Menggapai "Lailatur Qadr" di Hutan
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Ramadhan mencoba menaiki perbukitan di kawasan gunung Halimun. Terpaan angin pegunungan seolah-olah mendinginkan panasnya cahaya matahari. Angin yang menerpa pepohonan seperti musik okestra. Suara burung seperti penyanyi yang diiringi musik okestra.
Lebah dan kupu-kupu hinggap dari satu bunga ke bunga yang lainnya. Lebah kecil masuk ke dalam rongga pintu bunga yang dihinggapinya. Semut beriringan di atas tanah dan dahan tumbuhan. Kehidupan di hutan sangat tentram, berbeda namun bekerjasama. Tidak seperti manusia yang selalu ribut dan berselisih karena kepentingan.
Menyusuri jalan setapak sambil membawa tongkat di hutan. Naik dan turun jalan yang licin karena setiap hari hujan. Hujan semalaman menciptakan aliran air yang jernih dan sejuk melewati selokan untuk mengairi persawahan yang ada di lembah.
Di perkotaan, berlomba bekerja di gedung pencakar langit. Namun di sekitar hutan gunung Halimun, penduduknya hilir mudik, keluar masuk hutan, mengolah yang ada di hutan. Naik turun gunung. Siangnya mereka pulang membawa hasil dari hutan. Sumber air minum pun berasal dari hutan.
Berikhitiar meraih "lailatur qadr" di hutan. Lisan tak dibasahi dengan Al-Qur'an dan dzikir. Namun mata, telinga dan panca indra menyaksikan keagungan Allah yang membuat hati terguncang hebat. Menyaksikan firman Allah yang ada di hutan dan suasana hutan.
Setengah hari berkeliling di hutan, mencoba rebahan di bawah pohon. Mata menatap ke langit dan pepohonan di atasnya. Menyaksikan awan berarak dan angin menghempaskan dedaunan dan ranting. Dari tanah yang menjadi tempat rebahan, seluruh kehidupan dimulai.
Karena sangat takjubnya pada tanah, diambil segenggam tanah lalu menciumnya. Merasakan aroma, kelembaban, kelembutan dan tekstur tanah. Allah Maha Mengetahui dan Berilmu, mengapa makhluk dari cahaya dan api harus bersujud pada makhluk yang berasal dari tanah? Tanah memang luar biasa.
0 komentar: