Persoalan Pribadi Sang Firaun
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Sang raja Mesir yang menganggap dirinya tuhan, apakah tidak memiliki persoalan yang sangat personal? Persoalan ini yang sangat menekan dirinya sebagai raja. Yang berpengaruh pada keberlangsungan kekuasaannya. Bukankah para penguasa, persoalan terbesarnya tentang kekuasaan pula?
Sang raja Mesir tak memiliki anak. Bukankah anak itu penyejuk hati? Bukankah anak itu sumber kebahagiaan? Kekuasaan tanpa anak. Kekayaan tanpa anak. Bagaimana rasanya? Inilah yang menekan kejiwaan Firaun.
Oleh sebab itu, saat di pinggir istana, di tepian sungai Nil mengapung perahu dengan suara tangisan bayi yang keras, nurani keluarga Firaun tersentuh, untuk melihatnya. Kemudian memungutnya.
Maka dia dipungut oleh keluarga Fir'aun agar (kelak) dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sungguh, Fir'aun dan Haman bersama bala tentaranya adalah orang-orang yang berdosa. (Al-Qasas: 8)
Saat dilihat, ternyata postur tubuh sang bayi sangat cocok menjadi sosok raja yang perkasa. Bukankah kelak, bayi Musa menjadi pemuda dengan satu pukulan bisa membunuh? Dikejar ke negri Madyan tak tersusul oleh pasukan Firaun? Menang bersaing mengambil air? Mampu mengelola lahan pertanian dan peternakan yang luas? Karakter ini sudah terbaca oleh keluarga Fir'aun saat melihat bayi Musa.
Dan istri Fir'aun berkata, "(Dia) adalah penyejuk mata hati yang memenuhi dan bagimu. Janganlah engkau membunuh, mudah-mudahan dia bermanfaat bagi kita atau kita ambil dia menjadi anak," sedang mereka tidak menyadarinya. (Al-Qasas: 9)
Musa kecil menjadi kebanggaan Firaun. Dia menggendongnya dihadapan para pembesarnya. Namun kerisauannya muncul kembali, saat Musa memegang janggutnya. Apa Musa kecil menjadi pelanjut kekuasaannya atau yang mengambil alih kekuasaannya? Untuk itulah, Firaun mengujinya dengan diminta memakan roti atau bara api.
Kerisauan Firaun terus berlanjut tentang keberlangsungan kekuasaannya yang berawal dari belum memiliki keturunan. Inilah persoalan krusial para penguasa.
0 komentar: