Nasakh dan Mansukh dalam Sejarah Para Nabi dan Rasul
Allah swt berfirman:
Ayat yang Kami nasakh (batalkan) atau Kami jadikan (manusia) lupa padanya, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
(Al-Baqarah [2]:106)
Menurut Ibnu Jarir, makna "Ayat yang Kami nasakh (batalkan)", mengatakan: "Hukum suatu ayat yang Kami pindahkan ke selainnya dan Kami ganti dan ubah, yaitu mengubah yang halal menjadi haram dan yang haram menjadi halal, yang boleh menjadi tidak boleh dan yang tidak boleh menjadi boleh."
"Dan, hal itu tidak terjadi kecuali dalam hal perintah, larangan, keharusan, mutlaq, dan ibahah (boleh). Sedangkan ayat-ayat yang berkenan dengan kisah-kisah tidak mengalami nasakh maupun mansukh."
Menurut Ibnu Abbas, makna "Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.", mengatakan, "Memberikan manfaat yang lebih baik bagi kalian dan lebih ringan." Qatadah menambahkan, "Rukhshah."
Abu Jafar mengatakan, "Ayat ini untuk mendustakan orang-orang Yahudi yang mengingkari nasakh hukum-hukum Taurat dan menolak kenabian Nabi Isa dan Muhammad karena kedua datang dengan membawa perubahan dari sisi Allah swt untuk mengubah hukum Taurat."
Beberapa contoh nasakh, dahulu Allah swt membolehkan Nabi Adam mengawinkan putrinya dengan putranya sendiri. Setelah itu, diharamkan.
Nabi Nuh setelah keluar dari kapal dibolehkan memakan semua jenis hewan. Setelah itu, dihapus penghalalan sebagian.
Di era Nabi Yakub, menikahi dua saudara putri itu dibolehkan, setelah itu diharamkan. Allah swt memerintahkan mayoritas Bani Israil agar membunuh orang-orang yang menyembah anak sapi, lalu dilarang agar mereka tidak musnah.
Contoh lain yang paling fenomenal, nasakh atas arah kiblat shalat. Awalnya, ketika turun wahyu samawi kepada Nabi Muhammad SAW, Beliau diperintahkan untuk shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis. Padahal kala itu Beliau SAW justru berdomisili di Mekkah, yaitu di depan Ka’bah yang berada di dalam Masjid Al-Haram. Paling tidak selama 13 tahun menetap di Mekkah dan ditambah beberapa tahun lagi di Madinah, Nabi SAW dan para shahabat masih shalat menghadap ke Baitul Maqdis.
Sampai akhirnya turunlah ayat yang menasakh arah kiblat lama ke arah kiblat yang baru berikut ini :
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. (QS. Al-Baqarah : 144)
Sumber:
Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Imam Asy-Syafii
0 komentar: