Bahasa Melayu, Bahasa Dakwah Islam di Nusantara Hingga Menjadi Bahasa Indonesia
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Di masa kebangkitan nasional, nama bahasa melayu diubah menjadi bahasa Indonesia. Jauh sebelum Sumpah Pemuda 1928, bahasa ini sudah digunakan sebagai bahasa perjuangan oleh organisasi sosial, pendidikan, jurnalistik dan politik Islam. Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara di bukunya Api sejarah, sejak 1905, Syarikat Dagang Islam, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU) Jong Islamieten Bond hingga Tarbiyah Islamiah, sudah menggunakannya sebagai bahasa komunikasi di organisasinya.
Jauh sebelum itu, bahasa melayu pun sudah digunakan oleh para saudagar muslim di pasar. Para santri di pesantren menggunakannya sebagai bahasa ilmu. Para Sultan menggunakannya sebagai bahasa diplomatik. Umumnya, bahasa Melayu dituliskan dalam huruf Arab Melayu atau Tulisan Jawi. Inilah salah satu yang mendorong integritas nasional dalam menghadapi penjajahan Belanda . Bagaimana bahasa Melayu sehingga mengakar di Nusantara?
Arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam bukunya Arkeologi Islam Nusantara, berdasarkan tulisan prasasti abad ke-7 M pada era Sriwijaya, menggunakan bahasa Melayu dengan tulisan Sanskerta. Di saat bersamaan, Islam masuk ke Nusantara disertai penyebaran bahasa Arab dengan tulisannya juga. Prasasti bertuliskan Arab mulai ditemukan pada abad ke 11 hingga 15. Contohnya nisan kubur Fatimah binti Maimun 1082 M di Leran Gresik.
Masuknya Islam ke Nusantara mempercepat pertumbuhan bahas Melayu. Jalur perdagangan internasional yang diominasi pedagang Arab, tumbuhnya pemukiman Arab di pesisir yang dibarengi dengan asimilasi dengan penduduk lokal dan masuknya raja-raja ke agama Islam membuat bahasa Melayu yang sebelumnya ditulis dengan Sanskerta tumbuh menjadi tulisan Arab yang dikenal dengan Tulisan Jawi.
Pada abad-14, Kerajaan Pasai sudah menggunakan bahasa Melayu dengan tulisan Arab. Pasai berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan sehingga banyak pemuda dari seluruh pelosok Nusantara belajar di Pasai. Salah satunya adalah Sunan Giri. Yang kelak menjadi pimpinan Wali Songo, mendirikan pesantren, yang pengaruhnya hingga ke Indonesia Timur hingga kepulauan Maluku. Bahkan raja-rajanya baru merasa sah dianggap raja bila sudah diakui oleh Sunan Giri.
Ulama di kerajaan Aceh Darussalam, dari Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Syeikh Abdul Rauf Singkili, menulis kitabnya dengan bahas Melayu dengan tulisan Arab. Syeikh Abdul Shamad Palimbani, ulama Nusantara di yang hidup di Mekah, di era Mataram, menuliskan kitabnya dengan bahasa Melayu dengan tulisan Arab. Kitab-kitab ini menjadi rujukan para santri di pesantren untuk belajar dan pejabat kerajaan dalam mengelola ketatanegaraan.
Uka Tjandrasasmita juga menuturkan bahwa karya sastra, perundangan, kitab-kitab bahasa melayu bertuliskan Arab merata ada di seluruh kerajaan Islam di Nusantara. Hingga surat perjanjian antara kerajaan Riau, Palembang, Bima, Makassar, Ternate, Banten, Cirebon dan Jogyakarta dengan Belanda pun ditulis dengan bahasa Melayu dengan tulisan Arab. Bahasa Melayu tumbuh pesat bersamaan dengan pesatnya pertumbuhan Islam di Nusantara.
Sumber:
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Penerbit Surya Dinasti
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, KPG
Rachmad Abdullah, Walisingo, Al Wafi Publishing
0 komentar: