Model Kampanye Desak Anies, Bisakah Sesukses Mushab bin Umair di Madinah?
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Capres nomor urut 01, Anies Rasyid Baswedan, blusukan ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong, Lamongan, Jatim, Jumat (29/12) pagi. Di tengah-tengah Anies berbicara, salah seorang nelayan teriak ke arahnya “Prabowo, Prabowo!" Terpicu teriakan satu nelayan itu, nelayan lain pun ikut menyahut. “Prabowo, Prabowo!”
Mendengar hal tersebut, "Panjenengan [Anda] bebas nanti mau milih 1 boleh, 2 boleh, 3 boleh, ya," kata Anies. "Tapi satu hal yang pasti, saya datang untuk berdialog dan kita siap untuk mendengarkan supaya kebijakan yang dibuat bukan kebijakan dari awang-awang, tapi kebijakan dari problematika yang ada di lapangan. Betul?" ujar Anies disambut teriakan 'betul'.
Di Mataram, NTB, wisatawan bule bertanya soal gagasan Anies tentang pengembangan parawisata Indonesia selain terfokus di Bali. Di Jakarta, para anak muda langsung bertanya tentang SKB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah, soal komunitas LGBT, soal ganja untuk kebutuhan medis, dan bagaimana Anies menyusun kabinet saat berkuasa nanti. Di Lampung, saat acara Desak Anies, seorang penanya yang berkaos capres lain pun ikut bertanya. Siapapun boleh bertanya di acara Desak Anies.
Konsep kampanye Desak Anies sangat inklusif. Pesertanya tidak eksklusif hanya pendukung dan simpatisan. Semua orang boleh ikut bergabung, bisa dan bebas mengajukan pertanyaan terbuka apapun. Tidak ada yang membatasi apalagi didesain, semuanya natural, autentik bukan lipstik.
Menurut Ahmad Punto, Dewan Redaksi Media Grup, model kampanye seperti ini beresiko tinggi. Kandidat siap dikuliti. Siap didesak, dicecar dengan pertanyaan apa saja. Salah jawab sedikit saja, boleh jadi akan berbalik menjadi serangan dan sasaran tembak oleh lawan politiknya. Bila kandidat tidak memiliki bekal pemikiran dan gagasan yang kuat dengan ragam pertanyaan, publik serta merta bakal mempermalukannya.
Gaya kampanye Desak Anies, merupakan fenomena baru dalam kancah demokrasi di Indonesia. Kampanye yang menggelorakan dialogis yang substansial dan mencerdaskan. Kampanye yang menguji kapasitas, pemikiran, gagasan, visi-misi dan rekam jejak, bukan sekedar orasi, pertanyaan seperti cerdas cermat yang normatif dan joget-joget sambil bagi-bagi fulus. Bagaimana responden publik dengan model kampanye Desak Anies?
Berdasarkan riset Ismail Fahmi pendiri Drone Emprit, setelah debat capres, kepopuleran kampanye Desak Anies di pemberitaan online mulai mengalahkan Gemoy yang merupakan ciri khas Prabowo. Di Twitter atau platform X, Desak Anies pun mengalahkan Gemoy. Namun di Facebook dan Tik Tok, Gemoy masih belum terkalahkan oleh Desak Anies. Di sejumlah daerah, antusiasme peserta sungguh luar biasa, hingga melebihi kapasitas tempat yang ada.
Model kampanye seperti ini mengingatkan pada kisah Mushab bin Umair, saat menjadi duta Rasulullah saw di Madinah. Ketika itu ada tokoh Madinah, mengusirnya dengan berkata, "Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin segera nyawa kalian melayang!"
Mush'ab pun mengeluarkan kalimat halus, "Kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seandainya anda menyukai nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika tidak, kami akan menghentikan apa yang tidak anda sukai itu!" Yang diminta Mushab hanya bersedia mendengar dan bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia bisa membiarkan Mush'ab, dan jika tidak, maka Mush'ab berjanji akan meninggalkannya.
Mushab bin Umair membiarkan pendudukan Madinah bertanya tentang apa saja yang menjadikan uneg-uneg dan yang ingin diketahuinya. Setelah itu membiarkan mereka menimbang dan menilainya. Dakwah model seperti ini menyentuh nurani, akal dan menyedot perhatian yang luar biasa. Sehingga Madinah menjadi tempat yang kondusif bagi dakwah Rasulullah saw. Apakah ini akan berulang pada Anies Baswedan?
0 komentar: