Sejarah Pondok Pesantren dan Perjuangan Kemerdekaan
Sejarah pendidikan di Indonesia tak lepas dari akar sejarah pendidikan model pondok pesantren.
Pondok Pesantren adalah suatu sistem pendidikan yang mana murid atau disebut santri tinggal dan belajar bersama dalam sebuah pondokan.
Dalam pembelajaran itu pondok pesantren dibimbing oleh guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai.
Di Jawa, Sunda, dan Madura menggunakan istilah pondok pesantren.
Sedangkan di Aceh disebut sebagai dayah atau rangkang atau menuasa. Sementara di Minangkabau disebut sebagai surau.
Sistem pendidikan pondok pesantren
Setiap pesantren pasti memiliki beberapa fasilitas yang merujuk pada arti pesantren itu. Salah satunya adalah adanya tempat yang disebut pondok atau pondokan.
Pondok atau pondokan ini digunakan untuk tempat tinggal para santri atau yang dikenal dengan asrama. Di pondok ini terjadi interaksi kegiatan belajar mengajar antara santri dan kiai pembimbingnya.
Dengan adanya pondokan ini akan tercipta suatu hubungan komunikatif yang timbal balik antara santri dan kiai, juga antarsantri dan santri lainnya.
Terciptanya hubungan ini berakibat pada timbulnya rasa kekeluargaan dan sikap saling menyayangi antarsesama santri dan kiai.
Selain itu, masjid juga menjadi elemen utama dalam sistem pendidikan pondok pesantren. Masjid menjadi pusat kegiatan belajar dan mengajar, sholat lima waktu, khotbah, sholat Jumat dan pengajaran kitab-kitab klasik.
Masjid digunakan sebagai pusat kegiatan merupakan manifestasi dari sistem pendidikan Islam.
Selain itu digunakannya masjid sebagai pusat kegiatan juga merupakankesinambungan ajaran yang dibawa pada masa Nabi Muhammad SAW.
Dalam tradisi ini seorang kiai yang mengembangkan pesantren pertama-tama pasti akan mendirikan masjid terlebih dahulu di dekat rumahnya.
Langkah ini dilakukan karena sebelumnya pasti sudah mendapatkan restu dari guru atau kiainya terlebih dahulu.
Selanjutnya masjid akan menjadi pusat pendidikan tradisional pesantren.
Elemen lain dalam pendidikan pondok pesantren adalah pengajaran kitab-kitab klasik.
Pengajaran kitab klasik ini tujuan utamanya adalah mendidik santri menjadi calon ulama yang setia terhadap pemahaman agama Islam.
Pemahamaan terkait kitab klasik sendiri tidak begitu jelas, namun pada umumnya kitab klasik ini populer dengan "kitab kuning".
Pondok Pesantren Pertama di Jawa
Mayoritas sarjana sepakat bahwa Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, salah satu wali songo, adalah polopor dari sistem pendidikan tradisional ini.
Hal ini didasarkan pada perannya dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa, khususnya di wilayah pesisir pantai utara.
Sunan Gresik memiliki banyak pengikut yang dianggap sebagai santri atau murid.
Selain itu, Sunan Gresik diduga menjadikan Langgar Bubrah di Kudus sebagai awal dari pendidikan untuk menyebarkan agama Islam.
Tak jauh dari langgar itu ada bangunan dalem yang digunakan sebagai tempat kegiatan juga.
Wali songo lain, Sunan Ampel di Surabaya, juga dipastikan memiliki bangunan seperti pesantren sebagai pusat menyiarkan agama Islam.
Sunan Ampel juga dipastikan memiliki banyak pengikut.
Peran Pesantren dalam kemerdekaan
Pada perkembangannya, pondok pesantren tidak hanya menjadi pusat penyiaran agama Islam. Melainkan memperlebar ajarannya dengan mempertajam kesadaran sosial bagi santrinya.
Sistem pendidikannya tidak lagi hanya soal keagamaan dan hubungan manusia dengan tuhan, melainkan menyentuh persoalan yang dialami masyarakat saat itu.
Pada era kolonial Belanda, pondok pesantren dibatasi ruang geraknya dan berusaha didiskreditkan.
Namun di samping itu keberadaan pondok pesantren yang menjangkau pelosok mampu mengembangkan masyarakat Islam yang solid dan mampu menentang Belanda.
Pada akhirnya kelompok ini menjadi salah satu garis pertahanan dalam melawan penjajahan dan merebut kemerdekaan dari masa kolonial Belanda hingga Jepang.
Salah satu contoh adalah pesantren pimpinan KH Zainal Mustafa di Singaparna, Tasikmalaya yang mengadakan perlawanan pada era penjajahan Jepang.
Ia memanfaatkan mimbar untuk menyerang kebijakan politik dari era Kolonial Belanda hingga memberontak pada penjajah Jepang.
Setelah kemerdekaan, peran pesantren juga masih aktif dalam mempertahankan kemerdekaan.
Salah satunya adalah peran kiai di Jawa Timur yang memompa semangat jihad melawan Inggris pada peristiwa 10 November di Surabaya.
Referensi:
Arifin, Imron. 1993, Kepemimpinan kyai: kasus Pondok Pesantren Tebuireng, Malang, Kalimasahada Press.
Azra, Azuamrdi. 2004, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Jakarta, Kencana.
Symber:
https://www.kompas.com/stori/read/2021/10/13/120000179/sejarah-pondok-pesantren-dan-perjuangan-kemerdekaan
0 komentar: