Raden Saleh dan Pangeran Diponegoro
Oleh: Mochamad Fauzie
RADEN Saleh Syarief Bustaman tidak syak lagi adalah pelukis dari Hindia Belanda yang ternama sejak jamannya (abad ke-19) sampai kini, di Eropa dan lebih-lebih di tanah airnya. Kemasyhuran Saleh telah menempatkannya sebagai duta seni lukis yang pertama bagi bangsanya. Ia merepresentasi keberhasilan bumiputera Indonesia, bahkan Nusantara, dalam menguasai alat, media, teknik dan gaya melukis Barat yang berkembang pada masa itu.
Oleh karena kegemilangan prestasinya tersebut, sebagian orang belakangan ini mewacanakan Saleh untuk dinobatkan sebagai pahlawan Indonesia dalam bidang kebudayaan. Tetapi sebagian orang lagi tampaknya tidak mudah menerima gagasan tersebut dengan mengingat kedekatan – bahkan kemanjaan – Saleh terhadap pemerintah kolonial yang mengasuhnya dan rekam jejak Saleh yang kurang menunjukkan perlawanan terhadap penjajahan.
Terdapat sejumlah karya ilmiah, makalah dan buku yang sudah ditulis orang tentang Raden Saleh dan karya-karyanya. Di antara yang terbaru adalah disertasi I Ketut Winaya yang memaknai beberapa lukisan Saleh sebagai ekspresi anti-kolonial. Tulisan super singkat berikut ini mencoba ikut meramaikan dengan memberi kilas-balik tentang Raden Saleh pada sisi-sisi yang mungkin terlewat dari perhatian. Tujuannya bukan untuk pagi-pagi memihak pada salah satu kubu di atas, tetapi untuk mendorong penilaian yang lebih adil terhadap sikap Raden Saleh dengan meletakkannya pada konteks atau situasi jamannya.
Raden Saleh (1807-1880) diberangkatkan ke Eropa pada 1829 (saat berusia 22 tahun) untuk belajar melukis, nyaris bersamaan dengan Pangeran Diponegoro ditangkap. Pemberangkatan Saleh ini bernuansa politik, yakni untuk menjauhkan Saleh dari pengaruh pamannya, Sosrohadimenggolo (buku lain menulis Surohadimenggolo), yang terindikasi simpati pada Diponegoro.
Saleh berada di Eropa selama 20 tahun, mulanya di Belanda, lalu ke beberapa negeri di Eropa, meliputi: Jerman, Austria dan Perancis, berinteraksi dengan banyak cendekiawan dan seniman ternama masa itu, disamping produktif melukis dan memamerkan lukisan.
Saleh berada kembali di tanah air pada 1852 sampai wafatnya, yang menjadi kurun yang paling produktif dalam menghasilkan lukisan. Sebagian besar lukisannya tersebar di Eropa, menjadi barang koleksi museum dan pribadi-pribadi yang tidak mudah dilacak lagi. Lalu sebagian kecil saja berada di tanah air, menjadi koleksi beberapa museum dan keraton.
Adalah fakta bahwa Raden Saleh selama hidupnya berada dalam kedekatan yang sangat dengan pemerintah Belanda. Tetapi patut diingat, bahwa pada jaman itu, Belanda berada dalam puncak kekuatan dan penguasaan atas Jawa, menyusul keberhasilannya menghentikan perlawanan besar terakhir di Jawa yang dipimpin Diponegoro. Dengan kalimat lain, perlawanan fisik terhadap kolonial sedang dalam masa anti klimaks setelah berakhirnya Perang Diponegoro. Maka, sulit berharap seorang Saleh yang dibina sejak usia belia akan melakukan perlawanan terbuka, bahkan, untuk sekadar hijrah (berlepas-diri) dari pemerintah kolonial.
Kendatipun demikian, dari sebagian surat dan catatan terserak tentang riwayat Saleh terungkap, bahwa Saleh tidak sepenuhnya nyaman dengan ketergantungannya pada pemerintah kolonial dan tidak selalu bersikap manis. Dari surat-suratnya terkuak, bahwa ia kerap mengalami pergulatan batin yang menunjukkan gejala melakukan perlawanan atau pembangkangan – meski sedemikian jauh tetap berada dalam stadium psikis (intelektual), pun dengan cara sembunyi-sembunyi atau simbolik.
Gejala demikian tampak terutama saat Saleh memasuki usia matang, yakni setelah beberapa tahun di Eropa dan berlanjut sepulangnya ke tanah air. Ketika di Jerman, ia akrab dgn para aristokrat dan cendekiawan setempat dan merasa menemukan teman-teman sejati di mana ia dapat bicara (merumpi) secara lebih terbuka. Acapkali ia keceplosan menyatakan simpatinya pada Jerman (masa itu) yang anti penjajahan dan mengaku, bahwa dirinya berasal dari keluarga yang anti penjajahan.
Selama di Eropa, Saleh kedapatan terus mengikuti perkembangan di tanah air pasca penangkapan Diponegoro melalui media massa yang beredar di Barat. Ia bahkan terobsesi untuk melukis Diponegoro. Obsesinya berhasil diwujudkan 5 tahun setelah berada kembali di tanah air, maka lahirlah salah satu lukisannya yang terkemuka: “Penangkapan Diponegoro” (1857). Oleh para ahli, lukisan ini dikenali memuat 2 (bahkan ada yang menyatakan lebih dari 2) sosok Saleh dalam berbagai usia, di antara prajurit Diponegoro. Keputusan memasukkan potret diri ke dalam lukisan ini patut diduga sengaja dilakukan untuk secara simbolik menunjukkan keberpihakan pada Diponegoro. Sikap in-groupnya dengan Diponegoro juga terindikasi dari keputusannya menikahi perempuan kerabat dekat Diponegoro setelah bercerai dari istri pertamanya yang berkebangsaan Barat.
Di pihak lain, pemerintah Belanda pun cenderung mengembangkan sikap curiga, bahkan sampai memata-matai Saleh sejak pelukis ini menjadi ‘makhluk pribumi pintar sendiri’ sepulang dari Eropa. Ketika di Bekasi terjadi pemberontakan kecil pada 1869, Saleh bahkan ditangkap, diinterograsi dan dikenai tahanan rumah. Meskipun tidak terbukti terlibat, toh sejak itu peran Saleh dalam pemerintahan terus dikurangi.
Saleh meninggal 1880. Dua tahun sepeninggalnya, lahirlah HOS Tjokroaminoto (1882-1934), yang 25 tahun kemudian baru mulai berkiprah untuk mempelopori pendirian organisasi pergerakan kebangsaan pertama yg dgn terbuka mencita-citakan Indonesia Raya (merdeka). Ingat juga, bahwa Tjokroaminoto kelak menelorkan Soekarno. Pada kurun yang paralel dengan HOS Tjokroaminoto, di Yogya muncul Ahmad Dahlan yang menjadi sumber kemunculan Fachruddin dan kelak disusul Sudirman. Jadi, dalam kontinum perjuangan bangsa, masa Raden Saleh adalah titik kontinum yang prematur untuk diharapkan melakukan perlawanan terbuka, bahkan justru titik balik, mengingat penangkapan Diponegoro masih segar. Diperlukan waktu berpuluh-puluh tahun kemudian untuk munculnya perlawanan baru di Pulau Jawa khususnya, dan di Nusantara pada umumnya.
Sedikit catatan menarik patut saya susulkan – sebagaimana yang telah saya sampaikan kepada RRI Pro-3 pada Juni 2012 yang lampau dalam wawancara dengan saya perihal Raden Saleh – bahwa pada masa Raden Saleh di Eropa, aliran romantik (Romantisisme) dalam seni lukis sedang mencapai puncak kejayaan. Dalam pada ini, lukisan nude sangat biasa dibikin orang, tidak terkecuali oleh ikon dan bintang seni lukis romantik: Delacroix. Tetapi sejauh yang berhasil diketahui, dari begitu banyak lukisan Saleh, tidak satupun yang menggambarkan perempuan telanjang atau sekadar mendekati telanjang. Hal menarik lain, di Jerman, Saleh sempat membikin sebuah musholla dengan arsitektur dan ornamen geometris khas Islam. Musholla ini konon masih terpelihara baik sampai kini. Fakta-fakta ini agaknya menandakan terpeliharanya akhlak Raden Saleh sebagai seorang Muslim.
Dalam belantara kehidupan Eropa yang sudah permisif masa itu, menghindari tema nude tentu tidak mudah. Orang dapat saja mengatakan Saleh memiliki perilaku tidak simpatik dalam kesehariannya. Tetapi dalam soal karya, Saleh terbukti sangat menjaga diri. Agaknya ini menjadi sisi ‘terang’ yang perlu terus diungkap dan ditafsirkan, di tengah data-data tentang Raden Saleh yang sebagian besar bersumber dari literatur/dokumen Barat yang acapkali memberi citra ‘kelam’ pada pribadi Raden Saleh. Integritas akhlak Saleh sebagai muslim menjadi penting mengingat Islam cenderung menjadi sumber kebencian kolonialis itu sendiri, sebab Islamlah yang tiada lain menjadi sumber spirit perlawanan terhadap kolonialisme dari jaman ke jaman.
Uraian di atas mudah-mudahan ikut membantu memberi apresiasi secara lebih adil/proporsional mengenai sikap Raden Saleh Syarief Bustaman terhadap pemerintah kolonial. Mungkin sikapnya lebih pas dianggap ambigu daripada sepenuhnya tidak melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial, mengingat setting jamannya memang belum kondusif untuk mengembangkan perlawanan yang lebih nyata.*/Bogor, Shafar 1435/ Desember 2013.
Penulis adalah peneliti Raden Saleh dan Karyanya
Rep: -
Editor: Cholis Akbar
0 komentar: