melaka yang diperintah oleh beberapa orang raja, mengalami tahap kejayaan dan juga mengalami tahap kemunduran. Zaman kejayaan Malaka dikaitkan dengan sikap raja- rajanya yang adil, dan tidak mendzalimi rakyat.
Tahap kemunduran kerajaan Melaka terjadi akibat pembangkangan rakyat terhadap raja yang dirasakan tidak adil, kejam dan dzalim. Sultan Mahmud II yang dibunuh dikatakan telah meninggalkan pewaris yang sah di dalam teks Hikayat Melayu. Zaman setelah kejatuhan kesultanan Melayu Melaka diteruskan dengan zaman pemerintahan kerajaan Siak. Pemerintahan di Siak digambarkan oleh pengarang dengan beberapa peristiwa seperti terjadinya perang saudara, masuknya penjajah asing seperti Inggris dan Belanda, hubungan baik kerajaan dengan penjajah, monopoli perdagangan dan hasil bumi di Siak oleh penjajah serta raja yang menjalani kehidupan seperti rakyat biasa pada akhirnya turut memengaruhi keadaan sosial-politik di Siak.
Berdasarkan ciri-ciri yang dijelaskan, maka teks Hikayat Melayu merupakan sebuah teks sastra sejarah. Justru, Tengku Said dalam tulisannya masih mempertahankan nilai yang ada dalam karya Hikayat Melayu dengan tetap merujuk pada karya legendaris yakni Sejarah Melayu dan meletakkan dirinya sebagai penulis yang tetap bersandar pada tradisi (Bt Zakaria, 2011: 12).
Senada dengan hal tersebut, Braginsky (1993) dalam karyanya The System of Classical Malay Literature membagi empat kategori atau tahap dalam penulisan karya-karya sastra sejarah Melayu. Tahap pertama, “myth of origin” atau mitos asal usul. Di antara karya yang termasuk dalam kategori ini, Salasilah Kutai dan Hikayat Banjar. Tahap kedua yang muncul sekitar tahun 1400-an hingga tahun 1600-an. Pada tahap ini, masih mempertahan “myth of origin”, tetapi sudah semakin berkurang, sedangkan nilai sejarah semakin diutamakan. Di antara karya yang dikategorikan dalam tahap kedua ini, Hikayat Raja Pasai, Sejarah Melayu dan Hikayat Patani.
Pada tahap ketiga, unsur “myth of origin” hanya sedikit disinggung oleh pengarang karena karya-karya yang muncul lebih berkisar kepada “Panegyrical Chronicles” sekitar pada tahun 1700-an sampai 1800-an. Di antara contoh karya sastra dalam tahapan ketiga ini, Hikayat Aceh dan Misa Melayu. Pada tahap keempat “myth of origin” hampir sudah tidak muncul lagi, sebaliknya karya yang muncul lebih fokus pada aspek penulisan sejarah. Hikayat Johor dan Tuhfat al-Nafis yang dikarang sekitar tahun 1800-an sampai 1900- an merupakan contoh karya yang muncul dalam dunia penulisan Melayu (Kembaren, 2011: 1-2).
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif