Takdir yang Tak Dipahami oleh IDF dalam Operasi Militernya di Tepi Barat
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Gerakan Intifada Pertama dimulai pada 9 Desember 1987, ketika sebuah truk Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menabrak mobil sipil di Gaza, hingga menewaskan empat pekerja Palestina. Gerakan ini dimotori oleh Hamas.
Warga Palestina menuding bahwa tabrakan tersebut disengaja, sebagai balasan terbunuhnya satu warga Israel di Gaza beberapa hari sebelumnya. Sejak ini, Palestina bergolak keras melawan penjajah Zionis Israel baik di Tepi Barat maupun Gaza.
Perjanjian Oslo I adalah perjanjian yang ditandatangani oleh Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada tahun 1993, dengan pemimpin mayoritasnya dari kelompok Fatah yang berdiri pada 1958.
Perjanjian ini merupakan upaya untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung selama puluhan.
Perjanjian ini membentuk Otoritas Palestina (PA) yang akan mengelola pemerintahan di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Kantor pusatnya di Ramallah, Tepi Barat. Berdasarkan Pemilu Palestina 1966, Fatah menang Pemilu dengan 88% suara. Maka, Presiden dan Perdana Menteri PA pun dari Fatah.
Sejak Perjanjian Oslo, cara pandang meraih kemerdekaan Palestina terbelah. Hamas dengan kekuatan perlawanan. Sedangkan Fatah "berdamai" dengan penjajah Zionis Israel, dengan harapan konsisten dengan perjanjian Oslo yang telah disepakati.
Pemilu Palestina diadakan pada 25 Januari 2006. Hasilnya, Hamas meraih 44.45% suara, sementara Fatah meraih 41.43%. Padahal, di Pemilu 1996, Fatah meraih 88% suara.
Namun, Pemilu 2006 dikudeta oleh Amerika, yang berkuasa tetap Fatah di Otoritas Palestina. Hamas pun, bergerak menguasai Gaza. Kudeta pemilu ini semakin memecah kejiwaan rakyat Palestina.
Maka, Fatah dengan PA-nya berkuasa di Tepi Barat yang dipenuhi fasilitas kemudahan. Gaza dikepung dengan keterbatasan. Walaupun mereka sama-sama tetap terkepung oleh "penjara" Zionis Israel. Di Tepi Barat, penjara dibuat di setiap titik dan area tertentu. Jumlah titik pemeriksaan hingga 900 pintu.
Di Gaza, penjajah Zionis Israel membuat "penjara" besar yang mengelilingi seluruh Gaza dengan blokade yang ketat dengan membatasi kebutuhan dasar dan mobilitasnya. Sejak 2008, penjajah Zionis Israel berulang kali menyerang Gaza. Di 2023, membumihanguskan Gaza, walaupun pada akhirnya kalah.
Kekalahan di Gaza, menjadi pelajaran. Penjajah Zionis Israel tak ingin Tepi Barat memiliki kekuatan besar seperti Gaza. Maka, operasi militer pun mulai dilakukan sejak akhir Januari 2025. Apa artinya bagi rakyat Palestina?
Padahal Otoritas Palestina berpegang teguh pada perjanjian Oslo. Bahkan, cenderung mengikuti kemauan penjajah Zionis Israel. Namun, mengapa operasi militer IDF tetap dilakukan?
Logika dasar ini, akan menghasilkan satu kesimpulan, hanya perlawanan senjata yang membuat Palestina merdeka. Inilah jiwa yang semakin teguh menyatukan rakyat Palestina.
Penjajah Zionis Israel berfikir dengan kontrol yang ketat, saat ini di Tepi Barat tak memiliki senjata seperti di Gaza. Maka operasi militer harus segera dilakukan.
Namun Ingatlah sabda Rasûlullâh saw, bahwa kelompok tangguh akan muncul di sekitar Baitul Maqdis. Bila Gaza yang jauh dari Baitul Maqdis saja sangat tangguh, bagaimana yang dekat dengan Baitul Maqdis?
Semakin dekat dengan Baitul Maqdis, berarti akan semakin tangguh masyarakatnya. Semakin merasa lebih ringan pengorbanannya demi Baitul Maqdis. Takdir ini yang tak dipahami oleh penjajah Zionis Israel.
0 komentar: