Perjuangan Sebuah Hadist
Oleh: Nasruloh Baksolahar
(Channel Youtube Dengerin Hati)
Apa yang kita rasakan saat ada sebuah goresan hadist dalam sebuah tulisan, lembaran dan buku? Mungkin kita tak merasakan apa-apa bila tak tahu nilai perjuangannya. Kadang goresan hadist yang kita baca dari sebuah lembaran bekas atau dibeli dari beberapa rupiah saja. Kemudahan kadang mengabaikan. Kemudahan kadang membuat sesuatu tak berarti.
Abdullah Ibnu Mubarak hampir menghabis seluruh harta dari perniagaannya hanya untuk mempelajari hadist. Satu hadist, berarti sebuah perjalanan menempuh ratusan kilometer dan mengunjungi beberapa ulama. Itu nilai perjuangannya satu hadist. Bagaimana bila beliau menghafal ratusan ribu hadist?
Imam Bukhari menghabiskan seluruh harta dari bisnisnya. Menemui ribuan ulama. Menghabiskan umurnya. Demi mengumpulkan hadist. Namun sekarang kitab hadist beliau tergeletak berdebu tak pernah dibaca dan dihayati. Nilai hadist dimata beliau lebih mulia dari semua harta, waktu dan umurnya. Sedang kita, menyia-nyiakannya. Tak merasakan perjuangan, akhirnya menyia-nyiakannya. Seperti harta warisan yang habis tanpa bekas.
Imam Ahmad bin Hambali menempuh perjalanan dari Mekkah ke Shan'a. Rela kehabisan bekal. Bekerja menjadi kuli demi mendapatkan bekal perjalanan. Demi mendapatkan hadist dari imam Abdurrazzaq. Beliau berkata, "Beban berat perjalanan sungguh tiada berarti jika dibandingkan dengan hadist yang kita tulis dari Abdurrazzaq, dari Zuhri, dari Salim bin Abdullah. Serta hadist dari Zuhri, dari Said bin Musayyib, dari Abu Hurairah." Mengapa beliau bisa menikmati perjuangan mendapatkan satu hadist, sedang kita tak merasakan keberartian sebuah hadist?
Imam Syafii berkata kepada muridnya imam Ahmad bin Hambal, "Wahai Abu Abdullah, jika menurutmu ada hadist shahih, beritahukan kepadaku, aku akan menghampiri sumbernya, baik itu orang Hijaz, Syam, Iraq maupun Yaman." Demi satu hadist imam Syafii menempuh berkeliling negara? Mengapa begitu berarti? Ada apa dengan kita yang menyiakannya?
Bagi mereka, satu hadist lebih bermakna dari apa yang mereka miliki. Termasuk jiwa mereka sendiri. Namun mengapa banyaknya hadist yang hanya tinggal membaca dan membelinya tak juga bersedia disentuh? Apakah ada penyakit hati?
Mengapa mendapatkan satu hadist yang dihafal dan ditulis, sudah cukup mengangkat kemuliaan dan martabat mereka? Mengapa diri kita tidak? Adakah kesalahan kita dalam membaca dan mempelajarinya?
Imam Bukhari, Imam Nawawi hingga ke al Bani, mengerahkan seluruh waktu, pemikiran dan ilmunya, agar satu hadist yang dihadapan kita adalah hadist shahih. Sehingga tinggal diminum kemurnian dan kebenaran bimbingannya. Berapa jutaan ulama yang sudah terlibat dalam satu hadist? Berapa jutaan jarak kilometer sehingga hadist yang tercecer tersuguh rapih dipangkuan kita? Berapa waktu yang terhabiskan dari semua ulama yang fokus terhadap hadist sehingga tinggal kita amalkan? Berapa jumlah harta dari generasi ke genarasi yang dikorbankan untuk sampai dihadapan kita?
Bila memahami itu semua, bagaimana penghargaan perjuangan terhadap satu hadist yang dihadapan kita?
0 komentar: