Menyikapi Kondisi yang Tak Ada Kehidupan
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Sosok wanita yang terbiasa hidup di tengah peradaban yang besar dan tinggi. Hidup dengan keluarganya di istana Mesir. Lalu, dibawa oleh suaminya ke Palestina, yang merupakan pusat peradaban dunia saat itu.
Namun, saat baru melahirkan anak pertamanya, Allah memerintahkan suaminya agar membawa ke sebuah negri yang belum pernah disinggahinya. Tak pernah tahu medannya. Perjalanan pun dimulai dengan suami dan jabang bayinya.
Ini perjalanan antar negara. Perjalanan di padang pasir yang gersang, panas, berpasir. Sebanyak apapun perbekalan akan habis di perjalanan. Namun, suaminya adalah pemimpin perjalanan antar benua. Yang memahami seluk beluk perjalanan walaupun tidak pernah melewatinya.
Tempat yang dituju ternyata daerah yang tidak ada pepohonan dan air. Tak berpenghuni. Kegersangan, tandus, dan panas. Iklimnya sangat ekstrem antara siang dan malam. Namun, suaminya harus meninggalkannya sendirian. Padahal, dia terbiasa hidup di peradaban yang tinggi dan maju. Sekarang, harus menghadapi kegersangan gurun, tanpa kehidupan sendirian bersama jabang bayi.
Wanita termenung harus berjuang sendirian. Di berlari dari satu bukit ke atas bukit lainnya. Dari atas bukit terlihat memang tidak ada kehidupan. Namun, mengapa Allah mentakdirkan dirinya disini?
Dia tak pernah mengeluh, tujuh kali berlari dari satu bukit ke bukit yang lainnya, Saffa wa Marwa. Tetap tak ditemukan tanda awal kehidupan yaitu air. Sang jabang bayi terus menangis. Seolah-olah sedang merengek kepada Allah.
Tak tega dengan tangisan bayinya, dia mengahampiri sang bayi, ternyata dari hentakkan sang bayi keluar air yang deras. Ternyata solusi tidak ada di balik bukit. Tetapi ada di kaki sang bayi yang tidak berdaya. Yang hanya bisa merengek kepada Allah.
Karakter seorang ibu dan bayi, itulah cara menghadapi persoalan yang tidak ada solusinya dalam pandangan manusia.
0 komentar: