Asia Tengah: Pusat Peradaban Islam yang Terlupakan
Jika membicarakan tentang hal-ihwal yang berkaitan dengan peradaban dan kebudayaan Islam, jari telunjuk orang biasanya langsung diarahkan ke Timur Tengah, khususnya kawasan Arab. Bukan hanya orang-orang Indonesia saja, tetapi juga orang-orang di negara-negara Barat, dan di mana pun. Bukan hanya Muslim saja, tetapi juga umat non-Muslim. Bukan hanya masyarakat awam saja, tetapi juga kaum cerdik-pandai. Mereka memiliki anggapan, persepsi dan imajinasi serupa: Arab Timur Tengah-lah pusat peradaban dan kebudayaan Islam.
Karena menganggap Arab Timur Tengah sebagai “pusat Islam”, maka banyak energi, tulisan, dan dana yang dihabiskan untuk meneliti kawasan ini. Hampir atau nyaris tidak ada yang mengatakan bahwa kawasan Asia Tengah juga merupakan pusat peradaban dan kebudayaan Islam yang gemilang. Padahal, seperti dikatakan oleh S. Frederick Starr, penulis buku Lost Enlightenment: Central Asia’s Golden Age from the Arab Conquest to Tamerlane, “For many centuries, Central Asia–not the Arab Middle East–was the intellectual and political center of the Muslim world.” Tetapi kenapa Asia Tengah luput dari perhatian?
Bahwa Islam dan Nabi Muhammad lahir di Tanah Arab memang betul. Bahwa Timur Tengah pernah menjadi pusat politik-pemerintahan dan peradaban Islam memang benar. Bahwa di Timur Tengah, terdapat kota-kota yang menjadi sumber inspirasi intelektualisme Islam memang valid. Di kawasan ini ada Mekkah, Madinah, Baghdad, Kufah, Damaskus, Kairo, Yerusalem, dan lainnya. Bahwa banyak karya akademik di Abad Pertengahan Islam (hingga dewasa ini) yang ditulis dengan menggunakan Bahasa Arab memang tidak salah.
Tetapi, harap diingat, meskipun Nabi Muhammad dan Islam lahir di Tanah Arab, Arab Timur Tengah juga pernah menjadi pusat politik-pemerintahan Islam yang spektakuler dari berbagai rezim, dan karya-karya ilmiah yang agung oleh para sarjana Muslim juga ditulis dalam Bahasa Arab, tetapi ruh, energi, dan spirit kemajuan intelektualisme, peradaban, dan kebudayaan Islam di Abad Pertengahan itu banyak digerakkan oleh kaum non-Arab, dan Asia Tengah menjadi salah satu kawasan penyumbang peradaban Islam yang gemilang itu, selain Iran, Turki, Asia Selatan, Mongol, Afrika Barat dan Utara, dan lainnya, termasuk Asia Tenggara tentunya.
Pada Abad Pertengahan Islam, pusat-pusat peradaban dan intelektualisme Islam bukan hanya di Mekkah, Madinah, Baghdad, Kufah, Damaskus, atau Kairo, melainkan juga Samarkand, Bukhara dan Urgench di Asia Tengah yang menjelma menjadi pusat-pusat studi, seni dan kebudayaan Islam yang adiluhung.
Geo-Kultural dan Geo-Politik Asia Tengah
Kawasan Asia Tengah yang membentang dari Laut Kaspia di barat sampai China di timur serta dari Afghanistan di selatan hingga Rusia di utara, dewasa ini menjadi rumah bagi lima negara: Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Uzbekistan dan Turkmenistan. Afganistan kadang-kadang dianggap masuk wilayah Asia Tengah, meskipun secara geografi lebih ke Asia Selatan.
Total penduduk di kawasan Asia Tengah (tidak termasuk Afghanistan) sekitar 70 juta jiwa dari berbagai kelompok etnik seperti Kazakh, Uzbek, Tatar, Turki, Uyghur, Kyrgyz, Tajik, Persi, Pasthun, dlsb. Selama berabad-abad Asia Tengah menjadi “melting pot” berbagai suku-bangsa: Arab Timur Tengah, Iran, Eropa, India dan China sehingga membuat kawasan ini sangat kaya kebudayaannya.
Asia Tengah sudah dijamah oleh Islam sejak masa-masa awal perkembangan agama ini. Perang Talas tahun 751 antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Tang Tiongkok untuk mengontrol Asia Tengah menjadi “turning point” konversi massal masyarakat setempat ke dalam agama Islam.
Sejak itu, Islam, pelan tapi pasti, berkembang secara merdeka di Asia Tengah. Meskipun kelak ketika Uni Soviet menjajah Asia Tengah ada cukup banyak kendala bagi kaum Muslim, tetapi itu tidak menghalangi perkembangan kebudayaan Islam di kawasan ini. Menariknya, keislaman yang berkembang di kawasan ini bukan jenis keislaman ortodoks dan puritan yang anti-tradisi dan kebudayaan lokal, melainkan jenis dan praktik keislaman yang menghargai dan mengadopsi aneka ragam tradisi dan budaya lokal, persis seperti yang dulu berkembang di Jawa dan berbagai daerah lain di Indonesia. Maka, jadilah corak keislaman di Asia Tengah itu semacam “Islam heterodoks” atau “folk Islam” dalam istilah antropologi.
Salah satu ciri menonjol dari “folk Islam” ini adalah perkembangan tasawuf atau Sufisme. Asia Tengah menjadi salah satu kawasan tertua mengenai tradisi Sufisme atau mistisisme dan tarekat (ordo Sufi). Yasawiyyah atau Yeseviye merupakan salah satu ordo Sufi tertua yang diciptakan oleh Khawaja Ahmad Yasawi (Ahmed Yesevi, w. 1166) dan berkembang bukan hanya di Asia Tengah saja tapi juga di kawasan Islam lain.
Selain guru tarekat, Ahmad Yasawi juga sarjana fiqih Mazhab Hanafi sebagaimana gurunya, Abu Yaqub Yusuf Hamdani (w. 1141), seorang mursyid tarekat Naqsabandiyah di Asia Tengah. Sufisme dan Mazhab Hanafi memang menjadi ciri menonjol keislaman di Asia Tengah, selain Shamanisme.
Dari aspek politik-ekonomi, negara-negara di Asia Tengah mengikuti sistem politik pemerintahan sekuler-republik serta prinsip-prinsip pasar bebas kapitalisme. Ideologi Islamisme yang mengusung “Negara Islam”, khilafah, dan sejenisnya tidak laku di sini. Sejumlah kelompok Islam radikal dan pengusung ideologi Islamisme seperti Ikhwanul Muslimin, Al-Qaidah, atau Hizbut Tahrir tidak mendapatkan tempat di Asia Tengah.
Sejak merdeka dan pisah dari Uni Soviet di awal 1990-an, negara-negara di Asia Tengah mencitrakan diri sebagai kawasan Islam moderat dan modern yang anti-radikalisme, fanatisisme, dan konservatisme. Hasilnya cukup menggembirakan. Tidak seperti negara-negara di kawasan Timur Tengah yang selalu ramai dengan kekerasan, terorisme dan peperangan, kawasan Asia Tengah relatif aman, stabil, dan terhindar dari kekacauan sosial.
Tanah Lahirnya Para Ilmuwan Muslim
Hal lain yang menjadikan Asia Tengah penting dalam sejarah peradaban Islam adalah kawasan ini telah melahirkan banyak teolog, filusuf, sarjana, dan ilmuwan Muslim ternama yang karya-karya agung mereka masih dikenang hingga kini dan menjadi rujukan di timur dan barat.
Di antara mereka adalah (1) Muhammad bin Musa al-Khwarizmi (w. 850; ahli matematika, astronomi dan geografi), (2) Abu Rayhan al-Biruni (w. 1048; seorang sarjana polymath yang menguasai berbagai disiplin: matematika, fisika, astronomi, ilmu alam, sejarah, bahasa, dan sebagainya. Oleh Profesor Akbar Ahmed, al-Biruni juga dianggap sebagai antropolog pertama, karena melalui karyanya, Kitab al-Hind, ia menggunakan metode etnografi untuk mengkaji struktur masyarakat, sistem agama, dan kebudayaan masyarakat India), (3) Farabi (seorang filsuf, ahli hukum dan ilmuwan politik), (4) Ibnu Sina (seorang dokter dan ilmuwan ternama yang karyanya mampu mempengaruhi kelahiran ilmu-ilmu medis di Timur Tengah, Eropa, dan India).
Juga tidak kalah penting adalah Imam Ghazali (w. 1111), seorang penulis prolifik dan sarjana kenamaan, teolog, ahli hukum, dan mistikus legendaris. Setidaknya dua ahli hadis ternama yang buku-bukunya menjadi rujukan umat Islam juga berasal dari Asia Tengah, yaitu Imam Bukhari (kelahiran Bukhara, Uzbekistan) dan Imam Nasai (kelahiran Nasa, Turkmenistan). Ahli astronomi ternama, Abu Mahmud Khojandi, juga berasal dari Asia Tengah, tepatnya Khujand, Tajikistan. Dan masih banyak lagi.
Melihat catatan historis yang gemilang di Asia Tengah, maka sudah saatnya jika kawasan ini perlu dijadikan sebagai salah satu “kiblat” dalam hal riset dan pengkajian sejarah, peradaban, dan kebudayaan Islam, bukan melulu kawasan Timur Tengah. Semoga bermanfaat.
https://geotimes.id/kolom/internasional/asia-tengah-pusat-peradaban-islam-yang-terlupakan/
0 komentar: