Mereka Yang Tak Butuh Popularitas
Oleh: Nasruloh Baksolahar
(Channel Youtube Dengerin Hati)
Murid yang seharusnya berkunjung ke rumah guru. Namun Imam Syafii justru lebih sering mengunjungi murid-muridnya. Banyak yang mencela sikapnya. Namun Imam Syafii tak menghiraukannya. Itulah salah satu ketawadhuan sang imam.
Kenikmatan yang dirasakan oleh Abdullah Ibnu Mubarak bukanlah pada saat dihormati. Tapi pada saat tak dihiraukan oleh siapapun. Hari yang paling bahagia menurutnya adalah saat hari tak seorangpun mengenalnya. Saat itu sang imam harus berhimpitan dan berdesakan untuk datang ke sebuah tempat untuk minum air. Beliau pun menghapus sebuah kitab, yang didalamnya tertera pendapatnya sambil berkata, "Siapa diriku hingga perkataanku harus ditulis seperti ini?" Saat banyak manusia mencari kepopuleran, justru sang imam mempertanyakan ketidakpantasannya menjadi populer.
Khalifah Salim 1 dari kekhalifahan Turki Utsmani pulang dengan kemenangan perang yang luar biasa. Saat akan memasuki kota Istambul, tersiar kabar bahwa penduduk kota sudah menghias jalan dan akan menyambut dengan meriah. Mendengar alasan tersebut sang khalifah mencari jalan lain untuk menghindari penyambutan dengan alasan, "Kita berperang bukan untuk mencari ketenaran, kemuliaan, atau sanjungan. Kita berperang di jalan Allah hanya untuk mendapatkan ridha Allah." Jiwa besar tak butuh pengakuan kehebatannya. Kiprahnya sudah cukup membuktikan kemuliaan jiwanya.
Ketika sebagian besar kuda pasukan kaum muslimin terbunuh oleh tentara Tartar pada perang Ain Jalut. Sultan Saifuddin Qutuz berperang tanpa kuda. Kondisi ini membahayakan jiwanya. Seorang prajuritnya menawarkan kuda karena khawatir sang sultan terbunuh. Namun Al Qutuz menolak sambil berkata, "Kalau aku mati, ruhku akan menuju surga. Ada pun Islam, aku yakin Allah tidak akan menelantarkannya. Bila banyak prajurit muslim yang mati, akan muncul prajurit baru yang akan menyelamatkan Islam. Sebab, Allah tidak akan menelantarkan Islam." Sang pemimpin harus berani berjuang dengan keterbatasan sarana, karena itulah ujian seorang pemimpin.
Imam Ibnu Taimiyah, seorang ulama besar. Namun hari-harinya dipenuhi perkataan, "Demi Allah, hingga kini aku masih berusaha memperbaiki keislamanku setiap saat." Dalam syairnya dia berkata, "Sungguh aku menzalimi diriku." Kefaqihan seorang ulama justru terletak pada perasaan ketidaktahuannya. Keulamaan seseorang terletak pada keberanian pengakuan ketidaktahuannya. Seperti juga Imam Malik yang sering menjawab tidak tahu dan juga mengumumkan ketidaktahuannya dihadapan publik. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Mengapa harus menyematkan sifat Allah pada diri kita?
Saat Abu Bakar melepas Usamah bin Zaid ke Romawi. Abu Bakar mengantarkannya sambil berjalan kaki. Sedang Usamah bin Zaid menaiki kuda. Karena grogi melihat sang Khalifah berjalan kaki, Usamah berkata, "Wahai Khalifah Rasulullah, naiklah ke atas binatang tungganganmu, atau aku yang turun." Abu Bakar berkata, "Tidak ada salahnya jika aku mengotori kakiku sesaat untuk di jalan Allah." Mereka yang mengharapkan balasan Allah tak pernah merasakan perlu dengan sematan manusia.
Yang berjiwa besar tak butuh lagi popularitas dan penghormatan manusia, semuanya justru sebab rontoknya sebuah martabat. Mengapa harus mengiba pada pujian makhluk? Biarkan ketawadhuan akan selalu menjadi permata bagi yang berjiwa besar. Kebesaran seseorang bukan pada popularitasnya tetapi pada karyanya. Fokus pada tujuan karyanya, itulah rahasia menjadi pejiwa besar.
0 komentar: