Upaya Mengobarkan Perang Jawa Dari Kota Suci Mekah
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
13 Februari 1755 tanah Jawa berduka. Inilah hari ditandatanganinya perjanjian Giyanti yang membagi Kesultanan Mataram menjadi dua yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti sebuah tanda mulai meredupnya kobaran jihad melawan VOC Belanda. Padahal sebelumnya, leluhurnya Sultan Agung pendiri Mataram, memimpin pertempuran yang gigih melawan Belanda hingga mengirimkan pasukan ke Batavia.
Di Mekah, Abdul Shamad al-Palimbani, ulama Nusantara yang menetap di Mekah terus memantau perkembangan Nusantara dari temannya sesama ulama yang hidup di Nusantara seperti Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdurrahman al-Batawi dan dari jamaah haji Nusantara. Kondisi Jawa dengan perjanjian Giyanti membuatnya prihatin. Apa yang dilakukannya?
Syeikh Abdul Shamad al-Palimbani belajar dari pendahulunya, Syeikh Yusuf Al Makassari yang terus menggelorakan jihad dari negri pengasingan Srilanka, yang ditangkap Belanda di era Kesultanan Banten karena berjuang bersama Sultan Ageng Tritayasa. Dari Srilanka, Syeikh Yusuf Al Makassar mengirimkan risalah perjuangan melalui murid-muridnya dan jamaah haji yang berisirahat di Srilanka ke seluruh kaum Muslimin di Nusantara untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Langkah ini diikuti oleh Syeikh Palimbani.
Yang dilakukan oleh Syeikh Palimbani untuk menggelorakan jihad melawan penjajahan di Nusantara dengan menulis kitab Fadhail Al-Jihad. Sedangkan yang khusus untuk mengobarkan jihad di tanah Jawa dengan mengirimkan surat khusus untuk para pangeran Mataram, panji-panji yang berbunyi "Al-Rahman Al-Rahim, Muhammad Rasul Allah Abd Allah" dan sejumlah kecil air Zamzam.
Menurut Prof Dr Azyumardi Azra, surat Syeikh Palimbani berisi desakan kepada penguasa dan pangeran Jawa untuk melakukan perang suci melawan orang kafir. Menurut Ricklefs, surat-surat Syeikh Palimbani merupakan bukti pertama adanya usaha dari Dunia Islam Internasional untuk mengobarkan perang suci di Jawa pada paruh kedua abad ke-18.
Tiga surat Syeikh Palimbani akhirnya dapat disita oleh Belanda. Surat pertama dan kedua ditujukan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono 1. Surat ketiga ditujukan kepada Pangeran Mangkunegara. Surat-surat ini, menurut Ricklefs, diyakini menguatkan kembali perlawanan kuat pribumi terhadap Belanda.
Surat-surat Syeikh Palimbani yang disita langsung dihancurkan atas perintah Belanda sebelum diterima oleh Sultan Hamengkubuwono 1 dan Pangeran Mangkunegara. Namun isi pesannya tetap tersampaikan kepada mereka melalui lisan pembawa surat yang merupakan ulama utusan Syeikh Palimbani. Perang Jawa memang tidak terjadi saat itu juga, namun bara apinya tetap hidup hingga kehadiran Pangeran Diponegoro yang merupakan anak dari Sri Sultan Hamengkubuwono III.
Sumber:
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad 17-18, Kencana
Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, GIP
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Giyanti
https://www.republika.id/posts/43403/biografi-syekh-abdus-samad-al-palimbani
0 komentar: