Malam, Melipat Kasur
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
(Channel Youtube Dengerin Hati)
Malam begitu sepi. Dahulu, malam adalah madrasah luar biasa. Menghasilkan pemimpin, panglima dan ulama hebat. Sekarang, malam penuh kelalaian.
Dahulu malam diisi dengan kekuatan hati dan iman. Malam diisi dengan cinta, rindu, harap, takut dan tangisan pada Allah. Sekarang malam diisi dengan gelak tawa, hiruk pikuk, permainan, kelalaian, pelampiasan hawa nafsu dan kemalasan.
Kualitas manusia tergantung kualitas malamnya. Kualitas iman tergantung kualitas malamnya. Kualitas ilmu tergantung kualitas malamnya. Apa yang diisi pada malam hari, itulah jati diri sebenarnya.
Bilal bin Rabah beristirahat malam dengan memperbanyak shalat, bukan tidur. Itulah pesan Rasulullah saw padanya. Saat tidur berarti kelalaian, namun era ini tidur pun sudah dikurangi dengan permainan.
Rabiah Al Adawiyah mengisi malam dengan 1.000 rakaat. Junaid Al Baghdadi, Abu Hanifah, Imam Ahmad dan semua ulama Salaf mengisi malam dengan ratusan rakaat. Bagi mereka shalat adalah istirahat, bukan tidur di kasur pembaringan. Abu Hanifah tidak pernah tidur di atas kasur. Ada ulama membakar kasurnya. Ketika berusia 40-an mereka menggulung tikar istirahatnya, mengganti dengan shalat, dzikir dan munajat.
Mereka bisa membangun malam dengan melepaskan ngantuk, makan sedikit hanya pengganjal perut. Bila malam tiba, hati mereka diselimuti kegelapan dan kobaran neraka. Perjalanan dan kesulitan panjang menuju akhirat. Ngantuk mereka hilang karena ketakutan. Kemalasannya pudar karena tangisan.
Untuk apa hidup, bila tidak dianugerahi cinta kepada Allah? Untuk apa hidup, bila tidak dianugerahi rindu kepada Allah? Untuk apa hidup, bila tidak dianugerahi takut kepada Allah? Untuk apa hidup, bila kelak tidak bisa kumpul dan bercengkrama dengan Rasulullah saw? Untuk apa hidup, bila kelak tidak diberi kesempatan bersujud langsung dihadapan Singgasana kemegahan Allah? Bukankah hidup ini untuk itu?
Untuk apa waktu dan umur? Untuk apa harta dan kekuasaan? Untuk apa ilmu? Untuk apa nikmat? Bila tidak dianugerahkan cinta, rindu, takut dan bersujud dihadapan kemegahan singgasana Allah? Dan bercengkrama dengan Rasulullah saw? Dunia dan seisinya tidak berharga. Nilai dunia tidak lebih bernilai dari sayap nyamuk. Nilai dunia tidak lebih berharga dari bangkai kambing ditumpukan sampah. Nilai dunia hanya air dijari dibandingkan samudera. Begitulah pesan mereka.
Waktu yang panjang, mengapa masih melalaikan? Umur yang panjang, mengapa masih belum menggugah kesadaran? Itulah teguran kepada para Sahabat setelah 7 tahun bersama Rasulullah saw. Itu pula yang menyadarkan Fudhail bin Iyad sehingga menjadi ulama terkenal. Bertafakurlah dengan akal dan hati. Temukan kelalaian diri. Seperti Nabi Ibrahim yang mentafakuri Semesta. Seperti Rasulullah saw mentafakuri di Gua Hira. Itulah permulaan jalan.
Hijab itu diri kita sendiri. Penghalang antara diri dengan cinta, rindu dan takut kepada Allah adalah jiwa kita sendiri. Musuh utama kita adalah diri kita sendiri. Jalan pertama dan utama adalah mendidik diri agar terbuka jalan, agar terbentang jalan antara kita dengan Allah. Mendidik kesenangan diri. Melawan kesenangan diri. Apakah berat mendidik diri bila balasannya adalah cinta, rindu dan takut pada Allah? Bukankah nikmat terbesar di semesta ini adalah cinta, rindu dan takut pada Allah?
Bila kesulitan itu sesuatu yang fana. Bila kesulitan itu pasti berakhir, bukankah itu kemudahan? Bila kesulitan akhirat itu abadi, bukankah itu kesulitan yang sebenarnya? Apa yang terjadi dan ada di dunia itu tak ada gunanya, karena akhirnya semua akan lenyap dan musnah dibawa oleh kematian. Hidup di dunia itu sebenarnya mudah, karena semuanya bersifat sementara.
Kesulitan mengisi malam, sebenarnya tidak ada. Hanya melawan kemalasan saja.
0 komentar: