Saat Kepemimpinan Pusat Dianggap Terpuruk
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Mari kita belajar pada Shalahuddin Al-Ayubi dam Nurudin Zanky sang penakluk Tentara Salib. Mari kita belajar pada Saifudin Qutuz dan Baibar, penakluk Mongol. Mereka hadir di saat kekhalifahan Abbasiyah (kepemimpinan pusat) terpuruk dan hancur.
Saat itu pemimpin umat Islam terus melemah. Bahkan, setelah serbuan Mongol, kepemimpinan pusat (kekhalifan Abbasiyah) hancur. Bagaimana sikap mereka? Tetap menghormati para pemimpinnya.
Dalam setiap khutbah Jumat, mereka terus menyanjung para qiyadahnya. Semoga khalifah diberikan keberkahan. Bahkan Shalahuddin Al-Ayubi tetap memberikan hadiah persembahan. Bahkan Shalahuddin tetap memberikan surat pengakuan tunduk pada sang khalifah?
Saat kekhalifahan Abbasiyah telah hancur. Saifudin Qutuz dan Baibar tetap mencari qiyadah yang berasal dari keturunan kekhalifahan Abbasiyah. Bukankah kekuasaan dan kekuatan berada di tangan Qutuz dan Baibar? Bukan lagi keturunan Abbasiyah?
Yang lebih ekstrim lagi, Musa bin Nusair, sang penakluk Andalusia. Kembali dengan kemenangan besar dari Andalusia, justru dihukum berat oleh khalifah Sulaiman bin Abdul Malik karena khawatir Musa bin Nusair memberontak. Saat tengah dihukum, ada provokasi, mengapa tidak memberontak kepada qiyadah (khalifah)? Dijawabnya, dia tetap bersama jamaah.
Sekarang, apakah kita sehebat para penakluk Tentara Salib dan Mongol? Apakah sehebat penakluk Andalusia? Saat mereka terus mempertahankan harga diri pemimpinnya. Saat mereka terus mempersembahkan hadiah dan menyanjungnya di khutbah-khutbah Jumat. Saat mereka terus menggemakan ketaatan kepada khalifah Abbasiyah. Bagaimana dengan sikap kita sekarang kepada pemimpin? Terus menghakimi?
Apa yang telah diperbuat oleh para pemimpin, serahkan pada Allah yang Maha Mengetahui dan Menyaksikan amal-amalnya. Bukankah ada wadah internal untuk introspeksi diri? Bukankah kebijakan politik itu bersifat ijtihadi, yang bisa salah dan benar? Bukankah kesalahannya satu pahala dan benarnya dua pahala?
0 komentar: