Syeikh Arsyad al-Banjari, "Ilmu Mekah-nya", Kota Martapura Bebas Banjir dan Pusat Pangan
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Syeikh Arsyad al-Banjari diutus oleh Kesultanan Banjar belajar ke Mekah dan Madinah. Saat beliau hendak melanjutkan belajar ke Mesir, gurunya memerintahkan untuk kembali ke Nusantara saja.
Setelah 35 tahun belajar di Makkah dan Madinah, sekembalinya ke Tanah Air di Kalimantan Selatan, Sultan Banjar memberikan lahan berupa hutan yang diubahnya menjadi pesantren dan perkampungan yang bernama Dalam Pagar. Tidak hanya itu, di lahan itu pun dibangun sungai yang bernama Sungai Tuan.
Apa pengaruh dibangunnya Sungai Tuan? Martapura, ibu kota Kesultanan Banjar, diapit oleh dua sungai besar yaitu Martapura Hulu dan Ilir. Saat itu, Martapura sering mengalami kebanjiran akibat debit air yang berlebihan dari sungai Martapura Hulu.
Penyebabnya, sungai Martapura Hulu harus menampung debit air dari dua sungai. Yaitu, sungai Riam Kiwa dan Riam Kanan. Untuk mengurangi debit air dari kedua sungai ini, Syeikh Arsyad al-Banjari membuat sudetan sungai dari sungai Riam Kiwa ke sungai Martapura Ilir. Sehingga, debit air sungai Martapura Hulu berkurang. Sudetan sungai ini, kemudian diberi nama Sungai Tuan. Apakah sampai disini?
Revolusi agama dan pertanian pun dimulai. Syekh Mohammad Arsyad Albanjari membuat gerakan gerakan “ihya’ul mawat”, gerakan menghidupkan lahan-lahan yang non-produktif/ lahan terlantar.
Aliran Sungai Tuan didistribusikan ke lahan-lahan yang baru saja dibuka dan dihidupkan. Maka, tanah terlantar berubah menjadi persawahan dan perkebunan. Sejak itulah Kesultanan Banjar semakin kokoh menjadi pusat pangan. Bukankah ini seperti kisah kaum Saba di Al-Qur'an?
Tanah yang kosong, rendah dan digenangi air, dibuat sungai. Dengan galian sungai ini akhirnya tanah rendah itu dijadikan persawahan dan tanahnya cukup subur.
Jadi Syeikh Arsyad al-Banjari, bukan saja mumpuni dalam ke Islam dengan kitabnya yang luar biasa, Sabilal Muhtadin, menjadi rujukan bagi banyak pemeluk agama Islam di Asia Tenggara. Tetapi juga mahir sebagai ahli teknik dan arsitek ulung setelah sukses membuat aliran Sungai Tuan sebagai irigasi pertanian semasa itu.
Bagaimana sang Syeikh mampu membuat sudetan sungai yang tepat? Beliau sangat paham dengan ilmu falak, mengetahui kapan debit air maksimal (pasang) dan kapan air minimal (surut). Beliau menarik garis sejauh 8 kilometer dengan ilatungnya (tongkat) dari matahari terbit menuju matahari terbenam (timur ke barat).
Tidak hanya itu, beliau pun sangat paham tentang ilmu hidrologi. Terbukti di kitabnya, Sabilal Muhtadin, banyak memuat ilmu ini. Sekarang, hidrologi merupakan cabang ilmu geografi yang mempelajari seputar pergerakan, distribusi, dan kualitas air yang ada dibumi. Bukankah Al-Qur'an selalu menjelaskan sungai yang airnya mengalir diantara kebun-kebun?
Mengapa di kitabnya banyak memuat ilmu hidrologi? Sebab, Kalimantan Selatan terdapat banyak sungai, namun hutan yang belum diberdayakan. Dengan ilmu ini, air sungai bisa dialirakan melalui irigasi untuk membentuk perkebunan dan pertanian. Syeikh Arsyad al-Banjari sudah mencontohkannya dengan membuat sudetan Sungai Tuan.
Bukankah program bebas banjir Jakarta menggunakan metode ini? Namun apa bedanya dengan Syeikh Arsyad al-Banjari? Air di sudetan digunakan untuk perkebunan dan pertanian, sedangkan di Jakarta hanya dibuang ke laut. Mana yang lebih produktif?
0 komentar: