Akankah Israel Benar-benar Hilang Dua Tahun Lagi?
Oleh: Ahmed Al-Hilal
Kasus perang di Gaza membebani dua kandidat yang bersaing dalam pemilihan umum untuk Gedung Putih, Kamala Harris dan Donald Trump. Dalam debat televisi mereka, masing-masing kandidat sama menekankan pentingnya keamanan Israel dan haknya untuk membela diri. Harris menunjukkan perlunya pertahanan Israel dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab dan mempertimbangkan warga sipil; mengacu pada ketidakpuasannya terhadap pembantaian yang sedang berlangsung hingga saat ini.
Sementara Donald Trump menyerang kebijakan pemerintahan Biden, yang tidak mampu mencapai perdamaian dan stabilitas di Kawasan. Trump menyatakan bahwa Harris “membenci Israel” dan jika dia menjadi presiden “Israel akan lenyap dalam waktu dua tahun.”
Patut dicatat bahwa kedua kandidat berbeda pendapat dalam cara menyikapi agresi yang sedang berlangsung di Jalur Gaza dan konsekuensinya, karena Trump menghindari jawaban langsung, sementara Harris menyerukan penghentian segera perang dan kepatuhan terhadap gagasan perdamaian solusi negara. Iya menyinggung Trump sebelumnya telah menyerukan penghentian perang, dan menyatakan bahwa dia adalah presiden ketika perang terjadi, tanpa menjelaskan bagaimana dia bisa melakukan hal itu.
Mengenai isu solusi dua negara, menurut pengalaman Trump pada masa kepresidenannya sebelumnya, hal ini lebih dekat dengan tujuan Benjamin Netanyahu yang memberikan Palestina pemerintahan mandiri di bawah kedaulatan Israel.
Hak Membela Diri
Komitmen kedua kandidat dalam perdebatan mengenai keamanan Israel dan haknya untuk mempertahankan diri, meskipun ini sikap klasik dalam kebijakan Amerika, namun kali ini berbeda secara esensi. Selama tujuh dekade terakhir, Washington mengandalkan kekuatan Israel yang luar biasa sebagai sekutu strategis yang dapat diandalkan dalam misi yang sulit dan kompleks di Timur Tengah. Kini, kelemahan strategis Israel telah terungkap, terutama ketidakmampuannya mempertahankan diri.
Kelemahan ini tidak hanya ketika menghadapi negara-negara regional, seperti yang terjadi pada serangan rudal Iran, meskipun terbatas, pada malam tanggal 14 April lalu, sebagai respons terhadap pemboman Tel Aviv terhadap konsulat Iran di Damaskus. Begitu pula setelah Iran dan Hizbullah mengancam akan membalas pembunuhan Ismail Haniyeh di Teheran, dan pejabat militer Hizbullah Fouad Shukr di Beirut. Pada kedua momen tersebut, Washington mengerahkan armada dan sekutunya untuk melindungi Israel. Namun kelemahan terbesar terlihat saat menghadapi ketegaran rakyat Palestina yang tidak berdaya dan serangan Brigade Al-Qassam dengan senjata primitif pada tanggal 7 Oktober 2023 melalui operasi Badai Al-Aqsa. Washington, bersama presiden dan tentaranya, bergegas melindungi Israel dan merencanakan serta melaksanakan pertempuran paling sengit di Jalur Gaza.
Ini persimpangan sejarah negara pendudukan/penjajah Israel menunjukkan bahwa Israel, meskipun memiliki posisi strategis bagi Washington, kini menjadi lebih merugikan Amerika Serikat dibandingkan sebelumnya. Ketika ketidakmampuannya untuk mempertahankan diri terus berlanjut, hal ini berubah menjadi luka menganga yang mungkin tidak akan pernah sembuh di telapak tangan Amerika. Lebih-lebih upaya kekuatan sayap kanan ekstrim di Israel, yang dipimpin oleh Netanyahu, untuk membuka konflik eksistensial berkelanjutan yang terjadi di Timur Tengah yang mengembalikan momen tahun 1948, dengan ketegangan yang semakin meluas di masyarakat Kawasan Arab melawan Israel dan Amerika Serikat, yang memberi Israel perlindungan dan legitimasi politik dan dukungan militer terbuka untuk membunuh warga Palestina yang tidak berdaya dan mengancam mereka dengan mengusir mereka dari Jalur Gaza dan Tepi Barat dan risiko yang ditimbulkannya terhadap stabilitas regional terutama dengan Mesir dan Yordania.
Israel Akan Lenyap dalam Waktu Dua Tahun
Trump, dalam debatnya, mengindikasikan kemungkinan kehancuran Israel dalam waktu dua tahun jika Harris menang. Pernyataan tersebut mungkin tampak tidak nyata, namun mengungkapkan betapa rapuhnya Israel di alam bawah sadarnya. Seolah-olah Trump ingin mengatakan bahwa kelangsungan hidup Israel bergantung pada dukungan Washington dan Israel akan bubar jika pemerintahan berikutnya tidak meningkatkan perlindungan terhadap Israel.
Meskipun pernyataan tersebut bersifat spontan, namun di dalamnya terdapat ketakutan akan besarnya tantangan yang dihadapi Israel di Palestina dan Timur Tengah. Negara ini kehilangan kesempatan untuk berintegrasi ke dunia Arab setelah Pertempuran “Badai Al-Aqsa,” dan menggantikannya dengan isolasi yang semakin mendalam dari masyarakat Arab.
Israel juga telah menjadi titik kritis bagi rezim-rezim Arab yang telah menormalisasi hubungan mereka. Rezim-rezim Arab berusaha bersembunyi dari radar opini publik Arab, dengan mengambil sikap pro-Palestina dan menyerukan diakhirinya agresi terhadap Gaza.
Pembicaraan tentang kehancuran Israel oleh seorang calon presiden Amerika, sekutu terbesar Israel, menunjukkan betapa rendahnya pandangan terhadap entitas ini, serta besarnya tantangan ekonomi, keamanan dan sosial yang dihadapinya.
Desakan entitas pendudukan, yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu, dan kelompok sayap kanan nasionalis ekstrem, untuk mengubah pertempuran menjadi perang eksistensial dengan dimensi agama akan memotivasi banyak orang di wilayah tersebut, baik entitas maupun individu, untuk berkonfrontasi, mengambil inisiatif, dan berpartisipasi dalam perang oleh rakyat Palestina, Lebanon, Yaman, dan Irak.
Hal inilah yang sebenarnya terjadi pada Maher Al-Jazi asal Yordania yang membunuh tiga penjaga perbatasan Israel di Jembatan Raja Hussein dengan Palestina. Kesaksiannya dipuji oleh suku Al-Huwaitat di Yordania dengan sejarah perjuangannya, dan model ini mungkin bisa terulang dalam berbagai bentuk.
Israel telah memobilisasi seluruh komponen materialnya sampai pada titik kelelahan, dan telah mengerahkan pedang agama dan Taurat di hadapan orang-orang Palestina, Arab dan Muslim, dan ini adalah sebuah kesalahan yang harus mereka bayar. Karena hal ini mengabadikan dimensi agama Islam dalam konflik tersebut, yang merupakan faktor yang ditakuti oleh Barat dan telah berusaha dihilangkan selama beberapa dekade, karena pengaruh magisnya yang sangat besar terhadap generasi muda dan identitas budaya Arab dan Muslim sepanjang sejarah. Para pemuda tersebut melihat tingkat monopoli dan penghinaan yang dilakukan Barat terhadap masyarakat di wilayah tersebut dan identitas mereka, serta kesuciannya, demi Zionis yang menduduki Palestina, Yerusalem, dan Al-Aqsa.
Sejarah saja tidak akan menginspirasi generasi muda ini, karena mereka akan menemukan di Gaza – tempat lahirnya gerakan Hamas dan perlawanan Palestina, dengan religiusitas Islamnya – sebuah model yang membuat dunia takjub dengan ketabahannya, dan membuatnya bertanya-tanya sekaligus bingung mengenai apa yang terjadi di Gaza. Rahasia kekuatan tersembunyi yang memberi orang-orang ini kemampuan untuk menjadi kreatif dan menghadapi kekuatan material paling kuat yang pernah dikenal dunia.
Gaza, selain terbuka secara moral dan politik bagi masyarakat dekat dan jauh Berubah menjadi ikon nasional, nasionalis, dan Islami yang berdimensi kemanusiaan dan nilai-nilai, dalam menghadapi kebrutalan yang diwujudkan Israel. Hal ini akan membuat keadaan menjadi lebih jelas bagi generasi-generasi yang mencari jati diri mereka dan masa depan mereka, dan akan menambah beban bagi Israel. Hal ini juga akan menginspirasi kebangkitan masyarakat yang hanya terjadi setelah pengabaian telah berakhir. (at/pip)
Tanggal publikasi:
perang kawasankolomTopan Al-Aqsha
Tanggal publikasi :
Rabu 18/September/20245:47:42 malam
0 komentar: