Mendayagunakan Takdir
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Belajar takdir dari berkebun. Tanah memiliki takdir. Cacing, rayap, dan semut menjalani takdirnya. Setiap tumbuhan menjalani takdirnya. Apakah mereka bahagia? Tentu saja, setiap pagi, tumbuhan daunnya segar. Bunganya terus berseri. Setiap hewan menggeliat dengan semangat setiap pagi.
Tumbuhan dan hewan menjalani takdirnya. Apakah kehidupan mereka buruk? Apakah mereka tidak makan dan minum? Apakah mereka tersiksa? Semuanya tercukupi. Bila tidak ada kezaliman manusia, alam semesta berbahagia hidupnya.
Dengan berserah diri terhadap takdir, alam semesta bergerak menjadi teratur, tertata, bersistem, bersinergi dan bersimbiosis mutualisme. Tak ada kerusakan dan kehancuran. Semuanya serba indah dan mengagumkan. Mengapa manusia justru memberontak terhadap takdirnya?
Alam semesta menyerahkan diri terhadap takdir karena "dorongan di luar alam sadarnya". Sedangkan manusia yang dianugerahi akal dan kebebasan, justru melawan takdirnya. Akal dan kebebasan merupakan anugerah, namun pada sisi lain adalah ujian.
Dalam kesempurnaan manusia ada ujiannya. Manusia harus melawan akal dan kebebasan yang dihiasi oleh keindahan hawa nafsu dan kepalsuan bisikan syetan. Manusia harus mengalahkan fikiran sadarnya terlebih dahulu untuk berserah diri terhadap takdirnya.
Padahal dengan berpasrah terhadap takdirnya, manusia akan seindah alam semesta. Bila akal dan kebebasannya digunakan sesuai tuntunan takdirnya, maka manusia akan bisa mendayagunakan takdir-takdir yang tersebar pada setiap makhluk Allah dan peristiwa di muka bumi.
Akal dan kebebasan bukan untuk merubah takdir. Bukan untuk memperbaiki takdir. Apalagi menentang takdir. Tetapi untuk mempelajari seluruh takdir yang ada di alam semesta, lalu mendayagunakan, meramu, menata takdir sehingga kehidupan menjadi surga di bumi.
0 komentar: