Nasib Ilmuwan, Bagai Katak Dalam Tempurung
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Para ilmuwan ruang angkasa dan astronot mengembara di antariksa dengan mengembangkan teknologi super canggih. Mereka menemukan ruang angkasa yang tak bertepi dan sangat banyak rahasia yang tak terpecahkan. Beragam benda-benda di ruang angkasa diberi nama sesuai yang pertama kali melihatnya atau membuat teorinya.
Mengirimkan satelit, robot hingga manusia, memprediksi apakah pernah ada kehidupan di luar bumi? Bisakah membuat kehidupan di planet lain? Bisakah menambang kekayaan planet lain? Hingga bisakah berlibur ke luar angkasa?
Dengan riset ke luar angkasa, teori kehancuran di bumi pun menjadi sangat logis. Bukan itu saja, tetapi juga kehancuran alam semesta. Ternyata bumi itu hanya debu di alam semesta. Ternyata galaksi bima sakti hanya setitik debu pula di alam semesta.
Hasil risetnya hanya melahirkan teori ilmu pengetahuan, kelak teori ini pun akan terbantahkan dengan data yang baru. Seperti itulah pergumulan ilmu. Hasil riset hanya bagaimana bisa menjadi bisnis atau kekayaan? Atau sekedar mercusuar kehebatan atas bangsa lain.
Mengapa riset yang semakin luas hanya berujung pada akhir yang sama? Ilmu pengetahuan saja. Gelar akademik seperti profesor? Berakhir pada membangun bisnis dan kekayaan? Mengapa tidak sampai menyentuh pada kesadaran ketuhanan?
Bukankah riset ilmuwan ruang angkasa seperti menjalani babak kecil awal perjalanan Miraj Rasulullah saw? Mengapa tak sedikitpun yang diraih seperti yang diraih Rasulullah saw saat Miraj?
Itulah jalan sesat yang tak tahu tujuan sesuatu. Muslimin memang belum meneliti fenomena ruang angkasa, namun hasil riset mereka dimanfaatkan untuk menafsirkan ayat Al-Qur'an tentang langit, meneguhkan keimanan kepada Allah dan kelak dimanfaatkan untuk membangun peradaban. Ilmuwan Barat hanya kelelahan membuka hakikat sesuatu. Lelah dalam kebingungan dan pertanyaan. Namun Muslimin yang memanfaatkannya. Sungguh kasihan para ilmuwan Barat?
0 komentar: