Sejarah Perbedaan Kebijakan di Era Khalifatur Rasyidin
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
(Channel Youtube Dengerin Hati)
Perbedaan pendapat sudah ada sejak makhluk ini ada. Malaikat awalnya tak menerima manusia menjadi khalifah di muka bumi dengan alasan bisa menimbulkan pertumpahan darah. Iblis tak mau menerima karena merasa dirinya lebih hebat dari manusia. Dari dua sudut pandang ini, dimana posisi kita dalam setiap perbedaan?
Berbeda karena tolak ukurnya kemaslahatan. Berbeda karena tolak ukurnya adalah ego. Bila Ego, maka hingga akhir kiamat pun takkan bisa disatukan lagi. Bila ukurannya hanya timbangan efek kemaslahatan, maka ikatan hati masih bisa dirajut kembali. Permusuhan itu karena ego lebih menguasai.
Konflik Ali-Aisyah-Muawiyah bukan soal ego. Tetapi soal kemaslahatan. Ali mendahulukan persatuan baru menyelesaikan pengusutan pembunuhan Utsman. Yang lainnya, berfikir mendahulukan pengusutan Utsman bin Affan. Walau berbeda, Ali tidak menggunakan kekuasaannya dengan mencopot jabatan Muawiyah. Tidak juga mencopot posisi Thalhah dan Zubair yang berada dipihak Aisyah. Berbeda itu mengasah pemikiran, ilmu dan kepahaman, tidak bisa diselesaikan dengan jalur kekuasaan.
Ketika perbedaan menimbulkan perpecahan dan kebencian, berarti merubah rahmat menjadi laknat. Rahmat itu selalu ingin berpadu, bertemu dan bercengkrama. Perpecahan itu selalu ingin berseteru dan mengungguli, seperti iblis yang terus menjerumuskan manusia hingga sanggup menerima konsekwensi neraka dan hingga semesta tiada.
Tak ada kebencian dalam setiap perbedaan. Ali bin Abi Thalib ditanya tentang perang Jamal dan Shiffin, beliau menjawab, " Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorang pun meninggal dunia dari mereka itu sedangkan hatinya tetap bersih kecuali akan masuk surga." Tak ada caci maki dan melaknat, semua didoakan masuk surga.
Bila perbedaan menimbulkan kebencian, bertanda piciknya pemikiran, bertanda dangkalnya pemahaman, bertanda ego dan hawa nafsu sudah menguasai hati. Benar dalam pemikiran, bukanlah sebuah kehebatan dan kebanggaan untuk merendahkan apalagi menghancurkan, karena Ali bin Abi Thalib tidak pernah menghujat pemikiran Muawiyah dan Siti Aisyah. Ali bin Abi Thalib tetap mendoakan Muawiyah dan Siti Aisyah. Muawiyah dan Siti Aisyah memang tetap dalam kebenaran karena keduanya berpijak dari Al Quran dan As Sunnah juga. Satu pijakan membuahkan ragam pemikiran.
Bila satu pijakan menghasilkan satu pemikiran, itu kedangkalan yang akan terhapus dan ditinggalkan oleh zaman. Pijakan yang membuahkan beragam pemikiran, itulah yang akan bisa menjadi petunjuk sepanjang jaman. Ali-Aisyah-Muawiyah mengambil dari pijakan berfikir yang sama, namun mereka berbeda dalam menentukan prioritas kemaslahatan.
Ketika Hasan bin Ali menjadi khalifah, semua ragam pemikiran Ali-Aisyah-Muawiyah kembali bersatu. Ini bertanda bahwa mereka hanya berbeda bukan berpecah. Ini tanda bahwa hati mereka masih terpaut dalam rajutan pijakan yang sama. Perbedaan adalah ujian untuk melihat apakah masih ada akhlak dalam perbedaan? Masihkah ada akal sehat dan kejernihan hati dalam perbedaan? Apakah masih dalam kerangka syariah dalam sebuah konflik?
0 komentar: