Strategi Imam Bonjol Memadukan Ninik-Mamak dan Tuanku Ulama di Minangkabau
Imam Bonjol wafat dalam pengasingannya di Manado. Bila sejarawan banyak membahas pertempurannya dengan penjajah Belanda, namun Buya Hamka, dalam bukunya Dari Perbendaharaan Lama, justru lebih banyak membahas bagaimana Imam Bonjol membangun peradaban Islam di Minangkabau.
Imam Bonjol mencimpungkan diri ke dalam perang Paderi, setelah sampai seruan Tuanku Nan Receh dari Kamang ke Bonjol. Tuanku Nan Receh menerima pula pelajaran pula dari tiga Tuanku yang pulang dari Mekah. Nampak sekali kesungguhan hati beliau, berusaha bagaimana supaya pokok ajaran itu dijalankan di Bonjol sendiri, tetapi tidak dengan kekerasan sebagaimana yang dilakukan di Kamang dan Agam.
Imam Bonjol mendirikan masjid yang besar, di samping itu disusun pula persatuan yang teguh di antara pemangku adat, ninik-mamak dengan tuanku-tuanku ulama. Dibentuk Raja Empat Sela, yang terdiri dari dua kalangan adat dan dua kalangan Syara. Agar berlaku pepatah adat, "Syara yang mengata, adat yang memakai."
Tujuannya, agar hukum dan ajaran agama berlaku di masyarakat. Berlakunya ajaran agama tidak mungkin lancar jika tidak terdapat kesatuan yang erat antara ulama dengan ninik-mamak.
Adat itu hendaknya diberi jiwa Tauhid yang murni. Kekuasaan yang dimiliki ninik-mamak adalah alat yang sebaik-baiknya untuk memperdalam pengaruh agama ke masyarakat. Sebab itulah, Datuk Bandaro adalah seorang ninik-mamak yang menjadi pengikut setia hingga wafatnya Tuanku Imam Bonjol.
Kekerasan yang dilakukan oleh Tuanku Nan Receh yang sampai membunuh saudaranya sendiri karena melanggar hukum, tidaklah disukai. Membunuh keturunan bangsawan, yang dilakukan Tuanku Lintau, tidak pula disetujui.
Bagi Imam Bonjol, yang terpenting memasukkan pelajaran agama sampai mendalam di hati orang-orang yang terkemuka. Yang beliau cari ialah pengaruh Ruhaniyah yang mendalam di kota Bonjol, sehingga masjid ramai dikunjungi dari seluruh pelosok Minangkabau dan Mandailing untuk belajar agama.
Hukum asli yang telah ada tidak beliau tinggalkan. Beliau mengedepankan mufakat dalam menyelesaikan persoalan yang timbul, seperti sebuah pepatah, "Kemenakan beraja kepada mama, mamak beraja kepada penghulu, penghulu beraja kepada kata mufakat." Kata mufakat inilah yang harus diisi dengan kehendak ajaran Islam.
Imam Bonjol tidak pernah meminta menjadi Yang Dipertuan Pagaruyung, sebab dia bukan berdarah raja. Ia juga tidak menjadi "diktator" ulama, yang menentukan halal, haram dan tidak boleh dibantah.
Beliau hanya supaya agama ini dirasakan, diresapkan ke dalam hati sanubari, dibuktikan dalam perbuatan, dan dijelmakan dalam susunan masyarakat. Beliau bersedia bersahabat dengan siapa saja, termasuk dengan kompeni Belanda, asal susunan masyarakat beragam itu tegak dan tidak diganggu.
Imam Bonjol sedikit tidak memiliki ambisi-ambisi politik. Oleh sebab itu sangatlah wajar bila seluruh penduduk Lembah Alahan Panjang, baik ninik-mamak dan tuanku ulama, mengangkatnya sebagai imam atau kepala dari Raja Empat Sela.
Pada akhirnya, seluruh Tuanku dan ulama di Minangkabau, melihat kebersihan hati Imam Bonjol sehingga Imam Bonjol menjadi tempat untuk mengadu. Bahkan, Tuanku Nan Receh sendiri berulang datang ke Bonjol untuk meminta berkat pangestu beliau.
Sumber:
Buya Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, GIP
0 komentar: