Kondisi Zionis Israel Sekarang Identik dengan Keruntuhan Rezim Apartheid Afsel
Pada bulan-bulan menjelang perang Gaza, ratusan ribu pemukim Israel turun ke jalan dalam intensitas besar menentang pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dalam apa yang pada saat itu dikenal sebagai 'krisis amandemen yudisial'. Pada saat itu, pemerintah Netanyahu mengupayakan beberapa amandemen konstitusional yang akan membatasi kekuasaan lembaga peradilan demi kepentingan cabang eksekutif.
Untuk memahami tingkat keparahan perubahan ini, pertama-tama kita harus memahami konteks yang melatarbelakanginya. Menurut banyak analis dan pakar, pemerintahan sayap kanan Netanyahu adalah salah satu pemerintahan paling ekstremis dalam sejarah Israel.
Pemerintahan ini muncul di saat “partai-partai Zionis” di Israel lebih terpecah belah dari sebelumnya, seiring dengan munculnya konflik antara Zionisme sekuler dan Zionisme keagamaan, yang oleh Pappé dipandang sebagai elemen penting yang akan menulis garis akhir proyek Zionis.
Dia menunjukkan bahwa persatuan yang tampak dari masyarakat Israel akan mulai hancur dengan berakhirnya perang Israel di Gaza, dan konflik agama-sekuler di Israel akan segera berkobar lagi, terutama dengan munculnya partai-partai sayap kanan.
Pada tahun 2015, sejarawan Israel Ilan Pappé dan sejarawan Amerika Serikat Noam Chomsky menerbitkan sebuah buku bersama, On Palestine, di mana mereka menganalisis rezim apartheid di Afrika Selatan dan rezim apartheid di Palestina, serta membahas kedua kasus tersebut sebagai model perlawanan terhadap imperialisme.
Dalam bab keempat buku “Masa Depan Negara Israel”, Chomsky mencatat bahwa sepuluh tahun terakhir di Israel telah menyaksikan perubahan politik yang besar, di mana mentalitas Israel telah condong ke arah nasionalis kanan ekstrem, sebuah situasi yang digambarkan oleh pemikir Amerika itu mirip dengan hari -hari terakhir rezim apartheid di Afrika Selatan.
Pada November 2022, tujuh tahun setelah penerbitan buku ini, hasil pemilihan umum Israel mengkonfirmasi visi ini, setelah “koalisi sayap kanan” yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu meraih kemenangan telak, memenangkan 64 dari 120 kursi Knesset, yang mengembalikan Netanyahu ke tampuk kekuasaan 18 bulan setelahnya ia meninggalkannya.
Penulis dan jurnalis Israel, Nahum Brennai, menyampaikan hasil pemilu ini dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Yediot Aharonot, dengan mengatakan bahwa pemilu ini merupakan awal dari berakhirnya era Zionisme sekuler, sementara mantan direktur Pusat Studi Strategis Gavi di Tel Aviv, Yossi Alpher, menulis sebuah artikel yang diterbitkan oleh gerakan “Perdamaian Sekarang” Israel yang menyiapkan solusi dua negara, dengan mengutip visi masa depan Israel yang suram yang diprediksi cendekiawan dan filsuf Israel Yeshayahu Leibowitz.
Leibowitz meramalkan masa depan Israel setelah perang 1967, ketika dia mengatakan bahwa euforia ekstrem yang terjadi setelah Perang Enam Hari akan mengubah Negara Israel dari model kebanggaan nasionalisme yang sedang naik daun menjadi semacam nasionalisme keagamaan yang ekstrem, yang pada gilirannya akan mengarah pada lebih banyak kekerasan, yang pada akhirnya akan mengarah pada akhir dari Proyek Zionis.
https://khazanah.republika.co.id/berita/smaupv320/israel-negara-yahudi-terakhir-dan-7-indikator-kehancurannya-di-depan-mata-part5
0 komentar: