Perjalanan Fatwa Jihad yang Menggerakkan Penguasa Negara
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Persatuan Ulama Muslim Dunia mengeluarkan fatwa menyerukan “jihad bersenjata melawan penjajah ‘Israel’,” menekankan perlunya intervensi militer segera oleh negara-negara Islam dalam mendukung perlawanan Palestina dan penghapusan semua bentuk normalisasi dengan Tel Aviv.
Fatwa Jihad ini tidak saja ditujukan kepada Muslimin, tetapi juga para penguasanya. Bagaimana liku-liku Fatwa Jihad agar menggerakan para penguasa negara?
Pada abad ke-17, seorang sufi Melayu-Indonesia, Abdul Samad al Palimbani mengeluarkan fatwa jihad melawan kolonialisme bangsa Eropa. Fatwa ini untuk melawan penindasan dan penjajahan yang dilakukan oleh kolonialisme Eropa.
Doktrin jihad itu dituliskan dalam judul Nashilah al Muslim wa Tadzkirah al Mukminin fi Fadhail fi Sabil Allah wa Karamah al Mujahidin fi Sabil Allah. Fatwa Jihad ini ditulis setelah berjanjian Giyanti, saat Kerajaan Mataram terpecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta.
Fatwa jihadnya yang pertama, ditujukan pada, Hemengkubuwana I, yang memerintah Kesultanan Yogyakarta dari tahun 1755-1792, bunyinya;
“Tuhan telah menjanjikan bahwa Sultan akan memasuki surga, karena keluruhan budi, kebajikan, dan keberanian mereka yang tiada tara melawan musuh dari agama lain. Di antara mereka ini adalah raja Jawa, yang mempertahankan agama Islam dan berjaya di atas semua raja lain, dan menonjol dalam amal dalam peperangan melawan orang-orang agama lain. Orang-orang yang terbunuh dalam perang suci diliputi oleh keharuman kudus yang tak terlukiskan. Jadi ini merupakan peringatan untuk seluruh pengikut Muhammad”.
Adapun fatwa jihad lainnya ditujukan pada Pangeran Paku Negara atau Mangkunegara. Yang berkuasa dari 1757-1795, di Surakarta. Bagaimana efek fatwa jihad tersebut?
Kedua Fatwa Jihad ini tidak sampai ke para penguasa Jawa karena berhasil dirampas oleh Belanda. Namun, semangat jihadnya tetap terjaga hingga melahirkan perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro 1825, yang menyebabkan kebangkrutan Belanda.
Jeda waktu Fatwa Jihad dari Syeikh Abdul Samad al-Palimbani dengan lahirnya Diponegoro memang cukup lama, 30 tahunan, namun itulah seni memahamkan kesadaran berjihad kembali melalui Fatwa Jihad yang menyentuh level penguasa.
Begitu pun saat perang Salib. Al-Faqih Ali bin Thahir As-Sulami, seorang ulama Syam, membuat Fatwa Jihad pada 1104, 6 tahun setelah pasukan Salib menguasai dan membunuh penduduk Baitul Maqdis, baru diwujudkan oleh Shalahuddin Al-Ayubi, sang sultan Bani Ayyubi, pada tahun 1187, butuh waktu 80 tahun untuk mewujudkannya. Itulah liku-liku Fatwa Jihad yang menggerakan rakyat hingga level penguasa.
0 komentar: