Rambu-Rambu Memahami Kisah Nabi Idris
Nabi Idris, namanya dua kali disebutkan dalam Al-Qur'an di surat Maryam ayat 56 dan surat Al-Anbiyaa ayat 85. Namanya disebutkan setelah Nabi Ismail, dan sesudah Nabi Idris disebut Nabi Zulkifli. Saat Isra Mi'raj, Rasulullah saw bertemu dengan Nabi Idris di langit ke empat.
Menurut Buya Hamka, banyak kisah Israiliyat yang berkaitan dengan Nabi Idris, dari pertemanannya dengan malaikat maut, doanya untuk malaikat matahari yang kelelahan, tidak mau turun dari surga dan doanya agar tidak menurunkan hujan 20 tahun untuk sebuah daerah. Oleh karena itu, harus memahami rambu-rambu dalam menyeleksi kisah Nabi Idris.
Menurut Buya Hamka, ada 3 rambu dalam menerima kisah Nabi Idris, yaitu bahwa dia seorang Nabi. Seorang shidiq, benar dan jujur, bersama Nabi Ismail dan Zulkifli. Nabi yang memiliki sifat penyabar. Bila melewati tiga kriteria ini, maka kisahnya tertolak.
Siapakah sosok Nabi Idris? Menurut Ibnu Abbas, Nabi Idris merupakan sosok tukang jahit. Setiap memasukan jarum ke kain, beliau selalu membaca dzikir "Subhanallah". Begitulah dia terus bekerja dan berusaha sehari-hari sampai petang.
Dalam tafsir Al-Qurthubi disebutkan bahwa Nabi Idris adalah manusia pertama yang menulis dengan qalam, yang pertama menjahit dengan jarum, yang pertama mengetahui ilmu bintang dan hisab. Dia dinamakan Idris yang artinya belajar karena banyak sekali belajar Kitab Allah. Disebutkan, ada 30 shuhuf yang diturunkan kepadanya.
Dalam Tafsir Thanthawi yang diterbitkan 1928, baru muncul pendapat lain tentang Nabi Idris berdasarkan penyelidikan kebudayaan dan peradaban purbakala bangsa Mesir Kuno, bahwa di era Mesir purbakala terdapat tokoh besar yang bernama Oziris. Bila digunakan dialek bahasa Arab berarti Idris. Menurut Syeikh Thanthawi Jauhari, Oziris merupakan seorang Nabi yang diutus Allah kepada bangsa Mesir dan membawa ajaran dan perubahan besar.
Dari ajaran Oziris yang didapat dari huruf-huruf kuno itu bertemu ajaran tauhid. Hanya saja, ketika sudah wafat, karena memiliki jasa yang besar, beliau dimakamkan di tempat yang tinggi, lalu dipuja dan disembah.
Sumber:
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar jilid 5, GIP
0 komentar: