Pemimpin dan Para Pengganggunya
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
(Channel Youtube Dengerin Hati)
Tiba-tiba penjara di Republik ini dipenuhi oleh mereka yang dituduh menebarkan ujaran kebencian. Sayangnya berat sebelah. Mengapa timbul ujaran kebencian yang dituduhkan kepada penguasa? Setiap kejadian tentunya dalam sekenario Allah.
Rasulullah saw pun bertubi-tubi menjadi korban ujaran kebencian. Bagaimana menghadapinya? Inilah cermin karakter pemimpin yang sebenarnya. Kelapangan hati, itulah karakter pemimpin.
Rasulullah saw diam dan bersabar. Malaikat gemas ingin menghujamkan gunung ke kaum Musyrikin. Rasulullah saw justru mendoakan kebaikan karena kebodohan mereka. Seorang pemimpin lebih banyak berlapang dada dibandingkan melampiaskan diri atas nama undang-undang.
Pemimpin yang lebih mendahulukan hukum daripada kebijaksanaannya, bertanda apa? Rasulullah saw bisa saja melampiaskan seluruh perlakuan ujaran kebencian para penduduk Makkah saat peristiwa Futuh Makkah, namun apakah dilakukan? Semua dimaafkan, semua dilindungi. Karena Allah yang Rahman-Rahim pun tetap mencurahkan nikmat kepada manusia yang menentang-Nya. Belajarlah pada Asmaulhusna-Nya Allah.
Pemimpin yang mudah tersinggung. Pemimpin yang menjadikan penjara sebagai pembungkam atas nama hukum, bertanda sempitnya dada untuk menampung berbagai karakter lautan manusia. Layakkah menjadi pemimpin? Memimpin itu bukan untuk para pendukungnya saja, namun juga menjadi pemimpin bagi yang tidak sepaham denganya.
Rasulullah saw menjadi pemimpin bagi para Sahabat, kaum muslimin tetapi juga menjadi pemimpin kaum Musyrikin, Kafirin, Nasrani dan Yahudi. Khalifatur Rasyidin menjadi pemimpin bagi semua kalangan yang mencintainya atau pun yang membencinya. Berkasih sayang kepada pemujanya juga para pembencinya. Itulah karakter pemimpin.
Para sufi justru menjadikan para pembencinya sebagai guru, pelajaran dan barometer dirinya. Para pemujanya justru sebagai musuhnya. Rasulullah saw justru melemparkan pasir kepada para pemujanya. Umar Bin Khatab justru bersyukur masih ada yang meluruskan dengan pedang.
Andai kita masih merasa sebagai manusia, biarkan para penentang melakukan apa saja. Bukankah manusia tempatnya salah? Andai sudah merasa menjadi malaikat, wajar saja bila para penentangnya dijebloskan ke penjara atas nama hukum ujaran kebencian.
Resiko menjadi pemimpin adalah menghadapi kenyataan para penentangnya. Andai belum siap atas resiko ini, bertanda belum layak menjadi pemimpin. Nikmatilah ujaran para penentang, karena bisa jadi seperti itulah jiwa kita yang sebenarnya.
Bila para penentang dianggap sebagai gangguan, tandanya belum tahu fokus kerja pemimpin yang sebenarnya. Fokus para aparatur untuk melindungi masyarakat bukan mengejar para pengganggu. Lihatlah BJ Habibie, yang berprestasi luar biasa bagi NKRI disaat seluruh komponen masyarakat mencacinya. Semoga lahir kembali pemimpin sekelas BJ Habibie.
0 komentar: