Hancur Di Tangan Anak Negri Sendiri
Oleh: Nasruloh Baksolahar
(Channel Youtube Dengerin Hati)
Ternyata bangsa ini dijajah melalui tangan anak bangsanya sendiri. Saat Sultan Hasanuddin Makassar ditaklukan oleh Belanda. Belanda dengan kekuatan 600 pasukan hanya berdiri di tepian pantai sambil menyaksikan Sultan Hasanuddin berperang dengan Aru Palaka.
Saat Belanda menaklukan pangeran Diponegoro, ada bangsawan Madura dan sekitar Jogyakarta membantu Belanda. Bahkan panglima perang Belanda salah satunya putra Jawa yang diberi gelar Raden Cokronegoro yang kelak menjadi bupati Purworejo.
Pangeran Diponegoro membuat tulisan Babad Diponegoro, sedang Cokronegoro membuat tulisan babad tersendiri. Mereka berdua bukan hanya bertarung di medan laga tetapi juga melalui tulisan-tulisan tentang perang Jawa menurut persepsinya sendiri. Pertarungan senjata tak lepas dari pertarungan pemikiran melalui tulisan
Mataram hancur bukan oleh Belanda sendiri tetapi ditopang oleh anak-anak Sultan Agung sendiri. Menggadaikan negri demi kenyamanan, keselamatan, dan kesinambungan tahta. Mereka tak memiliki jiwa perjuangan seperti Ayahnya. Mengapa Sultan Agung tidak bisa melahirkan sultan Agung yang baru? Mengapa baru beberapa generasi melahirkan seorang pangeran Diponegoro?
Sebuah negri hancur bukan melalui tangan orang lain bukan tangan asing, tetapi melalui tangan kita sendiri. Yang selalu memandang asing sebagai biang kehancuran bertanda tidak mau menelisik dirinya sendiri. Penyakit tubuh bukan karena kekuatan luar tubuh, tetapi antibodi yang lemah. Pertahanan terbaik adalah membangun diri.
Abdurahman Ad-Dakhil, mengalami kegagalan saat ingin melakukan penetrasi ke Eropa. Ternyata biang kekalahan bukan hebatnya Eropa. Tetapi lemahnya internal. Lalu dia membangun pendidikan, ekonomi, menghilangkan semua kezaliman pemerintah terhadap rakyatnya. Setelah kurun waktu tertentu, penyerbuan ke Eropa dilakukan, sebagian Eropa pun takluk.
Bangun rasa gentar musuh dengan membangun diri kita sendiri. Buat keajaiban kemakmuran dan kesejahteraan. Bangun ikatan hati dan persatuan. Dengan ini Musuh sudah gentar dengan aura kita. Pertikaian hanya menghabiskan energi dan kekuatan. Seperti pepatah, kalah jadi debu, menang jadi arang.
Bacalah perjuangan negri ini, setiap kekalahan oleh Belanda selalu dimulai dengan pergulatan internal yang keras. Musuh menguasai tanpa berjerih payah. Cukup memanfaatkan kekuatan kita untuk menghancurkan diri kita sendiri.
Sultan Ageng Tritayasa kalah dari Belanda bukan karena kehebatan Belanda tetapi topangan kekuatan Anaknya, Aru Palaka dari Makassar dan seorang Kapten dari tanah Maluku. Setelah itu baru kekuatan Kompeni Belanda. Mengapa terhadap asing kita lebih bersahabat dibandingkan dengan sesama anak negri? Mengapa bila ditopang asing kita merasa lebih hebat dan berwibawa? Mengapa kekuatan asing hanya digunakan untuk menghancurkan negri sendiri?
Kita begitu heroik bertarung dengan bangsa sendiri. Namun rendah diri dihadapan bangsa asing yang ingin menghancurkan bangsa kita sendiri. Itukah yang terjadi pula saat ini?
0 komentar: