Mari Kita Duduk Untuk Beriman Sesaat
Juru dakwah yang beriman tidak akan pernah lepas dari dua tarikan. Yaitu, tarikan imannya, niatnya, semangatnya, dan rasa tanggungjawabnya. Karena itu, ia selalu berusaha mengerjakan amal shaleh dan bertekad mengerjakan kebaikan.
Dan tarikan setan dari sisi lain. Ditampakkannya indah sikap bermalas-malasan dan cinta dunia. Karena itu, ia sangat cinta kepada dunia, malas, panjang angan-angan, suka mengkhayal, dan enggan mempelajari apa yang tidak diketahuinya.
Keterombang-ambingan di antara dua jenis tarikan itu merupakan sesuatu yang abadi, senantiasa ada sejak dulu.
Karena itulah, orang-orang Mukmin harus mewajibkan dirinya untuk selalu memikirkan, merenungkan, dan saling memberi nasihat, dengan senantiasa melakukan koreksi terhadap jiwanya.
Jangan-jangan dihinggapi perasaan sombong atau congkak.
Mengoreksi hatinya. Jangan-jangan dihinggapi kecendrungan yang tidak baik.
Merenungkan ilmu dan imannya, jangan-jangan terkontaminasi oleh berbagai bidah, atau mengabaikan perintah dan petunjuk.
Muadz bin Jabal menerjemahkan sensitivitas ini dengan perkataannya yang kelak menjadi materi pedoman segenap generasi beriman.
Ia berkata kepada sahabatnya ketika ia memberi peringatan kepadanya, "Marilah kita duduk untuk beriman sesaat."
Kalimat ini kemudian dipakai oleh Ibnu Rawahah, maka berkatalah ia kepada Abu Darda sambil memegang tangannya, "Marilah kita beriman sesaat, sesungguhnya hati itu berbolak balik lebih cepat daripada berbolak baliknya air mendidih di dalam periuk."
Maka kita juga mengambil kalimat ini dari kedua mereka itu, sehingga menjadi nasihat dan pelajaran dalam memahami dakwah.
Dengannya kami menyeru juru dakwah untuk duduk sesaat mengambil pelajaran dan perenungan, beriman dan mengoreksi dirinya, ilmunya, dan semangatnya.
Sumber:
Muhammad Ahmad Ar-Rasyid, Titik Tolak, Robbani Press
0 komentar: