Dalam 9 Tahun, Penyintas Kemiskinan Ekstrem Bisa Mendanai Perang Melawan Romawi
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Kemiskinan ekstrem, salah satu tantangan Indonesia. Dengan tolak ukur kemampuan daya beli yang dikeluarkan Bank Dunia sebesar US$1,9 atau Rp29.461 per hari, maka pada Maret 2023 yang hidup pada kemiskinan ekstrem mencapai 3,1 juta. Namun bila mengacu pada ukuran sebelumnya, US$3 atau Rp46 ribu per hari, maka 40% warga miskin ekstrem di Indonesia membengkak menjadi 40%. Bagaimana menuntaskannya? Padahal penanggulangan kemiskinan sudah dimulai sejak kemerdekaan dan sudah terjadi pergantian kekuasaan yang panjang.
Saat Allah memerintahkan hijrah ke Madinah, kaum Muhajirin meninggalkan kekayaan di Mekah. Kekayaan mereka dirampas. Perbekalannya habis selama perjalanan. Muhajirin tak memiliki apa-apa lagi.
Tiba di Madinah, Rasulullah saw mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar. Dari persaudaraan ini, ada kaum Anshar dengan sukarela memberikan kelebihan hartanya. Ada yang menyerahkan pohon kurma dan lahan pertanian mereka untuk digarap oleh Muhajirin dengan sistem bagi hasil. Bahkan, ada yang memberikan harta mereka tanpa syarat.
Seorang Anshar berkata kepada Rasulullah saw, "Apabila Anda menghendaki, ambillah rumah-rumah kami!" Namun Rasulullah saw menolaknya dengan halus. Rasulullah saw justru membangun rumah untuk para Sahabatnya di tanah-tanah hibah kaum Anshar dan di lahan-lahan yang tak bertuan.
Beberapa orang Anshar berkata kepada beliau, "Bagilah hasil kurma kami dengan mereka (Muhajirin)." Beliau menjawab, "Jangan! Cukuplah kalian membantu mereka dengan mengikutsertakan mereka dalam merawat pohon-pohon itu, lalu membagi dua hasilnya."
Beberapa orang Anshar berkata, "Kami akan membagi rata harta kami dengan mereka." Rasulullah saw menjawab, "Mereka adalah kaum yang tidak mengenal pekerjaan kalian (bertani), jadi berikan mereka tanggung jawab yang lain dan bagi hasil kalian dengan mereka."
Kisah Abdurrahman bin Auf dan Saad bin Rabi. Saad berkata kepada Abdurrahman bin Auf, "Aku adalah orang Anshar terkaya. Aku akan membagikan setengah dari hartaku kepadamu." Namun Abdurrahman bin Auf menjawab, "Aku tidak membutuhkan semua itu. Tunjukkan saja kepadaku di mana aku dapat berdagang." Saad pun menunjukkan kepadanya pasar Bani Qainuqa."
Maka, Abdurrahman bin Auf pun pergi ke pasar dan kembali dengan membawa keuntungan berupa keju dan minyak samin. Kemudian, sejak itu ia terus berdagang di pasar hingga bisa mandiri dan hidupnya tidak lagi tergantung kepada saudaranya.
Pola kerjasama ini terus berlangsung, hingga pada tahun ke-5 Hijriyah, Rasulullah saw mengembalikan semua kebun kurma pemberian kaum Anshar setelah Bani Quraizah ditaklukkan. Pada tahun ke-7 Hijriyah, setelah perang Khaibar, seluruh kaum Muhajirin tidak bergantung lagi kepada kaum Anshar. Pada tahun ke-9 Hijriyah, kaum Muhajirin membiayai perang Tabuk, sebuah pertempuran melawan Romawi di Syam.
0 komentar: