Perbendaharaan Kata Para Da'i
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Umat ini tidak akan bisa kembali kepada Islam kecuali dengan dakwah yang mula-mula dilandaskan pada pengorbanan jiwa. Jika tidak, maka cita-cita tidak akan tercapai. Bersandar pada kemungkinan para pemimpin kekafiran itu mendengar nasihat dan bahasa diplomasi, itu semua tidak lebih dari perkara sepele semata.
Khalid bin Walid saat akan membebaskan Irak, dia mengabarkan karakter yang harus dimilikinya, "Kami datang kepada kalian dengan membawa orang-orang yang lebih berambisi kepada kematian daripada ambisi kalian kepada kehidupan."
Abdullah ibnu Mubarak menyampaikan kepada para pembaharu dan pahlawan jihad untuk mempresentasikan jiwa yang harus dimiliki, "Benci kehidupan dan takut kepada Allah mengeluarkanku. Dan, menjual jiwaku dengan sesuatu yang tidak ada harganya. Aku menimbang apa yang abadi untuk mengimbanginya. Apa yang tidak abadi, tidak, demi Allah, kami tidak menimbang."
Kamus bahasa para da'i terus berkembang untuk menunjukkan kesiapan dan semangatnya berdakwah. Sebagian da'i mengatakan, "Jadilah merdeka selamanya." Yang lain menambahkan, "Kita punya hari esok dan cita-cita." Ada yang menambahkan, "Agama-Nya adalah tanah air kami. Dan kami mengganggap ringan segala bencana."
Seorang sufi, Ruwaim, memperkenalkan istilah baru penyemangat dakwah dengan berkata, "Yaitu mengorbankan nyawa, bila tidak maka jangan sibuk dengan perkara-perkara sepele."
Seorang ulama berkata, "Tetesan darah masih terasa mahal bagi kaum Muslimin, selama tetesan darah masih terasa mahal, maka mereka tidak akan pernah mencapai apa pun, karena harga kejayaan dan kemerdekaan hanyalah tetesan darah belaka."
Muhammad Iqbal menutup daya tahan jiwa Muslimin dengan berkata, "Tegar, bila kebatilan merajalela. Berani menghadapi perang, itulah mukmin." Islam menginginkan pengorbanan. Kebesaran tidak akan ada bersama kehidupan yang dipenuhi hawa nafsu.
0 komentar: