Musibah, versi Ego?
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Musibah, apakah dirasakan saat tidak menunaikan shalat wajib? Musibah bukan sekedar ditimpa bencana, sakit dan kekurangan, dihindarkan Allah dari ketaatan pun sebuah musibah.
Tidak membaca Al Quran, tidak puasa, tidak bertahajud, tidak berzakat dan shadaqah, itu pun musibah. Ini musibah terbesar dalam hidup kita. Definisi musibah kita masih berkaitan dengan nafsu, belum menjurus pada musibah hati. Definisi musibah masih menjurus pada cinta dunia, belum menjurus pada cinta akhirat. Yang menjauhkan diri pada Allah, itulah musibah sesungguhnya.
Menangis, meratap, dan memohon bantuan, saat musibah dunia mendera. Namun bersenang-senang, tertawa terbahak-bahak saat musibah akhirat menimpa. Kita meninggalkan ketaatan kepada Allah sambil tertawa dan berbangga. Hati yang tertuju pada Allah takkan merasakan musibah dunia. Hati yang tertuju pada dunia takkan merasakan musibah akhirat. Begitulah hukum dunia dan akhirat dalam dada manusia.
Bila masih bersedih dengan kekurangan harta, kesulitan dan penderitaan, tanda jiwa masih tertuju pada dunia. Bila tak ada kesedihan saat meninggalkan ketaatan, tanda jiwa masih terbenam oleh dunia.
Orang yang paling rapuh jiwanya, merekalah yang menghamba pada dunia. Kekurangan minuman sedih. Kekurangan makan sedih. Dicaci bersedih. Sekecil apapun yang tak diinginkannya terjadi maka kesedihan akan menderanya. Kecintaan pada dunia membuat kesedihan berkepanjangan di dunia dan akhirat.
Yang disedihkan oleh pecinta akhirat hanya satu, apakah Allah murka padanya? Seperti rintihan Rasulullah saw saat diusir dari Thaif, "Ya Allah, apakah Engkau murka kepadaku? Bila bukan murka maka aku sanggup menjalaninya." Bila kesedihannya hanya murka Allah, maka takkan ada yang mengguncangkan dirinya. Inilah sumber kekuatan hidup yang sejati.
Menjauh dari Allah. Dijauhkan dari Allah. Itulah musibah sebenarnya dari kehidupan ini. Bukankah seluruh kehidupan dalam genggam-Nya?
0 komentar: