Cawe-Cawe Sang Khalifah Agar Tidak Terjadi Politik Dinasti di Akhir Kekuasaannya
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Dalam setiap momentum ada titik kritisnya, salah satunya di akhir kekuasaannya. Cinta kepada anak dan kerabat bagian ujian kepemimpinan. Kekhawatiran akan masa depan keturunannya merupakan godaan yang terus menghantui para penguasa hingga akhir zaman. Bukankah kualitas seseorang di akhir usianya, husnul khatimahkah? Maka kualitas kepemimpinan diliat dari bagaimana suksesi kekuasaannya.
Khalifah Umar bin Khatab terbaring sakit di pembaringannya. Ada yang harus dituntaskan sebelum wafatnya. Siapakah penggantinya? Agar urusan kaum Muslimin tetap terlayani, aman dan tentram. Tidak boleh satu hari pun tanpa seorang pemimpin. Sebab, akan menimbulkan kekacauan. Umar bin Khatab memanggil putranya, Ibnu Umar, soal suksesi kekuasaan. Apakah akan diserahkan kepada anak atau kerabatnya?
Umar bin Khatab menetapkan kriteria calon pengantinya. Pertama, Assabiquna Awalun, generasi pertama yang memeluk Islam. Kedua, mereka yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah saw. Berarti, putranya tersisih dari kriteria ini. Cawe-cawe sang khalifah dalam suksesi kepemimpinan bukan untuk menggolkan putranya sebagai penggantinya. Justru, menyisihkannya dari kursi kekuasaan.
10 orang yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah saw yang masih hidup saat khalifah Umar bin Khatab masih hidup adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abu Waqqash, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Said bin Zaid. Namun Umar bin Khatab mencoret Said bin Zaid dari nominasi calon penggantinya karena Said bin Zaid masih saudara ipar Umar bin Khatab dan dari kabilah yang sama dengan Umar bin Khatab. Jadi calon khalifah hanya 6 orang.
Khalifah Umar bin Khatab berusaha menjauhkan putra dan kerabatnya dari kekuasaan, padahal dari keluarganya ada yang ahli memegang kekuasaan. Ia menjauhkan putranya, Ibnu Umar dan kerabatnya, Said bin Zaid dari daftar calon khalifah.
Secara khusus, khalifah Umar bin Khatab memanggil putranya yaitu "hanya menghadiri" majelis musyawarah pemilihan khalifah, namun "tidak boleh ikut musyawarah tersebut". Perannya hanya menjadi hakim dari 6 orang peserta musyawarah tersebut, bila terbentuk 2 kelompok dengan suara yang imbang.
Dari 2 kelompok tersebut, Ibnu Umar diperbolehkan menetapkan satu kelompok sebagai calon kuat khalifah. Kelompok yang ditunjukkan tersebut yang memilih siapa yang layak menjadi khalifah. Bila masih deadlock juga, maka pilihlah kelompok yang ada Abdurrahman bin Auf.
Suksesi kepemimpinan harus mulus tanpa gejolak. Sedikit gejolak akan terjadi perebutan, pertikaian, polarisasi dalam masyarakat hingga perebutan kekuasaan yang berdarah-darah. Namun Umar bin Khatab melampaui itu semua dengan mencegah praktik politik dinasti di akhir era kekuasaannya juga.
0 komentar: