Peradaban Islam Sebagai Jembatan ke Renaissance
Akibat Indonesia bekas jajahan Belanda maka wajar apabila pengajaran sejarah dunia di Indonesia mewarisi apa yang diajarkan oleh Belanda tentang sejarah dunia.
EROPASENTRIS
Akibat kurikulum sejarah bersifat Eropasentris, saya lebih mengenal para tokoh sejarah dunia berasal dari Eropa seperti Napoleon dan Katharina Agung ketimbang para tokoh berasal dari Asia seperti Ashoka atau Ching I Sao.
Maka wajar pula bahwa saya diajarkan oleh guru sejarah dunia yang orang Indonesia tetapi didikan Belanda tentang peradaban Yunani dan Romawi kuno disusul oleh Abad Pertengahan di Eropa yang langsung loncat ke jaman Renaissance sebagai masa kebangkitan peradaban Eropa.
Akibat guru sejarah dunia saya didikan Belanda maka beliau tidak diajarkan maka juga tidak mengajarkan kepada saya tentang masa keemasan peradaban Islam yang menjembatani peradaban Abad Pertengahan dengan Era Renaissance.
Saya juga tidak diajarkan tentang masa puncak peradaban di Spanyol yang mewariskan mahakarya arsitektur Islam seperti Al Hambra di Granada dan Masjid Agung Mezquita di Cordoba mau pun seni musik Spanyol yang menggunakan sistem sapta nada Arab.
Baru ketika saya di Eropa dan mengunjungi perpustakaan perguruan tinggi di Jerman demi mempelajari buku-buku tentang Masa Keemasan Islam di Persia dan Andalusia saya tersadar bahwa Bagdad dan Cordoba merupakan pusat kebudayaan Islam.
Peradaban Islam ini telah melahirkan para maha-cendekiawan, mahamatematikawan, mahaastronomi, mahasastrawan, mahabudayawan serta mahapemikir yang secara langsung mempengaruhi peradaban Eropa melalui era Renaissance.
BAIT AL HIKMAH
Semula saya tidak kenal Bait Al Hikmah di Bagdad mau pun pusat kebudayaan Islam di Kordoba. Saya tidak kenal Al Kharwizimi yang mengembangkan aljabar dan algoritma sambil menyempurnakan teori-teori astronomi Ptolomeus yang kemudian mempengaruhi Kepler dan Kopernikus.
Pada hakikatnya Galileo Galilei mengembangkan mashab heliosentris garapan Al Khwarzimi. Seperti Machiavelli di Italia, sebelumnya Al Khwarzimi di Persia juga menulis makalah politik dan tata-negara.
Saya tidak kenal mahakarya sastra Rubayat mau pun naskah-naskah geometri Risālah fī šarḥ mā aškala min muṣādarāt kitāb Uqlīdis dan Risālah fī qismah rub‘ al-dā’irah serta Maqāla fi al-jabr wa l-muqābala.
Para budayawan Islam semula mempersatukan matematika, astronomi, sains, sastra, senirupa menjadi satu kesatuan ilmu di bawah payung kebudayaan.
Budaya multi-ilmu dilanjutkan oleh Leonardo da Vinci sebagai pelukis, pemusik, sastrawan, anatomiwan, diplomat, negarawan, alutsistawan dan lain-lain keilmuan yang lazim pada masa Renaissance.
Tanpa para matematikawan Islam, mustahil Fabionacci melahirkan pemikiran-pemikiran matematika yang berpengaruh sampai masa kini.
Semula saya juga tidak menyadari peran serta pengaruh pemikiran ensiklopedis Al Farabi, theolog Al Ghazali, astronom Al Jawhari, kartograf Al Idrisi, fisikawan Al Haytham, budayawan multi-bidang Ibnu Khaldun yang tampaknya secara sengaja tak sengaja, sadar tak sadar ditenggelamkan dari permukaan sejarah peradaban Eropa oleh Petrarca dan para sejawat pendukung peradaban Nasrani.
Tanpa peradaban Yunani dan Romawi kuno yang naskah-naskahnya pernah dihimpun di perpustakaan Aleksandria, Mesir mustahil ada pusat peradaban Islam di Persia dan Andalusia.
Namun, tanpa Bait Al Hikmah di Bagdad dan pusat pengembangan sains di Kordoba terasa juga mustahil lahir masa keemasan peradaban Eropa pada masa yang disebut sebagai Renaissance.
Sumber:
https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/qogr0l385
0 komentar: