Bahagia Tanpa Tanda Jasa
Oleh: Nasruloh Baksolahar
(Channel Youtube Dengerin Hati)
Mengungkit sebuah jasa dan peran, wajarkah? Bagaimana karakter manusia dalam melihat sebuah jasa? Melupakan atau dilupakan, menutupi atau ditutupi. Jadi jangan heran bila mengalami hal tersebut. Agar peran hanya totalitas pada Allah. Agar fokus hidup hanya berbicara tentang karya bukan penghargaan dan bintang jasa. Berjasa dilupakan itu lebih baik, daripada tak berperan namun menuntun penghargaan setinggi langit. Menyembunyikan amal agar tangan kanan berbuat tetapi tangan kiri tidak pernah mengetahuinya.
Junaid Al Baghdadi pernah berkata, "Ratusan kebaikan yang dilakukan, maka yang akan selalu diingat oleh manusia adalah satu keburukan yang dilakukan." Itulah karakter manusia. Padahal apa yang dilakukan kita justru sebaliknya, banyak keburukan yang tak terhitung, tapi hanya sedikit kebaikan yang pernah dilakukan. Jadi wajar saja bila yang dikenang tentang kita adalah keburukan?
Kebaikan kita dalam alam semesta seperti garam di samudera yang tawar. Asin menurut kita, namun bila diceburkan dalam kancah kehidupan yang luas dan mendalam, jadilah sesuatu yang tidak ada artinya atau rasanya. Jadi wajarlah bila banyak pahlawan yang tak dikenal. Jadi wajarlah bila banyak pahlawan tanpa tanda jasa. Jadi wajarlah banyak para pembaharu yang tak tercatat dalam sejarah. Bukankah para Nabi berjumlah ratusan ribu, namun yang dikenal hanya 25 Nabi dan Rasul? Apakah karyamu lebih baik dari ratusan ribu para Nabi?
Yang tak tercatat oleh sejarah lebih banyak daripada yang terabadikan. Yang dikenang akan selalu lebih sedikit, karena memori manusia memang pendek. Ingatan manusia hanya semasa kehidupannya saja. Bahkan sudah pikun sebelum masa tuanya. Jadi mengapa harus ngoyo untuk dihargai karyanya? Padahal ingatan manusia saja bersumbu pendek?
Banyaknya yang tak terabadikan bukan berarti mereka tak berperan? Namun agar manusia sadar akan orientasi sebuah amal dan karya. Bukan untuk dicatat dan dielukan, tetapi untuk menciptakan kemanfaatan. Kemanfaatan inilah keabadian yang selalu berlanjut tanpa disadari oleh geberasi kini dan esok. Berkaryalah lalu lupakanlah. Biarkan hanya kemanfaatan karya yang menembus waktu, ruang dan generasi.
Bila dengan karya, engkau menuntut banyak hal dari kehidupan ini, apa yang tersisa bagi akhiratmu? Abdurahman bin Auf, orang kaya, banyak berkiprah dan sosok yang dijamin masuk surga, menangis tersedu-sedu saat di depan matanya tersajikan makanan yang berlimpah. Apa yang dipikirkan? Apa yang tersisa bagi akhiratnya bila semua kebaikan dibayar kontan oleh Allah di dunia ini?
Ali bin Abi Thalib tidak menuntut posisi jabatan kekhalifahan. Padahal saat hijrah, dialah yang paling beresiko untuk dibunuh oleh para pembesar Quraisy? Semua peperangan diikutinya, kecuali perang Tabuk karena diperintahkan Rasulullah untuk menjaga Madinah. Padahal Ali bin Abi Thalib adalah pintunya ilmu Rasulullah saw. Khalid bin Walid, panglima tak terkalahkan dibebaskan tugaskan oleh Umar Bin Khatab tanpa sedikit pun menentangnya dan terus berjuang walau statusnya hanya prajurit biasa.
Di era sekarang, mengapa sebuah karya harus dihadiahi jabatan, posisi dan fasilitas? Mengapa terganggu dengan pencabutan jabatan dan posisi dengan alasan mekanisme organisasi? Dengan alasan kezaliman dan tidak demokratis? Mungkin kita terlalu sering menghitung-hitung karya kita dan mengabaikan karya orang lain.
0 komentar: