Reenginering Ilmu
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Bergelar pendidikan tinggi. Menyabet seluruh jenjang pendidikan hingga lintas bidang keilmuan. Membaca tumpukan buku. Tetap saja takkan bisa terhindar dari kebodohan. Sebab, kebanyakan tujuan sekolah, belajar, dan membaca hanya mengumpulkan ilmu yang sudah ada. Jadi pengumpul ilmu semata. Seperti burung beo yang bisa menirukan ragam ucapan manusia. Kata Buya Hamka, jangan menjadi "pak turut" saja.
Sekolah ke luar negri hingga jenjang tertinggi. Mendapatkan beasiswa di universitas ternama di dalam maupun di luar negri. Hasilnya hanya menjadi budak-budak peradaban bukan menciptakan peradaban. Bukan ilmu yang dibawa tetapi hanya kumpulan database informasi hasil pencucian otak. Bergelar tinggi namun sebenarnya budak pemikiran.
Pendidikan tingginya berakhir pada perebutan pekerjaan. Tujuan ilmu hanya posisi jabatan. Berhenti hanya untuk menghimpun kekayaan dan kekuasaan. Untuk itukah ilmu? Untuk itukah belajar? Untuk itukah lembaga pendidikan dibangun? Mau memberikan ilmu bila dibayar. Mau mencurahkan seluruh ilmunya bila dibalas dengan sesuatu. Ilmu menjadi sebuah komoditas.
Kebanyakan penuntut ilmu hanya menjadi konsumen ilmu dan kolektor ilmu. Tak tahu bagaimana sesuatu menjadi ilmu? Tak paham kaidah dan prinsip sesuatu menjadi ilmu. Tak mau tahu bagaimana meramu sesuatu menjadi ilmu. Itulah penyebab mengapa lembaga pendidikan menjamurnya namun ilmunya hasil import dari peradaban lain. Itulah penyebab mengapa menjamur lembaga pendidikan dan bergelar tinggi tak bisa melampaui peradaban lain?
Segala hal bisa menjadi ilmu dan teknologi. Semua peristiwa bisa dijadikan dasar pengembangan ilmu dan teknolog. Semu kenyataan yang dialami manusia bisa menjadi awal jejak perumusan ilmu.
Apel yang jatuh bisa jadi ilmu. Air yang keluar dari penampungan bisa jadi ilmu. Kayu yang terapung dan batu yang tenggelam bisa jadi ilmu dan teknologi. Sarang laba-laba di rumput, yang banyak menempel air dan embun bisa dijadikan ilmu dan teknologi. Ilmu dan teknologi itu mudah dan murah.
Perbedaan logat lidah satu masyarakat dengan yang lainnya membuahkan kodifikasi Al-Qur'an menjadi mushaf. Bagaimana bangsa non Arab bisa membaca Al-Qur'an seperti bangsa Arab? Melahirkan banyak ilmu yang berkaitan dengan nahu sharaf. Perpindahan Imam Syafii dari Baghdad ke Mesir membuatnya harus mengeluarkan fatwa baru sesuai realitas yang ada. Setiap saat kita menghadapi kenyataan baru dengan solusi baru, mengapa ilmunya harus import dari peradaban lain?
0 komentar: