Berjalan di Belakang dalam Kisah Nabi
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Setiap perlombaan, yang terdepan sebagai pemenang. Yang terkuat yang terdepan. Namun, apakah yang paling belakang selalu yang terkalahkan? Bukankah setiap kelompok ada yang lemah dan kuat?
Kemping kali ini, ingin berjalan di belakang saat pulang dari Kawah Ratu ke perkemahan. Berjalan bersama dokter yang menjaga kesehatan peserta bila ada yang sakit atau cidera. Memang tidak nyaman, bila terus dilewati oleh banyak kelompok peserta lainnya.
Dalam perjalanan yang sangat lambat, ternyata ada beberapa peserta yang cidera. Mereka berjalan dengan perjuangan yang luar biasa. Jalan yang licin dan menurun. Lutut yang nyeri dan cidera, harus menanggung beban berat tubuh. Maka, lutut semakin sakit.
Berjalan di belakang adalah salah satu contoh para Nabi. Bukankah para Nabi dan Rasul adalah penggembala? Setiap pengembala membimbing penggembalaannya dari belakang. Dari belakang, mendidik, memimpin, mengarahkan dan mengawasi.
Rasulullah saw, bila berperang berada di bagian terdepan. Saat kondisi genting berada paling dekat dengan musuh. Namun, saat membawa pasukan berada di bagian belakang. Saat hijrah pun, Rasulullah saw berangkat di paling belakang. Sebab, inilah yang paling beresiko.
Nabi Luth, saat menyelamatkan kaumnya yang beriman dari siksaan Allah, diperintahkan Allah untuk berjalan di bagian belakang. Untuk memastikan semuanya selamat, tak ada yang tertinggal, berjalan dengan tempo dan di tempat yang telah ditentukan.
Dalam perjalanan pulang dari pertempuran pun, Rasulullah saw menyiapkan pasukan yang paling belakang. Untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Dengan cara inilah, Siti Aisyah terselamatkan dari ketertinggalannya.
0 komentar: