Dari Politik Transaksional Menuju Politik Kesukarelaan
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Politik transaksional sudah sangat melekat dan massif. Pemenang Pilpres, Pilkada, terpilihnya Caleg hingga kepala desa cendrung dimenangkan oleh mereka yang massif berpolitik uang, politik dagang sapi hingga gentong babi. Mungkinkah bisa dirubah menjadi politik kesukarelaan? Bagaimana membangun politik kesukarelaan? Mari membuka kisah Nabi Musa.
Allah SWT mengutus Nabi Musa kepada Firaun. Misinya, menyadarkan Firaun bahwa tuhan itu bukan dirinya, tetapi Allah SWT. Ada rasa ketakutan pada diri Nabi Musa dalam menghadapi Firaun. Maka, Allah memberikan dua mukjizat yaitu tongkat yang bisa berubah menjadi ular yang besar dan tangannya menjadi putih bercahaya bagi orang yang melihatnya. Nabi Musa pun meminta agar saudaranya, Harun, menjadi Nabi sebagai pendampingnya karena dia sangat ahli berkomunikasi.
Bagaimana cara menghancurkan kebenaran? Mempersepsikan kebenaran sebagai sosok hantu dan gerakan yang menakutkan sehingga dapat menghancurkan singgasana kekuasaan. Saat mukjizat Nabi Musa diperlihatkan di hadapan Firaun, pemuka kerajaan Mesir mempengaruhi Firaun dengan mengatakan bahwa Nabi Musa merupakan sosok pesihir yang pandai yang hendak mengusir Firaun dari Mesir. Lalu, bagaimana menghadapi Nabi Musa?
Menghancurkan kebenaran yang kecil pun butuh gerakan yang massif, terencana, kuat dengan dukungan ragam sumber daya yang besar. Para pemuka kerajaan Mesir pun menyarankan pada Firaun agar menahan Nabi Musa dan Harun untuk sementara waktu. Secara bersamaan, utusan kerajaan disebar ke seluruh kota untuk mencari, menemukan dan mengumpulkan semua pesihir terbaik yang ada di Mesir untuk menghadapi kemukjizatan Nabi Musa. Para penyihir pun tiba di Istana Firaun. Apa yang dibicarakan mereka?
Dialog Firaun dan para penyihir merupakan dialog politik transaksional. Apa yang didapatkan? Apa imbalannya? Politik transaksional harus jelas dulu apa yang diperoleh sebelum eksekusi misi dilakukan. Firaun menjanjikan jika para penyihir menang maka akan mendapatkan imbalan yang besar dan mereka dijadikan orang terdekat di sisi Firaun. Pada prinsipnya, yang melawan kebenaran tidak saling mempercayai dan bersatu. Mereka bergerak bila mendapatkan imbalan.
Pertarungan Nabi Musa dan para penyihir pun dimulai. Para penyihir mengelabuhi mata orang yang melihatnya sehingga menjadikan orang banyak itu takut karena sihirnya sangat menakjubkan. Nabi Musa diperintahkan Allah untuk melemparkan tongkatnya. Maka tongkat Nabi Musa menelan habis semua kepalsuan sihir mereka. Kebenaran itu digdaya walaupun harus menghadapi kerumunan yang banyak dan besar.
Sia-sialah kekuatan para penyihir. Segala yang telah mereka kerjakan jadi sia-sia. Maka, mereka dikalahkan di tempat tersebut dan jadilah mereka orang-orang yang hina. Pertarungan akan mengungkapkan jati diri kebenaran dan sihir kepalsuan. Perjalanan waktu akan mengungkapkan selimut kepalsuan, kebobrokan dan kebohongan. Di saat semuanya terungkap, barulah muncul kesadaran pada diri para penyihir. Kesadaran berproses secara alamiah setelah menyaksikan kenyataan kasat mata.
Saat kepalsuan terungkap, para penyihir berbalik menjadi pembela Nabi Musa tanpa meminta imbalan apa pun. Keberanian para penyihir tiba-tiba muncul. Para penyihir rela mengorbankan jiwa dan raganya. Rela dihukum, walaupun hukumannya dipotong tangan dan kaki dengan bersilang, kemudian disalib. Disini lahirlah politik kesukarelaan.
Butuh proses panjang dan berliku dari politik transaksional menuju politik kesukarelaan. Ada momentum pertarungan ide, gagasan dan implementasi operasional. Pelaku kebenaran harus konsisten melakukan dari waktu ke waktu di setiap sektor kehidupan untuk mewujudkannya. Kelak, politik transaksional akan ditinggalkan dan terkubur. Minimal, terus semakin berkurang pendukungnya.
0 komentar: