RA Kartini: Gelar Tertinggi itu Menjadi Hamba Allah
Perjumpaan dengan Kyai Sholeh Darat
Ada seorang tokoh yang tidak disebutkan secara langsung dalam literatur awal sejarah kehidupan RA. Kartini. Tokoh besar ini adalah Kyai Sholeh Darat.
Hubungan murid-guru RA Kartini dengan Kyai Sholeh Darat terungkap dari catatan pribadi Kyai Sholeh Darat yang disimpan oleh KH. Ma’shum Demak. Selanjutnya sejarawan dan keturunan Kyai Sholeh Darat juga mengkonfirmasikan hal ini.
Dalam beberapa buku disebutkan bahwa Kartini, selain belajar di sekolah Belanda juga pernah belajar agama dari Kyai Sholeh Darat.
Beliau adalah seorang alim yang disegani, nama lengkapnya Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani al-Jawi as-Syafi’i atau lebih dikenal dengan panggilan Kyai Sholeh Darat atau Mbah Sholeh Darat.
Beliau dilahirkan pada tahun 1820 di desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Ayahnya adalah Kyai Umar yang merupakan salah seorang pejuang dan tangan kanan Pangeran Diponegoro di wilayah pesisir utara pulau Jawa.
Kyai Sholeh Darat mendalami ilmu-ilmu keislaman diawali dengan belajar kitab-kitab fiqih kepada KH. M. Syahid di Pesantren Waturoyo, Margoyoso, Kajen, Pati.
Dalam bidang tafsir, Kyai Sholeh Darat mempelajari kitab Tafsir Jalalayn karya Imam Suyuti di bawah bimbingan Kyai Raden Haji Muhammad Sholeh bin Asnawi (Sepuh) di Pondok Damaran Kudus.
Setelah menikah, Kyai Sholeh Darat merantau ke Mekah untuk menuntut ilmu-ilmu agama dan berguru kepada ulama-ulama besar, seperti Syekh Muhammad al-Muqri, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dan lain-lain. Saat Kyai Sholeh Darat berada di Mekah, beliau juga mengajar disana.
Tercatat dalam sejarah beberapa murid dari Kyai Sholeh Darat yang masyhur, antara lain KH. Hasyim Asy’ari (muassis Nahdlatul Ulama), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH. Bisri Syamsuri (Jombang) dan lain-lain.
Sekembalinya dari Mekah beliau mendirikan pesantren di daerah Darat, Semarang. Kyai Sholeh Darat kerap kali memberikan pengajian khususnya tafsir al-Qur’an di beberapa pendopo Kabupaten sepanjang pesisir Jawa.
Sampai suatu ketika RA Kartini berkunjung ke rumah pamannya, Bupati Demak Ario Hadiningrat. Saat itu sedang berlangsung pengajian bulanan, khusus untuk anggota keluarga Bupati. Pertemuan Kartini dengan Kyai Sholeh Darat bukan hanya dalam satu kali pengajian saja.
Menurut beberapa penulis sejarah, ternyata Kartini selalu hadir dalam pengajian-pengajian Kyai Sholeh Darat saat mengisi pengajian di Demak, Kudus dan Jepara.
Suatu saat dalam pengajian itu, Kyai Sholeh Darat menyampaikan materinya tentang makna yang terkandung di dalam surat al-Fatihah. Saat itulah, ketika mendengar ceramah Kyai Sholeh Darat, Kartini merasakan ketentraman yang belum ia rasakan sebelumnya.
Karena tertarik pada materi pengajian tentang tafsir al-Fatihah, setelah selesai Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemani untuk menemui Kyai Sholeh Darat.
Ia mengatakan: “Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surah pertama (al-Fatihah), dan induk al-Qur’an yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku”.
Al-Qur’an yang selama ini dibacanya hanya sebagai sebuah lantunan tanpa makna, sedangkan dalam pertemuannya dengan Kyai Sholeh Darat ia mampu menyerap makna yang terkandung di dalamnya dalam bahasa yang ia mengerti.
Bila dilihat dari surat-surat yang ia kirimkan kepada sahabat-sahabat penanya, dapat dikatakan bahwa pemahaman dan penghayatan keagamaan Kartini semakin intens dari waktu ke waktu.
Kartini pada zamannya adalah pemeluk Islam yang masih sangat sederhana. Tidak seperti saudara-saudara laki-lakinya yang memperoleh pendidikan pesantren, ia sama sekali tidak mendapatkan pelajaran agama secara ilmiah.
Dalam surat-suratnya tampak dengan jelas bahwa jiwa Kartini sedang bergolak dalam memahami kebenaran agama.
Perubahan besar terjadi setelah dia sering mengaji kepada Kyai Sholeh Darat dalam banyak kesempatan. Artinya ada keberkahan ia dapatkan disebabkan karena kecintaannya kepada ulama besar ini.
Bahkan Kartini pernah memohon kepada Kyai Sholeh Darat agar beliau menuliskan tafsir al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Permintaannya pun dikabulkan oleh Kyai Sholeh Darat.
Setelah peristiwa pertemuannya dengan RA Kartini, Kyai Sholeh Darat tergerak menulis kitab tafsir Faidhur Rahman Fi Tarjuman Tafsir Kalam Malik ad-Dayan dalam bahasa Jawa dan aksara pegon.
Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh Darat adalah al-Fatihah sampai Surat Ibrahim. RA. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Namun sayangnya Kitab Faidhur Rahman ini tidak selesai karena Kyai Sholeh Darat sudah keburu wafat.
Kyai Sholeh Darat menyatakan dalam pembukaan kitab tafsirnya bahwa permintaan untuk menerbitkan bagian dari seluruh tafsir ini merupakan permintaan dari sebagian teman-temannya.
Bukan hanya itu, Kyai Sholeh Darat menuliskan bahwa mereka yang memintanya adalah ikhwan kito fid diin (teman kita yang seagama). Ini menegaskan bahwa permintaan itu bukan dari Belanda yang beda agama.
Alasan kuat beliau mempercepat penerbitan tafsir itu adalah karena umat sudah sangat membutuhkan. Sedangkan sebagian besar orang Jawa tidak bisa berbahasa Arab.
Ungkapan ini senada dengan ungkapan Kartini dalam surat pada Stella Zeehandelaar, sahabat Kartini asal Belanda, pada tanggal 6 November 1899:
“Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Disini, orang belajar Al-Qur’an tetapi tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca, itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.”
Hal ini mengindikasikan bahwa salah satu faktor yang mendorong Kyai Sholeh Darat untuk menerbitkan kitab tafsir berbahasa Jawa ini adalah permintaan dari RA. Kartini.
Kitab ini kemudian dihadiahkan kepada RA. Kartini saat ia menikah dengan Bupati Rembang RMAA. Djojo Adiningrat pada 12 November 1903. Kitab Tafsir ini kemudian banyak mempengaruhi Kartini, terutama dalam tafsir surat al-Baqarah yang ia baca. Dari sini tercetuslah kata Door Duisternis Tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya).
Ungkapan itu sebenarnya dari petikan firman Allah SWT dalam Surat al-Baqarah ayat 257, yaitu minazh zhulumaati Ilan nuur. Ù…ِّÙ†َ الظُّÙ„ُÙ…َاتِ Ø¥ِÙ„َÙ‰ النُّورِ
Kalimat Door Duisternis Tot Licht, itu sebenarnya berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”, jadi bukan “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Walau terlanjur diterjemahkan secara tidak akurat seperti itu, tidaklah menghilangkan pemikiran RA. Kartini yang menginginkan perubahan dari kegelapan menuju cahaya terang.
Pemikiran dan penghayatan keagamaan Kartini
Ilustrasi mengenai perjalanan pemikiran keagamaan Kartini dapat dilihat dari perubahan-perubahan pandangannya tentang agama Islam yang ia tulis dalam surat kepada sahabat-sahabat penanya.
Kegalauannya ini tercermin pada pandangan-pandangan kritis Kartini yang mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami.
Perlu diketahui pada zaman itu Belanda melarang penerjemahan al-Qur’an dalam bahasa-bahasa apapun di Nusantara/ Hindia Belanda.
Ia juga pernah mengungkapkan pandangan bahwa dunia akan menjadi lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti.
“Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyak dosa diperbuat atas nama agama itu..”.
Meskipun dalam surat-suratnya Kartini sering mengkritisi ajaran Islam, tapi dengan penuh kesabaran ia terus mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan kemampuannya, seperti berpuasa, ziarah kubur bahkan kerelaannya dimadu.
Pada awalnya poligami bagi Kartini adalah musuh besarnya. Namun seiring bertambah pengetahuan Kartini terhadap agama Islam, akhirnya ia dapat menerima poligami, tentunya setelah memahami juga bagaimana konteks dan syarat-syarat poligami dalam Islam.
Perkembangan spiritualitas RA. Kartini terjadi setelah ia banyak bertemu dengan Kyai Sholeh Darat dan membaca kitab yang dihadiahkan kepadanya, kegalauannya itu semakin berkurang dan keyakinannya semakin menguat. Dari surat yang ia tulis kepada Ny. Van Kol pada 21 Juli 1902 Kartini mengatakan:
“Tuhan sajalah yang tahu keajaiban dunia. TanganNya mengemudikan alam semesta. Ada seseorang yang melindungi kami, ada seseorang yang selalu dekat dengan kami. Dan seseorang itu akan menjadi pelindung kami, tempat kami berlindung dengan aman di kehidupan kami selanjutnya”.
Di bagian lain Kartini mengatakan:
“Tiada Tuhan selain Allah! Kata kami umat Islam, dan bersama-sama kami semua beriman, kaum monoteis: Allah itu Tuhan, Pencipta alam semesta”.
Dalam surat ke Ny. Abendanon, pada tanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis kalimat bermakna batin yang dalam:
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.”
0 komentar: