Adab Berploitik
Imam Al Ghazali
Qaf Media Kreativa, 19 Okt 2020
Seorang ulama pernah diundang seorang khalifah (raja). “Berilah aku nasihat,” pinta sang raja.
Lantas sang alim bercerita, "Di sebuah negeri nun jauh hidup seorang raja adil dan mencintai rakyatnya. Suatu ketika ia sakit telinga hingga tuli, lalu ia menangis."
Sang penasihat bertanya, “Mengapa engkau menangis, Paduka?” “Aku menangis bukan karena sakitku, tapi karena aku tidak mampu lagi mendengarkan keluhan rakyatku yang meminta pertolongan di depan singgasanaku.”
Mendengar hal itu, sang penasihat memerintahkan rakyatnya agar memakai baju merah untuk memberitahu sang raja bahwa orang tersebut sedang kesulitan.”
Begitulah kisah demi kisah mengalir dalam buku ini yang diperkuat dengan petuah yang menggugah akal dan menggedor hati.
Meski bukan rujukan ilmu politik bagi para penguasa, namun kandungan kitab klasik ini sarat dengan etika berpolitik yang berharga, seperti tersirat dalam judul aslinya al-Tibru al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk (Emas yang Didesain untuk Nasihat bagi Para Penguasa).
Mulanya ditujukan kepada Sultan Muhammad ibn Malik Syah dari Dinasti Saljuk, tapi isinya terus menginspirasi lintas generasi. Diulas luas dua poin utama: pertama, kekuatan akidah tauhid bagi pemimpin; kedua, keindahan moral, keadilan, keutamaan ilmu dan ulama.
Krisis penguasa berakar dari krisis ulama. Ulama bisa jadi agen perubahan dalam perbaikan pemerintahan. Lewat buku ini, Imam al-Ghazali mengambil peran itu, tampil untuk reformasi moral kekuasaan pada masanya.
Baginya, penguasa dan ulama merupakan dua pilar penting untuk memakmurkan masyarakat. “Seorang pemimpin adil,” kutipnya, “lebih utama daripada ahli ibadah seratus tahun.” Sebab, keadilan pemimpin merupakan prasyarat untuk kesejahteraan masyarakat, di dunia dan akhirat.
0 komentar: