Sejarah Tarekat di Nusantara
Menurut peneliti Belanda, Martin van Bruinesen, beberapa sumber pribumi yang ada secara tegas mengemukakan bahwa tarekat-tarekat mendapatkan pengikutnya, pertama-tama, di lingkungan istana, dan lama kemudian, barulah merembet ke kalangan masyarakat awam. Bagi pihak kerajaan, tarekat dipandang sebagai sumber kekuatan spiritual sekaligus melegitimasi dan mengukuhkan posisi raja.
Perkembangan tarekat di Indonesia secara nyata baru terlihat pada abad ke-17, yaitu dimulai pertama kali oleh Hamzah Fansuri (w 1610 M) dan muridnya, Syamsuddin as-Sumatrini (w 1630 M).
Akan tetapi, keduanya tidak meninggalkan organisasi tarekat yang berlangsung terus-menerus. Baru kemudian setelah Abdur Rauf bin Ali Singkel memperkenalkan Tarekat Syattariyah di Aceh pada 1679 M, organisasi tarekat ini menjadi jelas dan dapat ditelusuri perkembangannya melalui silsilah hubungan guru dan murid sampai ke beberapa daerah di Indonesia.
Ahmad Syafii Mufid dalam Tangklukan, Abangan, dan Tarekat menjelaskan, Hamzah Fansuri secara tegas disebut sebagai penganut Tarekat Qadiriyah. Namun kemudian, tarekat yang dianut oleh Hamzah Fansuri maupun muridnya, Syamsuddin as-Sumantrani, berbeda dengan Tarekat Qadiriyah yang sekarang berkembang.
Keduanya dikenal menganut paham penyatuan manusia dan Tuhan (wahdatul wujud), sedangkan Tarekat Qadiriyah yang sekarang ada, tidak lagi mengenal ajaran tersebut.
Tokoh-tokoh penyiar Islam yang hidup dan berdakwah di Indonesia sebelumnya secara samar-samar juga cenderung menganut paham ini. Syekh Abdullah Arif, seorang penyiar pertama di Aceh pada abad ke-12 M, dalam karyanya yang berjudul Bahrul Laahut juga mengajarkan ajaran yang sama dengan Abu Mansur al-Hallaj dan Muhyiddin Ibnu Arabi, yakni wahdatul wujud.
Begitu juga di Jawa, pada zaman penyiar Islam pertama (Wali Songo) terdapat seorang tokoh tasawuf yang mengajarkan paham ini. Tentang aliran tarekat apa yang dianut oleh Wali Songo tidaklah jelas. Hanya, dalam Babad Tanah Jawi dinyatakan bahwa Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus mengajarkan ilmu Abdul Qadir.
Di Sulawesi, tarekat juga berkembang atas prakarsa Syekh Yusuf Tajul Khalwati (1621-1689 M). Ulama Makassar ini dikenal seorang sufi yang menerima banyak ijazah tarekat seperti Qadiriyah dari Nuruddin ar-Raniri, Naqsyabandiyah dari Muhammad Abdul Baqi Billah Ba'lawiyah dari Sayid Ali, Syatariyah dari Burhanuddin al-Mula bin Ibrahim, dan Khalwatiyah dari Abdul Barakat Ayyub bin Ahmad.
Sumber:
https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/oawlse29
0 komentar: