Bersama Gunung Halimun
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Dahulu beberapa kali berkemah dan naik gunung Halimun. Naik dari Bogor, turun di Pelabuhan Ratu Sukabumi. Gunung Halimun membelah kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak. Setiap mendaki gunung Halimun ada perasaan berdebar, banyak cerita yang tidak logis dipenuhi halusinasi.
Wabah Covid-19 membawa saya ke kaki Gunung Halimun. Berinteraksi dengan warga, tanah, air dan hiruk pikuknya. Takdir masa depan memang tak ada yang bisa menduga. Sekarang, saya bagian dari Gunung Halimun. Setiap akhir pekan menikmati keindahan, kesegaran, kesejukan, keteduhan dan segala hiruk-pikuknya.
Mengolah tanah di kaki gunung Halimun merupakan sebuah anugerah Allah. Berinteraksi dengan para petaninya merupakan pengalaman berharga. Banyak filosofi, hikmah dan mindset dari berinteraksi dengan gunung Halimun. Halimun berdiri kokoh dengan ketenangannya, dalam diamnya mengajarkan yang tak pernah diajarkan oleh manusia.
Saat kecil, bila memandang ke arah Gunung Salak, hanya bertanya, apa yang ada di baliknya? Dibalik tiga gundukan yang berbentuk salak terus menjadi rahasia, hingga Covid-19 menyibak tabirnya. Sebuah pertanyaan, terjawab setelah puluhan tahun. Pertanyaan tak harus dijawab saat itu juga. Bisa jadi menunggu kesiapan bagi yang bertanya.
Akhirnya mendapatkan jati diri dan identitas dari Gunung Halimun. Dia telah menjawab tabir masa depan. Obsesi bersamaannya ada keyakinan dan optimisme tentang perbekalan hidup menghadapi kematian. Karya dan sumbangsih apa di kehidupan ini, terjawab dengan jelas.
Khayalan dan angan-angan selainnya telah ditinggalkan. Membersamai hiruk pikuk dan ketentraman dengannya. Mengolah yang dikeluarkan dari tanah dan airnya. Membangun infrastruktur dan membina kader masa depan bersama suasananya.
Dari keheningan akan kembali kepada keheningan. Dari kesendirian akan kembali kepada kesendirian. Saatnya mentafakuri dan mentadaburi keteguhan dan kekokohan gunung Halimun. Bukankah Allah banyak memerintahkan agar memikirkan penciptaan gunung?
0 komentar: