Berdakwah dengan Makanan
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Syeikh Abdul Qadir Jailani menjelaskan bahwa amalan terbaik adalah memberi makan. "Andai memiliki 1.000 dinar (sekitar 3 milyar) maka akan dihabiskan saat itu pula selama mengisi majlis ilmu." Membangun manusia dimulai dari memberinya makan.
Andai kebaikan itu ada sepuluh, maka 9 kebaikannya ada di rezeki yang halal, sedangkan kebaikan yang lainnya terhimpun dalam 1 tempat. Rezeki yang halal membentuk raga, darah dan hati yang menjadi dasar munculnya ragam amal kebaikan lainnya. Menjadi Wali Allah dimulai dari rezeki yang halal bukan dzikir dan ibadah ritual yang banyak.
Banyak ulama yang tidak bisa bangun malam disebabkan susu yang diminumnya berasal dari rumput yang diambil oleh budaknya dari tanah orang lain tanpa ijin terlebih dahulu. Lalu ulama memerintahkan budaknya untuk meminta ridhanya. Seorang ulama besar lahir dari seorang bapak yang saat memakan buah yang ada di jalanan umum dari pohon sebuah kebun, lalu meminta ridha dari pemilik kebun tersebut.
Nizham Al Mulk, seorang wazir juga ulama di era khalifah Alp Arslan bani Saljuk, yang membangun Universitas Nizamiyah yang melahirkan Imam Al-Ghazali dan Syeikh Abdul Qadir Jailani, memiliki kebiasaan setiap hari bersedekah sebanyak 100 dinar (300 juta). Kedermawanan pejabat negara membangun rakyatnya.
Dakwah para Wali Sanga di Nusantara dipenuhi dengan tradisi berbagi makanan dalam beragam kegiatan dan acara, kadang disebut nasi berkat atau sedekah. Berbagi makannya tidak saja untuk manusia tetapi juga untuk tumbuhan dan hewan.
Allah mengkabarkan janji surga melalui lisan Rasulullah saw tentang seorang hamba yang memberikan makan pada tamunya. Rasulullah saw memerintahkan berbagi makanan kepada para tetangganya walaupun dengan kuah saja.
Dakwah bil hikmah dimulai dengan menuntaskan kebutuhan dasar manusia yaitu persoalan perut, makanan dan minuman, bukan dari nasihat, ucapan hikmah dan dalil, apalagi pengecaman. Penuhi perutnya maka akan bisa memasuki jiwanya.
0 komentar: